Salin Artikel

Pak Jokowi, "Kulo Getun"!

DALAM beberapa kali perjalanan saya ke berbagai daerah di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur serta menemui masyarakat Jawa di berbagai kabupaten di Kalimantan Selatan, Bali serta Sumatera Utara baru-baru ini, saya menemukan kegelisahan yang sama.

Pemilih fanatik yang semula mendukung Joko Widodo di dua kali Pilpres 2014 dan 2019 kini menyatakan penyesalannya.

Semula, mereka sedih karena Jokowi harus menuntaskan pemerintahannya pada 2024. Tidak ada dalam bayangan para pemuja Joko, jalan cerita “indah” yang seharusnya tuntas di penghujung masa jabatannya ternyata berakhir di luar “nurul”.

Jokowi membiarkan proses hukum di Mahkamah Konstitusi – untuk meminjam istilah Jokowi bahwa Gibran Rakabuming telah mengikuti proses sesuai dengan mekanisme yang ada – menjadi catatan kelam di akhir pemerintahannya.

Munculnya Jokowi di panggung politik lokal dengan memenangkan pemilihan Wali Kota Solo di 2015, seakan menjadi penegas bahwa menjadi kepala daerah tanpa mahar uang yang harus disetor ternyata bisa terjadi dan menang.

Harapan akan lahirnya pemimpin kerakyatan langsung melekat pada sosok Jokowi. Saat itu, rakyat begitu terpesona dengan ketulusannya memimpin Solo.

Memerintah dengan memberi contoh, menggusur tanpa kekerasan, memimpin dengan hati serta bertindak tanpa mengundang kecaman. Namun itu tinggal kenangan belaka.

Menjadi Gubernur Jakarta adalah impian semua orang. Pensiunan, bahkan perwira aktif di TNI/Polri, politisi, mantan dan pejabat, bahkan pengusaha ingin menjadi orang nomor 1 di Jakarta.

Jokowi seperti mendapat “wild card” melenggang tanpa keringat karena selalu disokong oleh partai supaya bisa maju dan terpilih. Jokowi telah melupakan partai yang mengusungnya dari Solo hingga naik “kelas” ke pentas Jakarta.

Melihat kemesraan yang kini terjalin antara Jokowi dengan rival terberatnya di dua kali Pilpres, Prabowo Subianto, seakan menyesakkan hati para pendukung garis kerasnya.

Para pendukungnya begitu legawa ketika Prabowo ditarik ke kabinetnya Jokowi sebagai Menteri Pertahanan dengan alasan untuk rekonsiliasi.

Bagi Prabowo dan Gerindra, jabatan itu begitu membanggakan karena seperti diakui Mantan Danjen Kopassus di acara televisi menjadi oposisi selama 20 tahun begitu sulit mendapat kredit dari pihak perbankan. Usahanya banyak yang tidak berjalan.

Jokowi mungkin punya skenario tersembunyi dengan merangkul Prabowo dan sekarang rencana ini telah terlihat nyata dengan melihat perjodohan Prabowo dengan Gibran– sang putra.

Tidak ada yang menyangka, Jokowi dan keluarga begitu bergerak masif menggapai posisi kelapa daerah sebagai “loncatan” menuju jabatan kepala daerah yang lebih tinggi. Putra sulungnya, Girban didukung “habis-habisan” menjadi Wali Kota Solo.

Semula publik dan partai pengusungnya berharap ada tipikal kepemimpinan yang identik dan bisa berhasil di daerah.

Mereka tidak menyangka jika Jokowi dan keluarga memiliki “sasaran” yang lebih tinggi: menggapai Istana. Proses pewarisan kekuasaan secara terencana melalui celah-celah hukum yang dimanfaatkan dengan baik.

Publik masih terngiang-ngiang dengan dialog keluarga Jokowi di acara televisi bahwa Gibran maupun Kaesang Pangarep ogah berpolitik. Mereka lebih senang berbisnis dan tidak ingin menganggu citra ayahnya dan menolak disebut memanfaatkan posisi ayahnya.

Kenyataannya sekarang, justru mereka memperlihatkan praktik-praktik kekuasaan yang ditentang mahasiswa, rakyat dan pers saat perjuangan reformasi menuntut Soeharto mundur. Ambisi kekuasaan tanpa malu kini telah dipertontonkan.

Tidak hanya putra-putra kandung presiden, bahkan menantu Jokowi bersiap menjadi Gubernur Sumatera Utara usai menjadi Wali Kota Medan.

Idem dito sang menantu mengaku di acara televisi, sebagai menantu presiden popularitasnya cukup terkerek naik dan dirinya merasa terbantu untuk menjadi kepala daerah.

