Salin Artikel

Pesan Terakhir Munir Sebelum Selamanya Pergi, 19 Tahun Silam...

JAKARTA, KOMPAS.com - “Lan, Cok, aku berangkat, titip kantor dan anak istriku." Demikian pesan singkat yang dikirim Munir, Direktur Eksekutif Imparsial saat itu, kepada Rachland Nashidik dan Rusdi Marpaung atau Ucok, sebelum aktivis hak asasi manusia (HAM) ini meninggalkan Jakarta menuju Amsterdam, Belanda, untuk melanjutkan studi.

Pesan tersebut dikirim Munir ke ponsel Rachland Nasidik, yang kala itu menjabat sebagai Direktur Program Imparsial, pada Senin, 6 September 2004 pukul 21.09.14,

Rachland menjawab pesan singkat tersebut. "Jangan cemas dan ragu-ragu, sukses dengan studimu,” tulisnya.

Pesan yang kurang lebih sama juga disampaikan Munir lewat SMS ke adik kandungnya, dr Jamal. ”Saya akan berangkat malam ini ke Belanda. Kalau ada rezeki, setengah tahun atau satu tahun, sekitar Agustus saya baru pulang. Titip anak dan istriku”.

Siapa sangka, pesan itu menjadi yang terakhir disampaikan Munir ke para kerabatnya. Selasa (7/9/2004) siang, Rachland menerima kabar dari rekannya sesama aktivis HAM, Todung Mulya Lubis, melalui telepon.

Dengan setengah berteriak, Mulya mengabarkan kepergian Munir untuk selama-lamanya. Munir mengembuskan napas terakhir di pesawat Garuda pada pukul 08.10 waktu setempat, ketika berada di ketinggian 40.000 kaki di atas tanah Rumania.

Rachland begitu terkejut. Ia tak percaya bahwa Munir, sahabat yang bersamanya dan Rusdi Marpaung ikut mendirikan Imparsial, pergi selamanya secara tiba-tiba.

"Saya amat sedih," ujar Rachland kepada Harian Kompas, 8 September 2004.

Jumat, 3 September 2004, atau tiga hari sebelum bertolak ke Negeri Kincir Angin, Munir masih menghadiri acara makan siang bersama di Kantor Imparsial di Jalan Diponegoro, Jakarta.

Sore harinya, ia hadir di acara "perpisahan" yang diadakan Propatria Institute di Hotel Santika, Jakarta. Sejumlah intelektual muda yang banyak berkecimpung pada isu-isu militer dan HAM, seperti Todung Mulya Lubis, Edy Prasetyono, Syamsuddin Haris, dan Binny Buchory, juga hadir.

Di hadapan rekan-rekannya, Munir menyampaikan harapan bahwa dia ingin mengambil program doktor sekaligus, meskipun beasiswa yang diperolehnya di Universitas Utrecht hanya untuk program master,

"Saya meledek, apakah kamu sanggup menjadi kutu buku dan melepaskan diri dari gerakan HAM?" ujar Mulya saat itu.

"Ya kalau dua minggu mungkin tahan,” jawab Munir.

Jelang keberangkatan ke Belanda, Rachland mengungkap, Munir menjadi lebih personal dan hangat ke para kerabatnya.

"Kalau ketemu temannya, Munir merangkul. Dia menjadi senang berfoto bersama," kenang Rachland.

Katanya, di tengah kesibukan kursus bahasa Inggris, Munir kadang mengirim pesan singkat, "Lan, kau di mana, aku kangen nih." Rachland kadang tertawa dan menjawab dengan ledekan.

Pesawat yang ditumpangi Munir sempat transit di Bandara Changi, Singapura, pada pukul 00.40 waktu setempat. Selang 30 menit, pesawat melanjutkan perjalanan dan lepas landas menuju Amsterdam sekitar pukul 01.50.

Tiga jam kemudian, Munir yang duduk di kursi 40G tiba-tiba merasa sakit dan beberapa kali ke toilet.

Mengetahui salah seorang penumpangnya sakit, pihak Garuda berupaya memberikan pertolongan lewat dokter yang kebetulan juga menjadi penumpang pesawat. Munir bahkan dipindahkan ke kursi di sebelah dokter tersebut.

"Menurut laporan, keadaan Pak Munir masih tenang, tapi dua jam menjelang pesawat mendarat di Schipol, Pak Munir meninggal," ujar Kepala Komunikasi Perusahaan PT Garuda Indonesia saat itu, Pujobroto, dilansir dari Harian Kompas.

Pesawat tiba di Bandara Schiphol, Belanda, sekitar pukul 10.00 waktu setempat. Setibanya di bandara, seluruh penumpang tidak diperbolehkan turun lantaran ada penumpang yang meninggal.

Menindaklanjuti ini, sekitar 10 petugas polisi militer setempat pun merangsek ke dalam pesawat. Petugas menanyai para penumpang, pramugari, dan pilot.

Dari hasil autopsi, diketahui terdapat racun arsenik dalam tubuh Munir. Diduga, ia diracun saat sedang dalam penerbangan menuju Belanda.

Setelah melewati penyelidikan dan penyidikan yang panjang dan berbelit, pada 20 Desember 2005, seorang pilot pesawat Garuda Indonesia, Pollycarpus Budihari Priyanto, dijatuhi vonis 14 tahun penjara sebagai aktor pembunuhan Munir.

Namun demikian, hingga kini, kronologi kematian Munir belum terungkap jelas. Masih banyak kepingan hilang yang jadi tanda tanya besar dalam kasus kematian sang pahlawan HAM. 

https://nasional.kompas.com/read/2023/09/07/13545071/pesan-terakhir-munir-sebelum-selamanya-pergi-19-tahun-silam

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke