JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo (Jokowi) disarankan tidak melakukan perombakan besar-besaran dalam mengevaluasi penugasan personel TNI di lembaga sipil, berkaca dari polemik kasus dugaan suap eks Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi dan Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas RI Letkol Adm Afri Budi Cahyanto.
Menurut Kepala Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE) Universitas Paramadina Anton Aliabbas, penempatan personel militer aktif di Basarnas adalah sah dan legal.
Sebab dalam Pasal 47 (2) Undang-Undang TNI jelas menyebutkan Basarnas sebagai salah satu pos yang dapat diisi prajurit aktif.
"Justru pembatasan berlebihan terhadap prajurit aktif menduduki pos sipil seperti Basarnas ini dapat berpotensi jadi kontra produktif," kata Anton saat dihubungi pada Selasa (1/8/2023).
Menurut Anton, tujuan penugasan prajurit aktif ke lembaga sipil seperti Basarnas diperlukan untuk memudahkan kendali dan koordinasi ketika menggunakan aset yang dimiliki TNI untuk keperluan pelaksanaan tugas pencarian dan pertolongan.
Dia mengatakan, evaluasi tidak bisa dengan mudah dikaitkan langsung dengan perilaku koruptif yang dilakukan oleh oknum pejabat yang menjalankan tugas.
"Sebab, perubahan kebijakan signifikan tidak semestinya disandarkan pada kesalahan perorangan. Apalagi, UU TNI sendiri mengizinkan prajurit aktif berdinas di sana," ucap Anton.
Penyidik Puspom TNI kemarin, Senin (31/7/2023) menetapkan Henri dan Afri sebagai tersangka dugaan suap sejumlah proyek pengadaan di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas).
Keduanya pun langsung ditahan di instalasi tahanan militer Puspom TNI Angkatan Udara di Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur.
Kasus dugaan suap itu terungkap setelah penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) pada 25 Juli 2023.
Saat itu Afri menjadi salah satu pihak yang ditangkap karena diduga menerima uang suap sebesar lebih dari Rp 900 juta terkait proyek di Basarnas.
Penanganan perkara Henri dan Afri sempat menjadi problem antara KPK dan Puspom TNI. Setelah operasi penangkapan itu, KPK sempat mengundang penyidik Puspom TNI dalam gelar perkara (ekspos).
Dalam ekspos itu disepakati terdapat bukti yang cukup atas dugaan suap dan penanganan terhadap Henri dan Afri diserahkan kepada Puspom TNI.
Akan tetapi, Puspom TNI menyatakan KPK melampaui prosedur karena Henri dan Afri adalah perwira aktif, dan yang bisa menetapkan status hukum keduanya adalah penyidik polisi militer.
KPK lantas meminta maaf dan mengaku khilaf dengan menyatakan Henri dan Afri sebagai tersangka dan menyerahkan penanganan keduanya kepada Puspom TNI.
Henri dan Afri bakal diadili di pengadilan militer karena dugaan suap itu dilakukan ketika mereka aktif dalam dinas TNI.
Saat ini KPK menetapkan 3 pihak swasta sebagai tersangka dalam kasus itu. Mereka adalah Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati Mulsunadi Gunawan, Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati Marilya; dan Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama Roni Aidil.
Persoalan itu pun sampai ke telinga Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurut Jokowi, dalam persoalan itu harus ada koordinasi antarlembaga yang menjalankan tugasnya sesuai wewenang yang dimiliki.
"Menurut saya, masalah koordinasi ya, masalah koordinasi yang harus dilakukan semua instansi sesuai dengan kewenangan masing-masing menurut aturan," kata Jokowi seusai meresmikan sodetan Sungai Ciliwung-Kanal Banjir Timur di Jakarta Timur, Senin (31/7/2023).
Jokowi berpandangan, polemik tidak akan muncul jika ada koordinasi di antara dua lembaga tersebut.
"Sudah, kalau itu dilakukan (koordinasi), rampung," ujar mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut.
Jokowi juga berjanji akan mengevaluasi penempatan perwira tinggi di lembaga sipil buntut kasus di Basarnas tersebut.
Jokowi mengatakan, evalusi secara menyeluruh akan dilakukan agar tidak ada lagi praktik penyelewengan dan korupsi di lembaga-lembaga strategis.
"Semuanya akan dievaluasi, tidak hanya masalah itu (penempatan perwira tinggi TNI di lembaga sipil)," kata mantan Wali Kota Solo tersebut.
Jokowi mengatakan, evalusi secara menyeluruh akan dilakukan agar tidak ada lagi praktik penyelewengan dan korupsi di lembaga-lembaga strategis.
"Semuanya (akan dievaluasi), karena kita tidak mau lagi di tempat-tempat yang sangat penting terjadi penyelewengan, terjadi korupsi," kata mantan Wali Kota Solo itu.
(Penulis : Ardito Ramadhan | Editor : Novianti Setuningsih)
https://nasional.kompas.com/read/2023/08/01/19113281/kasus-eks-kabasarnas-jokowi-diharap-tak-rombak-total-tni-di-instansi-sipil