Kebanggaan menjadi luruh

Semula kita begitu “buta” dan memuja tanpa cela akan kesahajaan diri dan keluarganya. Previlege sebagai anak dan menantu presiden jelas begitu menggiurkan dan menggoda.

Gibran sudah menjadi Cawapres, sementara jabatannya sebagai Wali Kota Solo enggan dilepasnya.

Jika menantu bersiap menjadi Gubernur Sumatera Utara, maka sang putra bungsu yang kini menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) juga bersiap menjadi Gubernur Jawa Tengah.

Sampai sekarang pun, publik begitu terpukau dengan masifnya pemasangan baliho Kaesang dan PSI serta wajah Jokowi tersebar di mana-mana dalam hitungan hari.

Jika partai-partai besar saja masih “ngos-ngosan” memasang baliho di tempat-tempat strategis, maka bukan urusan sulit jika baliho Kaesang dan PSI nongol di mana-mana. Belum lagi iklan Kaesang dan PSI di layar kaca.

Jika Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY merelakan pangkat mayornya di tentara selesai saat akan bertarung di Pilkada DKI dan perlu berbulan-bulan serta kompetisi politik yang ketat di forum Munas Demokrat untuk meraih kursi ketua umum, maka prestasi Kaesang menjadi Ketua Umum PSI sebuah prestasi sendiri. Perlu dua hari saja bagi Kaesang menjadi ketua umum sebuah partai.

Wajar jika kaum kritis di Tanah Air mencemaskan munculnya politik dinasti jika ambisi keluarga Jokowi tidak pernah berhenti.

Seperti sudah tidak percaya lagi dengan rekaman-rekaman video usang akan kepolosan keluarganya, boleh jadi kelak publik tidak akan kaget andai istri, anak perempuan, para menantu serta cucu-cucunya kelak akan “running” di semua posisi jabatan publik.

Para mahasiswa saya pun rasanya ingin bercita-cita menjadi anak dan menantu serta kerabat presiden. Mereka berharap punya karier yang lebih baik, tidak seperti sekarang yang susah mencari kerja usai tamat dari perguruan tinggi sekali pun.

Saya hanya membayangkan apa bisa anak Amuntai di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan menjadi pengusaha yang permodalan perusahaannya disokong banyak pihak tanpa diminta?

Apa bisa pemuda di Kecamatan Tanjung Tiram di Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara disodori jabatan komisaris tanpa melihat kualitasnya?

Nasib anak desa apalagi sosok yang bukan “siapa-siapa” hanya bisa berpasrah pada nasib. Boleh saja punya ide dan gagasan yang brilian, tetapi jika berada di lingkar kekuasaan, maka ide dan gagasan itu “dicatut” untuk keharuman nama seseorang.

Saya pernah sangat bangga diajak masuk dalam tim resmi pemenangan Jokowi, tetapi kebanggaan itu saya sesalkan hingga kini.

Tinggalkan warisan yang dikenang baik

Benar apa yang dikatakan teolog Jesuit Anthony de Mello bahwa salah satu hal yang menyebabkan kehancuran suatu negara adalah politik tanpa prinsip.

Ketika prinsip-prinsip luhur kekuasaan dipersembahkan untuk perbaikan nasib rakyat kini telah dimodifikasi sesuai kepentingan dan ambisi untuk berkuasa tanpa batas, maka prinsip-prinsip dalam politik adalah persetan belaka.

Begitu kepentingan ambisi berkuasa berkelindan dengan hasrat menguasai hajat hidup rakyat yang dikemas rapi dengan tagline “Indonesia Maju” serta dengan tawaran makan siang dan susu gratis, maka sempurnalah kombinasi tersebut.

Saya khawatir jika kemenangan yang akan mereka capai begitu menghalalkan segala cara. Semua aturan dilabrak, aparat dikerahkan untuk membonsai lawan, sementara sang presiden pun bertindak sebagai juru bicara salah satu pasangan calon yang menyalahkan pasangan lain.

Jangan salahkan rakyat jika sekarang mereka berani melawan sekalipun diam. Perlawanan budaya seperti pementasan kesenian yang menggugat rezim otoriter, mengusung keranda mayat presiden, membuat pocong anak presiden atau coret-coretan mural di dinding fasilitas umum, membuat meme politik serta memparodikan kejanggalan politik, begitu lumrah kini dilakukan oleh masyarakat.

Orang-orang Jawa mulai lantang bersuara, “Kulo geton Pak Jokowi mengapa sampeyan sekarang berubah. Saya menyesal Pak Jokowi telah berubah padahal kami telah membela Pak Jokowi selama ini”.

