JAKARTA, KOMPAS.com - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) berharap Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI bisa lebih inovatif menciptakan peraturan terkait kampanye di media sosial (medsos) jelang Pemilu 2024.
Perludem mengungkit tingginya belanja iklan politik di media sosial yang sudah dikucurkan para politisi saat ini.
Berdasarkan laporan Facebook, sejak 2020, sedikitnya sudah Rp 55 miliar belanja iklan terkait sosial politik dikucurkan ke platform media sosial milik Mark Zuckerberg itu.
Dalam 90 hari terakhir tahun 2023, miliaran rupiah juga sudah digelontorkan untuk belanja iklan yang mengatasnamakan sejumlah politikus kondang dan partai politik di Facebook.
Peneliti Perludem, Nurul Amalia Salabi khawatir, KPU tidak menangkap tantangan terkini dunia medsos yang sangat berpengaruh terhadap model kampanye saat ini.
"Inilah yang perlu diatur oleh KPU. Yang pertama adalah standar transparansi dan akuntabilitas iklan politik," ujar Amalia, Rabu (28/6/2023).
"Sudah banyak sekali uang dikeluarkan di luar masa kampanye (untuk iklan politik di medsos). Iklan politik itu berbahaya dan perlu ada standar transparansi," lanjutnya.
Bahaya ini sudah dirasakan publik melalui fenomena "buzzer" yang memanipulasi opini publik.
Amalia menyinggung bahwa para peserta pemilu di dunia sudah melirik iklan politik di medsos karena algoritma setiap platform menawarkan iklan tersebut bisa mencapai sasaran/target khalayak yang dikehendaki.
Ini tentu merupakan pilihan yang lebih menjanjikan ketimbang sekadar memasang banner, baliho, atau spanduk di luar ruang.
Amalia menyinggung kasus propaganda/kampanye yang digunakan eks Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, ketika ia maju kontestasi sebagai calon presiden (capres) Partai Republik melawan capres Partai Demokrat, Hillary Clinton pada 2016 silam.
Kemenangan Trump, sebagaimana banyak dilaporkan media internasional, ditopang oleh strategi kampanye di medsos yang kontroversial melalui Cambridge Analytica.
"Itu lah kenapa pemilu di Amerika Serikat, Trump bisa menang dengan ada strategi khusus dalam memanipulasi konten yang mau dia bawa ke pemilih," kata Amalia.
"Trump itu ada konten-konten ke pemilih Demokrat enggak usah memilih karena suaranya Hillary Clinton sudah tinggi. Itu lah kenapa pemilih Demokrat tidak datang ke TPS dan itu memang (hasil) iklan pemilu yang bertarget," ia menjelaskan.
Amalia menyayangkan bahwa isu strategis dalam rancangan peraturan KPU terkait kampanye di medsos tak menjangkau isu ini.
Dalam Rapat Dengar Pendapat di Komisi II DPR RI bulan lalu, KPU hanya menyampaikan soal rencana menambah jumlah akun yang dapat didaftarkan peserta pemilu untuk kampanye di medsos, dari 10 menjadi 20.
https://nasional.kompas.com/read/2023/06/28/15513101/belajar-dari-kasus-trump-perludem-minta-kpu-atur-transparansi-iklan-politik