Salin Artikel

Berebut "Memikat" NU Jelang Pilpres, Siapa Bakal Menuai Keuntungan?

JAKARTA, KOMPAS.com - Pesona Nahdlatul Ulama (NU) selalu memikat partai politik dan kandidat bakal calon presiden-calon wakil presiden setiap menjelang Pemilu dan Pilpres.

Gelagat memperebutkan pengaruh demi mendulang suara basis massa NU sudah bisa terlihat saat ini.

Contohnya seperti manuver Partai Nasdem dengan memasangkan bakal capres Anies Baswedan dengan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar (Cak Imin).

Harapannya adalah Cak Imin bisa menggiring suara pendukungnya ke kubu Anies, Nasdem, dan PKB. Akan tetapi, hubungan Cak Imin, PKB, dan PBNU juga tidak harmonis dinilai bakal menjadi ganjalan.

Belum lagi perseteruan Cak Imin dengan keluarga mendiang KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang belum usai.

Pengurus Besar NU (PBNU) menyatakan tidak ikut campur terhadap politik praktis. Akan tetapi, jumlah pendukung mereka akan tetap menggiurkan di mata para politikus. Tentu saja mereka bakal memperebutkan suara demi memenangkan kontestasi politik.

“Selama ini tidak pernah ada pembicaraan di PBNU tentang calon-calon presiden, karena itu di luar domain kami sebagai organisasi keagamaan, kemasyarakatan, yaitu domain partai politik (parpol), silahkan dan silahkan berjuang untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat,” kata Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya, di kantor PBNU, Senen, Jakarta, Sabtu (2/9/2023).

Dua langkah

Menurut Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis, Agung Baskoro, suara basis massa warga Nahdliyin memang selalu diperebutkan dalam setiap kontestasi politik.

Bahkan menurut dia ada 2 cara yang bakal dilakukan oleh seluruh partai politik dan para kandidat bakal capres-cawapres buat mendapatkan suara warga NU dalam Pemilu dan Pilpres.

Agung mengatakan, para bakal capres yang belum memiliki cawapres seperti Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo bakal mencari sosok yang mampu mewakili kalangan Islam Perdesaan, yang selama ini direpresentasikan dengan baik oleh Nahdlatul Ulama.

"Di titik inilah, nama-nama yang selama ini memiliki elektabilitas seperti Khofifah Indar Parawansa, Mahfud MD, Yenny Wahid, hingga Erick Thohir menjadi yang terdepan," kata Agung saat dihubungi pada Senin (4/9/2023).

Namun demikian, Agung menilai baik Ganjar dan Prabowo dinilai tidak akan maksimal jika hanya menggaet sosok-sosok yang dianggap mewakili NU, tanpa dipadukan dengan kerja politik lainnya.

Yang dimaksud Agung adalah para kandidat harus mendekati NU secara struktural dan kultural. Hal itu penting dilakukan supaya mendapat dukungan sebanyak-banyaknya dari basis massa NU, sehingga secara utuh dapat terwakili melalui pasangan yang kelak maju.

"Sehingga, para capres-cawapres yang kelak maju mesti pula aktif untuk melakukan komunikasi ke kepala desa, ulama, dan kyai kampung yang menjadi simpul-simpul massa penentu kemana suara akan diarahkan," ujar Agung.

Jika strategi itu luput dijalankan, Agung menilai kandidat bakal capres-cawapres tidak akan maksimal meraih dukungan NU, termasuk partai pengusung mereka.

Agung mengambil contoh pada Pilpres 2004. Saat itu Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri berpasangan dengan mendiang mantan Ketua Umum PBNU KH. Hasyim Muzadi.

Dalam Pilpres 2004, pasangan Mega-Hasyim kalah dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla. Salah satu hal ditengarai menjadi faktor kekalahan Mega-Hasyim adalah pendekatan yang mereka lakukan kurang menyeluruh.

Meski tim pemenangan Mega-Hasyim merasa yakin mereka bisa menggunakan pengaruh Hasyim sebagai tokoh NU buat mendulang suara secara struktural, tetapi ternyata justru SBY-JK yang meraih suara dari kelompok kultural NU.

Kelompok NU kultural adalah masyarakat dan pendukung NU yang tidak mengidentikkan dengan struktur kelembagaan ataupun pengaruh pemuka agama.

"Menimbang di masa itu, faktor elektabilitas kurang diakomodasi di sisi cawapres. Sehingga pemilihan cawapres berelektabilitas dan strategi pemenangan melalui blusukan yang intensif menjadi prioritas," papar Agung.

Maka dari itu, Agung menilai pertarungan dalam Pilpres utamanya adalah persaingan figur yang tidak sebatas ketika koalisi partai mampu memastikan tiket pilpres.

"Atau siapa king-queen makers di belakang capres-cawapres yang maju," ucap Agung.

Hal lainnya adalah, kata Agung, dalam pemilihan bakal cawapres, figur yang mampu mewakili NU secara struktural dan kultural menjadi penting.

Agung menilai, jika dilihat dari faktor itu, maka kemungkinan Erick bakal tersisih, meski dia masuk ke dalam struktur NU.

Sedangkan sosok seperti Khofifah, Mahfud MD, Yenny, dan sederet nama lainnya dinilai lebih mampu merepresentasikan citra struktural-kultural lebih relevan.

"Karena nama-nama seperti Khofifah, Mahfud, dan Yenny selama ini memang lahir dan dibesarkan oleh NU," kata Agung.

(Penulis : Tatang Guritno | Editor : Ihsanuddin)

https://nasional.kompas.com/read/2023/09/05/05150071/berebut-memikat-nu-jelang-pilpres-siapa-bakal-menuai-keuntungan-

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke