Ikrar yang merupakan pendukung Jokowi tersebut juga merasa tidak percaya dengan langkah cawe-cawe yang diduga dilakukan Presiden.
"Sangat kecewa. Bukan kecewa lagi, tapi sangat kecewa. Dan kita tidak percaya. Kecewa dan tidak percaya menjadi satu," ujar Ikrar saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (21/10/2023).
"Saya tidak menyangka Presiden yang menjadi idola bagi banyak orang, khususnya bagi kami-kami pakar politik, ahli hukum tata negara yang selalu mengharapkan Indonesia memiliki pemimpin yang menjadi panutan," jelasnya.
Ikrar menjelaskan, sampai satu bulan lalu, dirinya masih belum percaya Presiden Jokowi akan mengambil langkah yang akan memudahkan pencalonan putranya dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Sampai pada suatu hari dia berubah pikiran ketika sedang berbincang dengan sejumlah politisi yang juga rekan-rekannya.
Dari rekan-rekannya itulah Ikrar mengetahui kepastian bahwa ada tekanan politis untuk mengubah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal uji materi batas usia capres dan cawapres.
Mantan Duta Besar RI untuk Tunisia itu pun menduga ada rekayasa yang terjadi di MK. Yang mana putusan hakim yang tadinya menolak, kemudian berubah menjadi menerima sebagian.
Oleh karenanya, Ikrar khawatir dalam proses Pemilu 2024 yang berlangsung cukup panjang nantinya ada lagi rekayasa-rekayasa yang terjadi.
Terlebih, saat Gibran sudah resmi menjadi peserta pemilu nantinya dikhawatirkan Presiden menjadi tidak netral.
Sebab seorang Presiden memiliki kapital yang sangat besar lewat kekuasaannya.
"Bagaimana mau netral, wong anaknya ikut kontestasi (pemilu). Kebetulan dia masih Presiden Indonesia. Saya tidak menuduh, bukan mustahil dia akan menggunakan institusi baik TNI, Polri, BIN, BSSN," ungkap Ikrar.
Ikrar yang juga mantan Kepala Pusat Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu pun menyayangkan Presiden Jokowi yang sudah mencatat rapor baik di sejumlah bidang, baik ekonomi, infrastuktur, pembangunan di Papua dan sebagainya.
"Tetapi justru menciderai situasi politik. Memberikan warisan yang berdemokrasi untuk generasi milenial, generasi Z," tambahnya.
Sebagaimana diketahui, tanda-tanda Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres untuk Prabowo Subianto menjadi semakin jelas setelah Partai Golkar mengumumkan dukungan untuk Prabowo dan Gibran.
Hal tersebut diungkapkan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dalam konferensi pers pada Sabtu siang.
Maklumat Juanda
Sebelumnya, diberitakan Kompas.id, hanya satu jam setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusan uji soal batas usia capres-cawapres, ratusan orang dari berbagai kalangan, yakni guru besar, agamawan, budayawan, pegiat literasi, pegiat antikorupsi, pemerhati hak asasi manusia, tokoh pendidikan, wartawan, seniman, dan lapisan masyarakat berkumpul di Malacca Toast, Jalan Juanda, Jakarta, Senin (16/10/2023) sore.
Mereka menyampaikan keprihatinan dan kekecewaan atas putusan MK yang dinilai melanggengkan politik dinasti di Indonesia.
Dalam putusannya, MK menyatakan, seseorang yang belum berusia 40 tahun, tetapi pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah, bisa maju sebagai calon presiden dan calon wakil presiden.
Reformasi kembali ke titik nol. Mundurnya Reformasi ditandai dengan merosotnya demokrasi dan diperburuk oleh fenomena politik dinasti.
Atas putusan itu, ratusan tokoh membacakan maklumat keprihatinan serta menyikapi situasi politik dan demokrasi di Indonesia. Pembacaan maklumat dipimpin Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid yang diikuti Erry Riyana Hardjapamekas, Danang Widoyoko, Profesor Sulistyowati Irianto, Faisal Basri, Henny Supolo, Nia Sjarifudin, dan tokoh lainnya.
Maklumat itu ditandatangani oleh 215 tokoh dari berbagai kalangan profesi dan unsur masyarakat. Mereka bersama-sama menyerukan reformasi dan pemulihan demokrasi.
Mereka menilai prosedur demokrasi disalahgunakan untuk memfasilitasi oligarki yang lama mengakar di era rezim Soeharto. Kedaulatan rakyat seperti disingkirkan, ruang publik dipersempit, lembaga antikorupsi dilemahkan, dan kekuatan eksekutif ditebalkan.
Penyelesaian pelanggaran HAM berat juga berhenti di ranah non-yudisial dan terhalang oleh kompromi politik jangka pendek. Politik dinasti juga terasa kental ketika presiden menyalahgunakan kekuasaan yang sedang dipegangnya untuk mengistimewakan keluarga sendiri.
”Anak-anaknya yang minim pengalaman dan prestasi politik menikmati jabatan publik maupun fasilitas bisnis yang tak mungkin didapat tanpa status anak kepala negara atau anak presiden yang berkuasa,” ujar Usman.
Selain itu, mereka menganggap presiden terus bermanuver untuk menentukan proses Pemilu 2024. Hal itu ditandai dengan menggandeng kubu politik untuk menjamin masa depan sendiri dan dinasti keluarga.
Mereka mendesak agar pemimpin bangsa, terutama presiden, memberikan teladan kepada masyarakatnya. Mereka juga meminta agar politik di Indonesia diperuntukkan untuk kedaulatan rakyat.
”Kami mendesak para pemimpin bangsa, terutama Presiden Jokowi, agar memberi teladan dan bukan memberi contoh buruk memperpanjang kebiasaan membangun kekuasaan bagi keluarga,” ucap Usman.
https://nasional.kompas.com/read/2023/10/21/14181211/deklarator-juanda-kecewa-gibran-jadi-bacawapres-prabowo-singgung-cawe-cawe