JAKARTA, KOMPAS.com - Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) selesai memeriksa hakim konstitusi Daniel Yusmic berkaitan dengan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang kontroversial terkait kepala daerah bisa maju sebagai capres-cawapres.
Dalam sidang tertutup, Daniel mengaku bercerita soal proses pengambilan putusan di dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH).
"Hanya soal persidangan saja, maksudnya RPH-nya, prosesnya," kata Daniel kepada wartawan selepas diperiksa, Kamis (2/11/2023).
Catatan Kompas.com, setidaknya ada dua isu penting berkaitan dengan RPH.
Pertama, isu bergesernya dissenting opinion (pendapat berbeda) hakim konstitusi Enny Nurbaningsih dan Daniel menjadi concurring opinion, yang sangat krusial.
Dalam argumentasi mereka, keduanya tidak setuju anggota legislatif dan kepala daerah di segala tingkatan dapat menjadi capres-cawapres sebelum 40 tahun.
Enny dan Daniel menganggap hanya jabatan gubernur, yang memenuhi syarat untuk mendaftarkan diri sebagai capres-cawapres pada usia di bawah 40 tahun.
Sejumlah pakar hukum tata negara menganggap, pendapat yang disampaikan Enny dan dalam putusan itu seharusnya dianggap sebagai dissenting opinion.
Jika dianggap sebagai dissenting opinion, posisi Enny dan Daniel seharusnya dianggap berada dalam komposisi mayoritas hakim yang menolak mengubah syarat usia minimum capres-cawapres bersama Saldi Isra, Arief Hidayat, Suhartoyo, dan Wahiduddin Adams.
Masalahnya, karena dianggap concurring opinion, posisi Enny dan Daniel dianggap masuk dalam komposisi hakim mayoritas yang sepakat mengubah syarat usia minimum capres-cawapres bersama Anwar Usman, Guntur Hamzah, dan Manahan Sitompul.
Kedua, isu soal keterlibatan mendadak Ketua MK Anwar Usman dalam memutus perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang berujung dikabulkan sebagian oleh MK.
Padahal, dalam perkara sejenis yaitu nomor 29, 51, dan 55, ipar Presiden Joko Widodo itu mangkir. Alasan mangkirnya berbeda versi, antara mengundurkan diri karena enggan terlibat konflik kepentingan, dan alasan kesehatan.
Sebagai informasi, dugaan pelanggaran kode etik ini mengemuka setelah MK mengabulkan gugatan terkait syarat usia calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) pada Senin (16/10/2023) lewat putusan yang kontroversial.
Dalam Putusan 90 itu, MK merumuskan sendiri norma bahwa seorang pejabat yang terpilih melalui pemilu dapat mendaftarkan diri sebagai capres-cawapres walaupun tak memenuhi kriteria usia minimum 40 tahun.
Putusan ini memberi tiket untuk putra sulung Jokowi yang juga keponakan Anwar, Gibran Rakabuming Raka, untuk melaju pada Pilpres 2024 dalam usia 36 tahun berbekal status Wali Kota Solo yang baru disandangnya 3 tahun.
Gibran pun secara aklamasi disepakati Koalisi Indonesia Maju (KIM) sebagai bakal cawapres pendamping Prabowo Subianto sejak Minggu (22/10/2023) dan telah didaftarkan sebagai bakal capres-cawapres ke KPU RI, Rabu (25/10/2023).
Anwar membantah dirinya terlibat konflik kepentingan dalam memutus perkara ini, meski pendapat berbeda (dissenting opinion) hakim konstitusi yang tak setuju Putusan 90 itu mengungkap bagaimana keterlibatan Anwar mengubah sikap MK dalam waktu pendek.
Hingga kini, MK telah menerima secara resmi 20 aduan terkait dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim dari putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut.
Aduan tersebut bervariasi, mulai dari melaporkan Ketua MK Anwar Usman selaku paman Gibran, ada yang memintanya mengundurkan diri, ada yang melaporkan seluruh hakim konstitusi, ada yang melaporkan hakim yang menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion), dan aduan yang mendesak agar segera dibentuk MKMK.
MKMK menyatakan bakal membacakan putusan paling lambat pada 7 November 2023, sehari sebelum tenggat pengusulan bakal pasangan capres-cawapres pengganti ke KPU RI.
https://nasional.kompas.com/read/2023/11/02/18290981/diperiksa-mkmk-hakim-daniel-cerita-proses-gugatan-usia-capres-cawapres