Narasi-narasi ini bukanlah kalimat yang mengandung ujaran kebencian, tetapi sepantasnya dianggap sebagai ungkapan rasa sayang rakyat jelata yang selama ini berjuang memenangkan Jokowi sejak maju sebagai Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta hingga dua kali Pilpres.

Mereka tidak rela Jokowi menjadi orang lain, menjadi sosok penindas hak asasi manusia, bahkan menjadi “penculik” cita-cita anak-anak miskin di seluruh penjuru Tanah Air yang bercita-cita semenjana: menjadi anak yang mandiri dan tidak menyusahkan orangtuanya.

Semoga kita semua – termasuk Jokowi dan keluarganya – mencerna pernyataan yang pernah diucapkan oleh sastrawan Pramudya Ananta Toer.

“Bila seseorang pernah membunuh demi kekuasaan, maka semuan kejahatan lain adalah hal sepele baginya.”

https://nasional.kompas.com/read/2024/01/09/13553951/pak-jokowi-kulo-getun

Terkini Lainnya

BPIP Siapkan Paskibraka Nasional untuk Harlah Pancasila 1 Juni

BPIP Siapkan Paskibraka Nasional untuk Harlah Pancasila 1 Juni

Nasional
Jaksa Agung Mutasi 78 Eselon II, Ada Kapuspenkum dan 16 Kajati

Jaksa Agung Mutasi 78 Eselon II, Ada Kapuspenkum dan 16 Kajati

Nasional
Hari Ke-14 Haji 2024: Sebanyak 90.132 Jemaah Tiba di Saudi, 11 Orang Wafat

Hari Ke-14 Haji 2024: Sebanyak 90.132 Jemaah Tiba di Saudi, 11 Orang Wafat

Nasional
Di Tengah Rakernas PDI-P, Jokowi Liburan ke Borobudur Bareng Anak-Cucu

Di Tengah Rakernas PDI-P, Jokowi Liburan ke Borobudur Bareng Anak-Cucu

Nasional
DPR Sampaikan Poin Penting dalam World Water Forum ke-10 di Bali

DPR Sampaikan Poin Penting dalam World Water Forum ke-10 di Bali

Nasional
Ahok Mengaku Ditawari PDI-P Maju Pilgub Sumut

Ahok Mengaku Ditawari PDI-P Maju Pilgub Sumut

Nasional
Sadar Diri, PDI-P Cuma Incar Kursi Cawagub di Pilkada Jabar

Sadar Diri, PDI-P Cuma Incar Kursi Cawagub di Pilkada Jabar

Nasional
Tersandung Kasus Pemalsuan Surat, Pj Wali Kota Tanjungpinang Diganti

Tersandung Kasus Pemalsuan Surat, Pj Wali Kota Tanjungpinang Diganti

Nasional
Nasdem dan PKB Diprediksi Dapat 2 Jatah Kursi Menteri dari Prabowo

Nasdem dan PKB Diprediksi Dapat 2 Jatah Kursi Menteri dari Prabowo

Nasional
Hari ke-2 Rakernas PDI-P, Jokowi Masih di Yogyakarta, Gowes Bareng Jan Ethes...

Hari ke-2 Rakernas PDI-P, Jokowi Masih di Yogyakarta, Gowes Bareng Jan Ethes...

Nasional
Refleksi 26 Tahun Reformasi: Perbaiki Penegakan Hukum dan Pendidikan Terjangkau

Refleksi 26 Tahun Reformasi: Perbaiki Penegakan Hukum dan Pendidikan Terjangkau

Nasional
Diajak Jokowi Keliling Malioboro, Jan Ethes Bagi-bagi Kaus ke Warga

Diajak Jokowi Keliling Malioboro, Jan Ethes Bagi-bagi Kaus ke Warga

Nasional
Gerindra Minta soal Jatah Menteri Partai yang Baru Gabung Prabowo Jangan Jadi Polemik

Gerindra Minta soal Jatah Menteri Partai yang Baru Gabung Prabowo Jangan Jadi Polemik

Nasional
Gerindra: Nasdem Sama dengan Partai Koalisi yang Lebih Dulu Gabung, Hormati Hak Prerogatif Prabowo

Gerindra: Nasdem Sama dengan Partai Koalisi yang Lebih Dulu Gabung, Hormati Hak Prerogatif Prabowo

Nasional
Pengamat: Sangat Mungkin Partai yang Tak Berkeringat Dukung Prabowo-Gibran Dapat Jatah Menteri

Pengamat: Sangat Mungkin Partai yang Tak Berkeringat Dukung Prabowo-Gibran Dapat Jatah Menteri

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke