Salin Artikel

Debat Capres: Kegagapan Memahami Duduk Perkara Pelanggaran HAM

Beberapa jam sebelum acara debat Capres dimulai, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menggelar Rapat Paripurna Peluncuran Laporan Temuan Pelanggaran HAM di Aceh.

Laporan itu ditulis oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, berisi penjelasan detail 5.195 kasus pelanggaran HAM di negeri Serambi Mekah itu. Berupa penyiksaan, kekerasan seksual, pembunuhan, dan penghilangan paksa yang terjadi sepanjang 30 tahun konflik bersenjata RI-GAM.

Tentu saja, Aceh tidak berniat melokalisasi percakapan laporan KKR itu untuk diri mereka sendiri. Lagi pula di republik ini, pelanggaran HAM terjadi dari ujung ke ujung, dari Aceh hingga Papua.

Bisakah pengalaman Aceh mengungkapkan pelanggaran HAM masa lalu, menjadi model bagi agenda nasional masa depan?

Harusnya, itu diperbincangkan dalam Debat Pertama Capres 2024. Di mana HAM menjadi salah satu isu utama di samping Hukum, Pemerintahan, Pemberantasan Korupsi, dan Penguatan Demokrasi dalam tema debat pertama yang dipilih KPU.

Ketiga Capres sayangnya, masih gagap memahami duduk perkara pelanggaran HAM oleh negara. Nyaris semua gagasan yang dipercakapkan bersifat normatif permukaan.

Seperti perlunya dialog, keadilan, dan mendengarkan suara korban untuk penegakan HAM di Indonesia.

Prabowo Subianto, Capres nomor urut dua, satu tingkat lebih konservatif karena masih menggunakan kerangka pikir keamanan, pertahanan, dan stabilitas negara dalam mengurai persoalan pelanggaran HAM. Terutama pelanggaran HAM di Papua yang ditanyakan panelis.

Artinya, Prabowo mengutamakan keamanan negara di atas segalanya. Peradaban HAM tidak akan tumbuh di Indonesia dengan kerangka pikir seperti itu.

Agak mengejutkan banyak orang, Prabowo memiliki trauma teoritis yang cukup dalam tentang isu HAM. Baginya, selama isu pelanggaran HAM masa lalu ditujukan pada dirinya, itu bersifat tendensius atau politisasi HAM untuk menyerang citra politiknya.

Harus diakui memang, joget Gemoy telah disemarakan seluas mungkin oleh Tim Sukses Prabowo bagian dari strategi memperbaiki citranya yang militeristik, emosional, dan dekat dengan sejarah kekerasan negara pada masa lalu.

Joget Gemoy membentuk citra Prabowo yang menyenangkan dan riang gembira. Namun, caranya mereaksi perdebatan pelanggaran HAM di panggung debat telah meruntuhkan citra itu.

Capres nomor 3, Ganjar Pranowo, mengusulkan pendekatan lain yang lebih dibutuhkan selain pendekatan keamanan dan pertahanan.

Ganjar menekankan pentingnya dialog semua pihak untuk didengarkan dalam penyelesaian pelanggaran HAM di Papua. Bukankah gagasan penegakan HAM seperti itu terdengar masih terlalu basa basi?

Anies Baswedan memperhatikan isu HAM lebih serius dibanding kedua calon presiden lainnya. Sialnya, Anies berhenti pada gagasan-gagasan prinsipil belaka.

Seperti pentingnya memastikan keadilan dan mendengarkan suara korban, tanpa tahu langkah-langkah strategis apa yang harus diambil pemerintah pada masa depan, itu tidak akan banyak membuat perubahan.

Ketiga Capres melupakan tiga hal terpenting dalam penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Pertama, keluarga korban dari Aceh hingga Papua masih menunggu pengungkapan kebenaran dari peristiwa kekerasan yang telah membunuh, menghilangkan, memerkosa, dan menyiksa anggota keluarga mereka.

Keluarga korban punya hak untuk tahu. Bangsa Indonesia juga punya hak untuk tahu kebenaran dari peristiwa itu secara utuh.

