Bisa disebut bahwa dari rahim partai politiklah lahir para pejabat negara di tingkat pusat hingga daerah.
Jika tidak menjadi penyelenggara negara, partai politik bisa menjadi pihak oposisi, yang juga memiliki peran besar, yaitu mengawasi jalannya pemerintahan sehari-hari. Tanpa check and balances, penyelenggaraan negara bisa menyimpang dari tujuan dasarnya.
Tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam konstitusi dapat diwujudkan dengan berbagai gagasan dasar (atau ideologi).
Setiap partai umumnya mengadopsi ideologi yang menurutnya sesuai. Secara umum ideologi partai dapat dibedakan menjadi liberal/konservatif, nasionalis/keagamaan, atau gabungan di antaranya.
Di Inggris, Partai Buruh lebih liberal dalam menyikapi sebagian besar isu-isu sosial dan ekonomi, sedang Partai Konservatif, dengan tokohnya yang terkenal, yaitu Margaret Thatcher, tentu saja lebih konservatif.
Demikian pula di Amerika Serikat, Partai Republik lebih konservatif. Sedangkan Partai Demokrat, darimana Presiden AS sekarang - Joe Biden - berasal, lebih liberal.
Tentu saja di dalam partai-partai itu, seringkali banyak pandangan yang bersilangan dari para anggotanya, sehingga pembedaan itu menjadi tidak begitu relevan.
Di Indonesia, perbedaan yang cukup jelas adalah antara ideologi kebangsaan dengan ideologi keagamaan. Saat ini, penganut ideologi kebangsaan yang menonjol adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), sedang penganut ideologi keagamaan adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Namun, dalam praktik sehari-hari perbedaan ideologi itu kurang begitu mengemuka.
Persekutuan antara partai berideologi kebangsaan dengan partai berideologi keagamaan pun sering terjadi, dan ini tentu tidak keliru.
Contoh yang aktual adalah antara Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang berbasis agama. Keduanya sepakat akan mencalonkan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar sebagai presiden dan wakil presiden.
Keuangan partai
Peran partai politik sebagai pengawal tujuan bernegara menjadikannya lembaga yang strategis. Dari sisi masyarakat, partai politik dituntut untuk dikelola secara akuntabel.
Rakyat berhak tahu bagaimana regenerasi pengurus partai ditentukan, bagaimana kaderisasi dijalankan, bagaimana keuangan partai dikelola, dan sebagainya.
Dalam hal keuangan, sudah menjadi rahasia umum bahwa seseorang yang ingin ditetapkan sebagai calon kepala daerah oleh suatu partai harus membayar sejumlah uang kepada partai tersebut.
Jika perlu, bakal calon itu meminta partai-partai lain untuk bergabung sehingga syarat pencalonan kepala daerah terpenuhi. Maka ia juga harus menyerahkan sejumlah uang kepada partai-partai yang mengusungnya.
“Uang perahu” ini adalah salah satu sumber pendanaan partai yang tidak legal, namun terjadi, walau mungkin tidak semua partai melakukannya.
Partai politik umumnya memerlukan dana untuk tiga kegiatan utama, yaitu pertama, membiayai organisasi partai seperti menyewa kantor, membayar staf sekretariat, mengelola keanggotaan partai, dsb.
Kedua untuk melakukan kaderisasi anggota sehingga menghasilkan kader-kader partai yang berwawasan nasional, memahami fungsi lembaga-lembaga negara, piawai menyusun draf undang-undang, dsb.
Kegiatan ketiga adalah melakukan kampanye untuk memperkenalkan anggota partai kepada calon pemilih dalam setiap kegiatan pemilu, termasuk pilpres dan pilkada.
Biaya kampanye pemilu ini memang sebagian besar ditanggung sendiri oleh para calon peserta yang diajukan partai, karena setiap calon juga bersaing dengan calon separtainya disamping dengan calon dari partai-partai lain. Ini adalah konsekuensi dari dipilihnya sistem proporsional terbuka dalam pemilu Indonesia saat ini.
Undang-Undang Partai Politik (Nomor 2/2008 yang diubah dengan UU 2/2011) menyebutkan ada beberapa sumber keuangan partai politik, yaitu iuran anggota, sumbangan dari perorangan dan badan usaha, serta bantuan dari negara (APBN/APBD).
Ada batas maksimal untuk dana sumbangan, yaitu Rp 1 juta (perorangan) dan Rp 7,5 juta (badan usaha) dalam setahun. Sedang bantuan dari APBN ditetapkan sebesar Rp 1.000 per suara sah yang dimenangkan partai.
Transparan dan akuntabel
Karena melibatkan anggaran negara, setiap partai wajib melaporkan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran yang bersumber dari dana bantuan APBN/APBD kepada Badan Pemeriksa Keuangan secara berkala.
UU Parpol juga mewajibkan pengelolaan keuangan partai dilakukan secara transparan dan akuntabel, diaudit oleh akuntan publik, serta diumumkan secara periodik.
Dengan transparansi pengelolaan keuangan partai in, maka penerimaan dana ilegal seperti "uang perahu" dapat dicegah.
Masyarakat tentu tidak ingin suatu partai memiliki usaha yang terlarang untuk mengumpulkan dana, atau mendapat donasi dari seorang pemodal atau beberapa pengusaha.
Dana sumbangan itu bisa dipastikan akan harus dikembalikan oleh calon manakala menang dalam pilkada, yang bisa jadi berupa ijin-ijin usaha, proyek/kegiatan pembangunan, atau berbagai sumber daya negara lain.
Benahi partai
Menjadi harapan kita semua agar partai-partai politik mematuhi sepenuhnya ketentuan undang-undang tentang transparansi keuangan partai.
Walau belum ada peraturan pelaksanaan sebagai panduan untuk melaksanakan peraturan itu, partai-partai politik tetap wajib mengerjakannya.
Rakyat tidak ingin partai politik bermain "petak umpet" tentang keuangannya. Jika ingin membenahi negara, seperti memberantas korupsi, maka partai politik harus mempublikasikan laporan keuangan partai secara jujur dan bertanggung jawab.
Rakyat akan menilai positif partai yang patuh pada peraturan, dan kepatuhan partai itu akan menjadi pendorong warga untuk juga mematuhi peraturan.
Pada awal 2024 nanti, bertepatan dengan tahun pemilu serentak, laporan keuangan partai hendaknya sudah dapat dicermati segenap rakyat. Dari sini kita berharap agar pemilu yang bersih, jujur, dan berkualitas dapat terwujud.
https://nasional.kompas.com/read/2023/09/15/08381271/parpol-berbenahlah-sebelum-membenahi-negara