JAKARTA, KOMPAS.com - Upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia usai Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 juga dilakukan di Australia.
Pada saat itu sejumlah aktivis politik yang ditahan pemerintah Hindia-Belanda turut dipindahkan ke Negeri Kanguru setelah Jepang menyerbu pada 1942.
Perjuangan para aktivis politik Indonesia di Australia saat itu ikut memicu aksi mogok besar-besaran buruh pelabuhan.
Dalam buku Spanning a Revolution: the Story of Mohamad Bondan and the nationalist movement disebutkan, pada 21 September 1945 sejumlah kapal dagang dan militer Belanda mencoba bersandar di Pelabuhan Brisbane.
Pada saat itu kelompok aktivis politik seperti Mohamad Bondan dan Djamaluddin Tamin sudah mengetahui dan menyebarkan kabar proklamasi kemerdekaan Indonesia di Australia.
Akan tetapi, pemerintah Hindia-Belanda yang dalam pengasingan mencoba mematahkan perjuangan itu. Mereka juga memerintahkan para pelaut Indonesia buat membantu melakukan bongkar muat kapal Belanda, KM Boenteko, yang membawa logistik buat tentara Belanda ke Indonesia.
Para pelaut Indonesia yang sudah membentuk organisasi Serikat Pelaut Indonesia (Sarpelindo) menolak melakukan bongkar muat dan melakukan aksi mogok di Pelabuhan Brisbane.
Karena aksi itu mereka hendak ditangkap oleh aparat Belanda. Akan tetapi, para anggota serikat buruh pelabuhan dan pelaut Australia kemudian membela para pelaut Indonesia.
Ketika itu kelompok buruh serta Partai Komunis Australia mendukung aksi mogok para pelaut Indonesia.
Para pelaut Indonesia melanjutkan aksinya dengan melakukan pawai dengan mengibarkan bendera Merah Putih di jalan utama Kota Brisbane.
Aksi itu kemudian direkam dalam film dokumenter yang kemudian diberi judul "Indonesia Calling."
Buat mendukung aksi mogok dan unjuk rasa itu, Mohamad Bondan yang saat itu menjadi sekretaris Central Komite Indonesia Merdeka (CENKIM) menerbitkan majalah "Freedom" bagi masyarakat Australia. Isinya adalah paparan tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Mereka juga menyebarkan sejumlah pamflet berisi ajakan buat mendukung kemerdekaan Indonesia.
Para serikat buruh pelabuhan Australia bahkan turut melakukan blokade terhadap kapal-kapal Belanda yang hendak sandar.
Jika kapal-kapal Belanda itu diberi izin sandar, para buruh pelabuhan itu ogah membantu bongkar muat.
Saat itu tercatat terdapat 1.400 anggota serikat buruh pelabuhan di Brisbane yang ikut melakukan aksi mogok.
Mereka juga menyampaikan sikap politik kepada perwakilan Pemerintah Belanda di Australia yakni "hands off Indonesia", supaya tidak mengganggu jalannya pemerintahan yang baru saja dibentuk oleh rakyat Indonesia.
Mogok massal itu juga membuat sekitar 25 organisasi serikat pekerja di Australia melakukan aksi solidaritas. Serikat Pekerja Transportasi, Serikat Pekerja Pelaut, dan Serikat Pekerja Kelistrikan, juga menyatakan dukungan.
Dukungan mengalir dari beberapa serikat pekerja dari latar belakang negara lain, seperti Serikat Pekerja Kelautan Melayu, Serikat Pekerja Pelaut India, dan Serikat Pekerja Pelaut Tionghoa.
Aksi mogok yang dijuluki "Black Armada" itu membuat 400 kapal Belanda tidak bisa berangkat ke Indonesia.
Peristiwa itu pun membuat pemerintah Australia yang dipimpin Perdana Menteri Ben Chifley dari Partai Buruh bersikap mendukung supaya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengakui proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Hal itu juga yang menjadi tonggak hubungan diplomasi antara Australia dan Indonesia yang bertahan sampai saat ini.
https://nasional.kompas.com/read/2023/08/08/14000071/saat-belanda-dibuat-repot-aksi-mogok-pelaut-indonesia-australia