Salin Artikel

Murka Benny Moerdani Lempar Baret Merah Kopassus

Bersama RPKAD, Moerdani menjelma menjadi salah satu legenda yang selalu menjadi panutan bagi tiap generasi Korps Baret Merah.

Nama besar Moerdani di lingkungan RPKAD juga tak lepas dari kiprahnya ketika menjalankan berbagai operasi.

Sebut saja operasi pertempuran kelompok separatis Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang berbasis di Sumatera pada 1958.

Di tahun yang sama, Moerdani juga ditugaskan untuk terlibat dalam operasi penumpasan Piagam Perjuangan Semesta (Permesta) yang berbasis di Sulawesi.

Moerdani juga terlibat dalam operasi pembebasan Irian Barat. Bahkan, ia ditugaskan untuk memimpin penurunan pasukan terjung payung pada Mei 1962.

Dengan pengabdian panjang bersama RPKAD, namun siapa sangka bahwa Moerdani pernah murka kepada satuan pasukan elite Indonesia ini.

Lantas, seperti apa dan mengapa Moerdani bisa meletupkan kemarahannya kepada RPKAD? Berikut latar belakangnya:

Bela anak buah

Ketika masih berseragam RPKAD, Moerdani mempunyai anak buah bernama Agus Hernoto. Hubungan keduanya sampai pada titik persahabatan yang sangat dekat.

Sama seperti Moerdani, Agus juga memiliki samangat juang tinggi. Jiwa patriotisme Agus terlihat ketika terjun dalam Operasi Benteng I dalam rangka membebaskan Irian Barat dari cengkraman Belanda.

Ketika menjalankan operasi ini, kaki Agus tertembak oleh tentara Belanda. Sejumlah anak buahnya pun berusaha untuk menyelamatkan Agus.

Akan tetapi, upaya pertolongan dari anak buah tak membikin Agus menyingkir dari medan pertempuran.

Agus justru tetap berada di garis depan medan pertempuran. Keberanian dan pengorbanan Agus di tengah luka tembak harus dibayar mahal. Agus akhirnya tertangkap dan ditawan tentara Belanda.

Dikutip dari Tribunnews.com, ketika menjadi tawanan, tentara Belanda tetap merawat Agus. Namun, kaki Agus terpaksa diamputasi karena luka tembaknya kadung membusuk.

Singkat cerita, Agus tetap hidup dan menyaksikan bagaimana Irian Barat akhirnya berhasil direbut Indonesia.

Tak lama setelah Irian Barat resmi dalam pangkuan Indonesia, kabar buruk datang dari markas satuannya.

Pada akhir 1964, para perwira RPKAD menggelar petemuan. Topik utama pertemuan ini adalah membahas penghapusan tentara RPKAD yang cacat.

Pembahasan ini tentu menjadi ancaman bagi Agus. Sebab, kala itu Agus hanya memiliki satu kaki.

Tetapi, keputusan para petinggi RPKAD menghapus tentara cacat ditentang Moerdani yang ketika itu menjadi atasan Agus.

Sikap Moerdani sangatlah mengandung risiko besar. Walhasil, Moerdani "dibuang" dari RPKAD ke Kostrad karena dianggap membangkang keputusan pimpinan.

Di sisi lain, upaya pembelaan Moerdani tak membuat Agus tetap bertahan dan akhirnya dikeluarkan dari RPKAD.

Dikutip dari buku "Bagimu Negeri, Jiwa Raga Kami" karya Bob Heryanto Hernoto, mengetahui bekas anak buahnya dikeluarkan dari RPKAD, Moerdani akhirnya menarik Agus untuk bergabung di unit intelijen Kostrad.

Sejak itulah, Agus melanjutkan karier militernya di dunia intelijen. Moerdani dan Agus lalu bergabung dengan Operasi khusus (Opsus) yang dipimpin oleh Ali Moertopo.

Keduanya bertanggung jawab langsung kepada Presiden Soeharto. Di dalam Opsus, Agus menjadi orang kepercayaan Ali dan Moerdani.

Bahkan, siapa pun yang ingin bertemu dengan Ali dan Moerdani harus melalui Agus, sehingga muncul ungkapan "Agus itu Opsus. Opsus itu Agus".

Di dalam Opsus Agus bertugas menjadi semacam Komandan Detasemen Markas atau Dandenma yang mengatur segala hal terkait operasi-operasi opsus.

Dia juga terlibat dalam berbagai operasi Opsus di Irian Barat dan Timor-Timur.

Agus juga sempat mendapat penghargaan Bintang Sakti dari pemerintah setelah ada kesaksian akan keberaniannya saat berhadapan dengan tentara Belanda saat ditawan.

Tak banyak prajurit meraih penghargaan tertinggi di militer ini. Hanya mereka yang menunjukkan sikap luar biasa dalam tugas negara yang pantas menyandangnya. Agus satu diantaranya.

Malahan, Presiden Soeharto disebut-sebut selalu mengingat Agus. Setiap mereka bertemu, Soeharto pasti selalu menanyakan kondisi kaki Agus.

Murka Moerdani

Ketika dikeluarkan dari RPKAD, Moerdani pernah berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan pernah lagi mengenakan Baret Merah.

Murka Moerdani ternyata belum hilang ketika ia menghadiri undangan RPKAD pada 1985. Ketika itu, RPKAD sudah berganti nama menjadi Kopassus.

Kemarahan Moerdani itu dituliskan dalam buku Sintong Panjaitan, "Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando" karya Hendro Subroto.

Moerdani yang saat itu menjabat sebagai Panglima TNI diminta untuk memberikan Baret Merah kehormatan Kopassus kepada Raja Malaysia, Yang Dipertuan Agung Sultan Iskandar.

Sebelum acara dimulai, Moerdani beristirahat di ruang Danjen Kopassus, Brigjen Sintong Panjaitan.

Ada kejadian mengejutkan di ruangan yang sedang ditempati para perwira tinggi TNI itu.

Saat Brigjen Sintong memberikan baret merah kehormatan Kopassus, Moerdani membanting baret itu ke meja dan hingga jatuh di lantai.

Sontak orang-orang di ruangan itu terkejut saat melihat Benny begitu emosi dan berwajah seram.

Namun, pada akhirnya Moerdani bersedia mengenakan baret itu dan mengikuti acara. Semua jadi lega dan upacara pun berjalan lancar.

https://nasional.kompas.com/read/2023/08/29/12141431/murka-benny-moerdani-lempar-baret-merah-kopassus

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke