JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana mengatakan, revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan inisiatif dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), bukan pemerintah.
Hal itu disampaikannya merespons pernyataan mantan Ketua KPK Agus Rahardjo soal revisi UU KPK.
Agus sebelumnya menyatakan, revisi UU yang melemahkan KPK itu terjadi karena ia menolak perintah Presiden Joko Widodo untuk menghentikan kasus korupsi E-KTP Setya Novanto.
"Perlu diperjelas bahwa Revisi UU KPK pada tahun 2019 itu inisiatif DPR, bukan inisiatif pemerintah, dan terjadi dua tahun setelah penetapan tersangka Setya Novanto," ujar Ari kepada Kompas.com, Jumat (1/12/2023).
Catatan Kompas.com, Revisi UU KPK disahkan pada September 2019 lalu. Namun, proses revisinya
UU itu memang diinisiasi oleh DPR, yang saat itu didominasi parpol pendukung Presiden Joko Widodo.
Namun, pemerintah pun turut andil menyetujui revisi itu disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019.
Sementara itu, terkait dengan pernyataan Agus bahwa Presiden Jokowi pernah memerintahkannya menghentikan kasus E-KTP Setya Novanto, Ari tidak menjawab dengan lugas.
Ari tidak menjawab apakah Presiden Jokowi memang pernah memerintahkan Agus menghentikan kasus E-KTP yang menjerat Setya Novanto pada 2017 lalu.
Ia hanya meminta publik untuk melihat proses hukum Setya Novanto yang terus berjalan sampai tingkat pengadilan.
"Kita lihat saja apa kenyataannya yang terjadi. Kenyataannya, proses hukum terhadap Setya Novanto terus berjalan pada tahun 2017 dan sudah ada putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap," kata Ari.
Ari pun menjelaskan, pada pernyataan resmi tanggal 17 November 2017, Presiden Jokowi dengan tegas meminta Setya Novanto tetap mengikuti proses hukum di KPK.
Sebab. saat itu Novanto telah menjadi tersangka korupsi kasus e-KTP
"Presiden juga yakin proses hukum terus berjalan dengan baik," katanya.
Pengakuan Agus Rahardjo
Sebelumnya, Ketua KPK periode 2015-2019 Agus Rahardjo mengaku pernah dipanggil dan diminta Presiden Joko Widodo untuk menghentikan kasus korupsi e-KTP yang menjerat Setya Novanto.
Adapun Setnov saat itu menjabat sebagai Ketua DPR RI dan Ketua Umum Partai Golkar, salah satu parpol pendukung Jokowi.
“Saya pikir kan baru sekali ini saya mengungkapkannya di media yang kemudian ditonton orang banyak,” kata Agus dalam wawancara dengan Rosi yang tayang di Kompas TV, Kamis (30/11/2023).
“Saya terus terang, waktu kasus e-KTP saya dipanggil sendirian oleh presiden. Presiden pada waktu itu ditemani oleh Pak Pratikno (Menteri Sekretaris Negara),” lanjut Agus.
Saat itu, Agus merasa heran karena biasanya presiden memanggil lima pimpinan KPK sekaligus.
Namun, kala itu dipanggil seorang diri. Ia juga diminta masuk ke Istana tidak melalui ruang wartawan melainkan jalur masjid.
Ketika memasuki ruang pertemuan, Agus mendapati Jokowi sudah marah. Ia pun heran dan tidak mengerti maksud Jokowi.
Setelah duduk ia baru memahami bahwa Jokowi meminta kasus yang menjerat Setnov disetop KPK.
"Presiden sudah marah menginginkan, karena baru masuk itu beliau sudah ngomong, ‘hentikan!’,” tutur Agus.
“Kan saya heran, yang dihentikan apanya? Setelah saya duduk ternyata saya baru tahu kalau yang (Jokowi) suruh hentikan itu adalah kasusnya Pak Setnov,” lanjut Agus.
Namun, Agus menolak perintah Jokowi. Sebab, Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (Sprindik) kasus e KTP dengan dengan tersangka Setnov sudah terbit tiga minggu sebelumnya.
Sementara, saat itu dalam aturan hukum di KPK tidak ada mekanisme Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
“Saya bicara apa adanya saja bahwa Sprindik sudah saya keluarkan tiga minggu yang lalu di KPK itu enggak ada SP3, enggak mungkin saya memberhentikan itu,” kata Agus.
Merespons itu, Jokowi kemudian bertanya kepada Pratikno mengenai apa itu Sprindik.
“Sprindik itu apa to?” ucap Agus menirukan Jokowi.
Pertemuan itu tidak menghasilkan apa-apa karena Agus menolak perintah sang Presiden.
Agus melanjutkan, beberapa waktu setelah kejadian itu, Undang-Undang KPK direvisi.
Setelah direvisi, KPK memiliki mekanisme SP3.
Agus pun merenungkan dan menduga revisi UU KPK tidak terlepas karena keinginan penguasa mengendalikan lembaga tersebut.
“Itu salah satu yang setelah kejadian revisi UU KPK kemudian menjadi perenungan saya, oh ternyata (penguasa) pengin KPK itu bisa diperintah-perintah,” jelas Agus.
https://nasional.kompas.com/read/2023/12/01/11211991/jawab-agus-rahardjo-istana-revisi-uu-kpk-inisiatif-dpr-terjadi-dua-tahun