Tidak perlu ada yang ditutupi dan dilindungi. Pengetahuan kebenaran atau realitas peristiwa itu akan membentuk kesadaran kolektif bangsa Indonesia, terutama para pengelola negara untuk lebih berhati-hati membuat kebijakan dan tindakan pada masa depan.

Setiap pengelola negara dipaksa malu untuk melanggar HAM pada masa depan karena semuanya akan diungkapkan secara utuh ke publik luas.

Kesadaran kolektif adalah titik akhir yang ingin dicapai dari pengungkapan kebenaran utuh dari setiap peristiwa pelanggaran HAM. Ini langkah epistemik terpenting membangun peradaban HAM di negara ini.

Tentu, pengungkapan kebenaran harus menjadi materi edukasi di dunia pendidikan dan media massa.

Itulah yang dilakukan di Aceh dan Timor Leste. Meskipun belum semua peritiswa pelanggaran HAM berhasil didokumentasikan dan belum semua sisi dari satu peristiwa berhasil diungkapkan, setidaknya KKR Aceh dan KKP Timor Leste melakukan pekerjaan penting pada taraf kesadaran epistemik dalam penegakan HAM.

Lagian, ketetapan MPR No. V Tahun 2000 sudah menggariskan kewajiban negara untuk melakukan pengungkapan pelanggaran HAM masa lampau, membentuk KKR, dan melakukan langkah-langkah lanjutan, termasuk penegakan hukum dan pemulihan pada para korban.

Indonesia pernah memilih jalan ini, melalui UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Tragisnya, Mahkamah Konstitusi membatalkan UU tersebut atas dasar Pasal 27 dinilai tidak sesuai UUD 1945.

Dari tiga Capres, hanya Ganjar yang menyatakan penting mengusulkan kembali Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR). Ini juga satu-satunya langkah strategis yang sempat disinggung sejauh menyangkut pelanggaran HAM berat masa lalu dalam debat pertama Capres 2024.

Kedua, ketiga Capres tidak menyadari bahwa pemulihan korban dan keluarga korban selama ini hanya bersifat bantuan sosial.

Setelah pengungkapan kebenaran dilakukan dengan sepenuh hati, kelanjutannya adalah pemulihan korban dan keluarga korban.

Pemerintah biasanya memandang remeh korban, sehingga bentuk-bentuk pemulihan yang ditawarkan kebanyakan bantuan sosial jangka pendek.

Ke tiga, tidak ada Capres yang berkomitmen pada perbaikan penyelenggaraan pengadilan HAM.

Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro mengatakan pengadilan HAM di Indonesia berdasarkan kajiannya atas praktik-praktik selama ini memperlihatkan ketidakjelasan metodologi hukum dalam proses peradilannya.

Sehingga pengadilan HAM dalam banyak kasus, gagal menghadirkan rasa keadilan bagi korban dan keluarga korban.

Seringkali adanya perbedaan pandangan antara Komnas HAM sebagai penyelidik dan Kejaksaan Agung sebagai penyidik dalam hal persyaratan formil maupun kesimpulan ada tidaknya pelanggaran HAM berat, bisa sangat mengganggu proses pengadilam HAM. Menciptakan kemacetan dari tahapan penyelidikan menuju ke penyidikan.

Bagi Komnas HAM, hukum acara yang ada tidak mungkin memadai untuk mengungkapkan, membawa tersangka apalagi membuktikan bahwa terdakwa bertanggungjawab terhadap terjadinya pelanggaran HAM berat.

Walhasil, bila ketiga Capres ingin memperbaiki tatakelola negara pada masa depan memastikan pelanggaran HAM berat tak terulangi lagi, bukankah mereka harus menggagas kembali KKR Nasional, sistem pemulihan korban yang efektif berjangka panjang, dan perbaikan pengadilan HAM?

Tentu saja, jika perbincangan HAM benar-benar sampai ke hati dan diniatkan jadi agenda penting nasional setelah mereka berkuasa nantinya.

https://nasional.kompas.com/read/2023/12/18/05450021/debat-capres--kegagapan-memahami-duduk-perkara-pelanggaran-ham

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke