Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu mengatakan, gratifikasi itu diterima sejak 2009 hingga 2023 melalui transaksi perbankan.
“Menjadi bukti permulaan awal gratifikasi yang diterima Eko sejumlah sekitar Rp 18 miliar,” ujar Asep dalam konferensi pers di gedung KPK, Jakarta Selatan, Jumat (8/12/2023).
Menurut Asep, Eko mulai menjadi Penyidik pegawai Negeri Sipil (PPNS) pada Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI mulai tahun 2007.
Selama 2007 hingga 2023, Eko menduduki sejumlah posisi strategis di lingkungan Ditjen Bea Cukai seperti, Kepala Bidang Penindakan, Pengawasan, Pelayanan Bea dan Cukai Kantor Bea dan Cukai Jawa Timur I (Surabaya).
Kemudian, ia juga menjabat Kepala Sub Direktorat Manajemen Risiko Direktorat Informasi Kepabeanan dan Cukai Ditjen Bea dan Cukai.
Eko diduga memaksimalkan kewenangan untuk menerima gratifikasi dari para pengusaha yang berhubungan dengan Bea Cukai.
“Menggunakan nama dari keluarga inti dan berbagai perusahaan yang terafiliasi dengan Eko,” tutur Asep.
Menurut Asep, uang Rp 18 miliar itu hanya merupakan bukti permulaan. Eko tidak melaporkan uang-uang yang diterima itu dalam waktu 30 hari kerja sehingga masuk kategori gratifikasi.
“KPK terbuka untuk menelusuri dan mendalami aliran uangnya,” kata Asep.
Adapun perkara Eko dimulai dari temuan Direktorat Laporan Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) pada Kedeputian Pencegahan dan Monitoring KPK.
Tim LHKPN menemukan pengisian LHKPN yang tidak sesuai dan keberadaan sejumlah aset bernilai ekonomis yang tidak sesuai dengan profil Eko.
Karena perbuatannya, Eko disangka melanggar Pasal 12B Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur gratifikasi.
https://nasional.kompas.com/read/2023/12/08/21213351/ditahan-kpk-eks-kepala-bea-cukai-yogyakarta-diduga-terima-gratifikasi-rp-18