Salin Artikel

Setahun Tragedi Kanjuruhan: Menolak Lupa, Merawat Asa Keadilan

Akan tetapi, tragedi penuh pilu yang menewaskan 135 Aremania masih membekas bagi masyarakat Malang, terutama keluarga korban.

Terlebih, mereka hingga kini juga masih berjuang dan menuntut keadilan kepada kepolisian atas peristiwa yang berpangkal dari tembakan gas air mata itu.

Duduk perkara

Tragedi Kanjuruhan terjadi usai berakhirnya laga antara Arema FC menjamu Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022 malam.

Hasilnya, Singo Edan, julukan Arema FC tumbang atas tim tamu Persebaya dengan skor 2-3.

Kekalahan ini membuat sejumlah Aremania menumpahkan kekecewaannya dengan berhamburan masuk ke lapangan.

Aparat keamanan pun kewalahan menghalau suporter yang masuk ke area lapangan. Situasi semakin tak terkendali ketika aparat keamanan menembakkan gas air mata ke arah tribun penonton.

Tembakan gas air mata membuat banyak Aremania berjatuhan karena panik. Ada pula yang terinjak-injak hingga sesak napas saat hendak menyelamatkan diri.

Awalnya, jumlah korban tercatat sekitar puluhan. Namun, jumlah korban berlahan semakin banyak seiring bergantinya hari.

Dari awalnya puluhan, hingga terakhir tercatat 135 korban jiwa.

Penanganan hukum

Dalam penanganan hukumnya, dua polisi ditetapkan sebagai tersangka. Keduanya ialah Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi dan eks Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto.

Namun, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya memvonis keduanya bebas. Putusan ini dibacakan pada Kamis (16/3/2023).

Akan tetapi, vonis bebas itu dibatalkan. Oleh MA, Bambang dihukum dua tahun penjara. Sedangkan Wahyu dihukum 2,5 tahun penjara.

Selain Bambang dan Wahyu, MA juga memperberat hukuman Ketua Panitia Pelaksana Arema FC Abdul Haris.

Sebelumnya, pada tingkat pertama, Abdul Haris hanya dihukum pidana penjara selama 1,5 tahun. Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta.

Akan tetapi, jaksa penuntut umum tak puas atas putusan tersebut. Jaksa akhirnya mengajukan kasasi dan dikabulkan oleh MA.

"Kasasi jaksa penuntut umum tolak perbaikan pidana menjadi pidana penjara dua tahun," demikian bunyi putusan kasasi, dikutip dari Kompas TV, Kamis (28/9/2023).

Adapun putusan kasasi ini dikeluarkan pada Senin (25/9/2023). Keputusan ini diambil menjelang setahun Tragedi Kanjuruhan pada Minggu (1/9/2023).

Sementara, majelis hakim terdiri dari Dwiarso Budi Santiarto selaku ketua, Jupriyadi dan Prim Haryadi selaku anggota, serta Mario Parakas selaku panitera pengganti.

Pada hari yang sama, majelis hakim juga menolak kasasi jaksa atas security officer Suko Sutrisno dan mantan Danki 3 Brimob Polda Jawa Timur Hasdarmawan.

Adapun Suko divonis 1 tahun pidana penjara. Sedangkan Hasdarmawan divonis 1 tahun 6 bulan penjara.

Kala itu, banyak kota-kota di Indonesia yang membentangkan spanduk bertuliskan "Usut Tuntas", narasi yang penuh dengan harapan agar Tragedi Kanjuruhan ini benar-benar dapat diselesaikan secara menyeluruh.

Namun, seiring berjalannya waktu, Aremania dan keluarga korban justru masih berjuang untuk mendapatkan keadilan seperti yang mereka harapkan. Di mata mereka, penegakan hukum tragedi ini belum menghasilkan keadilan.

Berbagai jalur pun ditempuh untuk merawat ingatan atas tragedi kemanusiaan ini. Salah satunya dengan mendatangi langsung Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Rabu (27/9/2023).

Di Bareskrim Polri, puluhan keluarga korban mengenakan baju berwarna hitam dengan bertuliskan "Usut Tuntas" dan "Menolak Lupa 1 Oktober 2022".

Mereka juga membawa foto sanak saudara yang menjadi korban dalam tragedi ini. Kedatangan mereka jauh-jauh dari Malang tak lain untuk menuntut keadilan kepada pihak polisi.

"Ini kami mengadu ke Bareskrim karena penanganan di Polres sangat melukai hukum dan melukai keluarga korban," kata salah satu keluarga korban, Devianto.

Devianto menyayangkan para pelaku penembak gas air mata di Tragedi Kanjuruhan tidak ada yang memiliki itikad baik untuk minta maaf kepada keluarga korban.

Berkaca pada peristiwa 1 Oktober 2022 malam, Devianto meminta agar tidak lagi ada penggunaan gas air mata di dalam stadion.

"Kami ingin sebagai pembelajaran bahwa gas air mata itu sangat berbahaya tidak boleh digunakan di stadion. Itu kan penyebab meninggalnya anak-anak kami," ujarnya.

Kejanggalan pengungkapan

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat adanya sejumlah kejanggalan dalam pengungkapan Tragedi Kanjuruhan.

Koordinator Kontras Dimas Bagus Arya mengatakan, terdapat dua momentum kejanggalan pengungkapan Tragedi Kanjuruhan, yakni sebelum proses peradilan dan ketika berlangsungnya proses peradilan.

Sebelum proses peradilan berlangsung misalnya, kala itu tersebar narasi yang menyesatkan terkait Tragedi Kanjuruhan.

"Seperti pernyataan Kapolda Jawa Timur yang menyatakan bahwa penggunaan gas air mata sudah sesuai SOP," kata Dimnas, dikutip dari dokumen Lembar Fakta Tragedi Kanjuruhan yang disusun Kontras, Kamis (28/9/2023).

Penanganan hukum Tragedi Kanjuruhan kian penuh teka-teki ketika saksi korban dan keluarga korban juga minim dilibatkan dalam proses peradilan.

"Komposisi saksi didominasi oleh aparat kepolisian," katanya.

Dimas mengatakan, beberapa kejanggalan tersebut menunjukkan bahwa proses hukum ini gagal dalam mengungkap kebenaran (intended to fail) serta melindungi pelaku kejahatan dalam Tragedi Kanjuruhan.

"Proses persidangan ini juga merupakan bagian dari proses peradilan yang sesat (malicious trial process)," tegas dia.

https://nasional.kompas.com/read/2023/09/28/16105371/setahun-tragedi-kanjuruhan-menolak-lupa-merawat-asa-keadilan

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke