Salin Artikel

Pemerintah Mulai Selesaikan Kasus Pelanggaran HAM Berat secara Non-Yudisial Tanpa Lupakan Jalur Yudisial

Kick off penanganan atau pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu itu digelar di Rumoh Geudong, Pidie, Aceh, pada Selasa (27/6/2023).

Ada 12 pelanggaran HAM berat masa lalu yang diakui pemerintah, antara lain Peristiwa 1965-1966; Penembakan Misterius (petrus) 1982-1985; Talangsari Lampung 1989; Rumoh Geudong dan Pos Sattis 1989; Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998; dan Kerusuhan Mei 1998.

Kemudian, peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II 1998-1999; Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999; Simpang KKA 1999; Wasior Papua 2001-2002; Wamena 2003; dan Jambo Keupok 2003.

Para korban dari 12 peristiwa tersebut mendapatkan pemulihan dari negara atau kompensasi seperti pengobatan gratis, pemberian Kartu Indonesia Sehat (KIS), beasiswa, dukungan dana wirausaha hingga Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) bagi eksil.

Data sementara terdapat 99 korban yang mendapat kompensasi dari tiga peristiwa pelanggaran HAM berat di Aceh. Jumlah itu akan terus bertambah dan digabung dengan jumlah korban dari peristiwa pelanggan HAM berat lain.

Lantas, mengapa hanya 12 kasus pelanggaran HAM berat yang diakui?

Sementara empat kasus lain, yakni kasus Tanjung Priok 1984; Timor Timur 1999; Abepura 2000; dan Paniai 2014, tidak masuk.

Deputi Hukum dan Hak Asasi Manusia Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) Sugeng Purnomo mengatakan, empat kasus pelanggaran HAM berat itu tidak termasuk karena sudah diputuskan di pengadilan.

"Kalau mengacu pada putusan pengadilan tidak bisa dilakukan pemulihan. Maka pemerintah melakukan terobosan yaitu dengan non-yudisial," ujar Sugeng saat konferensi pers di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta pada 23 Juni 2023.

Sementara itu, Aceh sengaja dipilih sebagai tempat kick off karena kontribusi penting dan bersejarah rakyat dari provinsi tersebut untuk kemerdekaan Republik Indonesia, penghormatan terhadap peristiwa Tsunami 2004, dan perdamaian yang berlangsung di Aceh.

Yanto dan Jaroni merupakan eksil yang tak bisa kembali menetap di Tanah Air. Paspor mereka dicabut. Kini, Yanto merupakan warga negara Rusia. Sedangkan Jaroni warga negara Ceko.

Keduanya pun turut diundang Presiden Joko Widodo (Jokowi) naik ke atas panggung saat Jokowi memberikan sambutan.

"Pak Daryanto (Yanto), sama Pak Soejo (Jaroni) ingin jadi WNI lagi enggak?" tanya Jokowi.

Yanto kemudian menjawab bahwa keinginan menjadi WNI kembali itu telah direncanakan. Sebab, dia sudah memiliki keluarga di Rusia dan sudah punya tiga cucu.

"Sudah direncanakan, Pak. Soalnya saya bukan sendirian. Jadi sudah punya tiga cucu. Ada tiga cucu," jawab Yanto.

"Oh punya keluarga. Istri dari Rusia? Wah bawa ke Indonesia kan belum tentu mau kan ya?" tanya Jokowi lagi.

"Belum tentu tapi kalau diyakinkan, saya kira bisa," ucap Yanto.

Presiden Jokowi kemudian berganti bertanya kepada Jaroni.

"Kalau Pak Soejo (Jaroni) ingin kembali?" tanya Jokowi.

Jaroni menyatakan bahwa ia belum memiliki rencana menjadi WNI lagi. Sebab, menurutnya, pengakuan Indonesia terhadap peristiwa 1965-1966 sebagai pelanggaran HAM berat masa lalu tidak pernah disangkanya.

"Saya belum punya rencana karena situasi yang semacam ini. Ini buat saya kejutan. Saya tidak mengira bahwa bisa terjadi langkah-langkah di dalam saya masih hidup," kata Jaroni.

"Terus terang saja ini adalah suatu saat yang bersejarah bukan saja buat saya. Saya sih sudah tidak, bukan apa lagi-lagi, yang terutama yang buat generasi muda maju ke depan," ujarnya lagi.

Mendengar penjelasan kedua eksil itu, Jokowi pun menegaskan apabila keduanya ingin menjadi WNI kembali akan diterima dengan gembira.

Sebab, hal itu sebagai penegasan bahwa Indonesia melindungi warganya.

"Jika ingin kembali jadi WNI, saya gembira dan kita semua, saya kira gembira. Untuk menunjukkan bahwa memang negara ini melindungi warganya. Bapak terima kasih, silakan kembali," ujar Jokowi sambil mempersilakan keduanya duduk kembali.

Sebelumnya, Yanto mengungkapkan bahwa ia rela datang dari Moskwa, Rusia, menuju Aceh karena program penyelesaian non-yudisial ini merupakan kejadian yang luar biasa.

“Ini adalah sesuatu kejadian yang luar biasa dalam konstelasi politik maupun kemanusiaan. Jadi di sini saya kira lebih mendorong kepada kemanusiaan,” ujar Yanto saat diwawancarai di Banda Aceh, Senin (26/6/2023).

Yanto berharap, rekan-rekannya lain yang juga sebagai eksil bisa melihat bahwa Pemerintah Indonesia tidak mengabaikan kasus pelanggaran HAM berat.

Diketahui, berdasarkan data terbaru dari pemerintah, saat ini terdapat 136 eksil yang masih menetap di luar negeri.

“Ini adalah suatu sinar yang baik. Ini adalah salah satu kesempatan membuka pintu yang lebih luas untuk benar-benar membangun Bhinneka Tunggal Ika,” kata Yanto.

Yanto meyakini bahwa Presiden Jokowi telah memutuskan dengan matang memilih program pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non-yudisial untuk 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

“Upaya membawa pelanggaran HAM berat masa lalu itu selalu gagal dibuktikan di pengadilan, sehingga dari empat peristiwa dengan 35 terdakwa yang diajukan ke pengadilan, semuanya pada akhirnya dibebaskan oleh pengadilan,” kata Mahfud dalam sambutannya, Selasa.

Empat kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang telah dibawa ke pengadilan, antara lain kasus Tanjung Priok 1984, Timor Timur 1999, Abepura 2000, dan Paniai 2014.

Mahfud mengungkapkan, masalah pembuktian berdasarkan hukum acara pidana sangat sulit dipenuhi.

Sementara itu, upaya membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) juga kandas.

“Karena Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 yang dibuat oleh pemerintah bersama DPR dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dan menghadapi banyak hambatan yang rumit untuk membuat UU KKR yang baru,” ujar Mahfud.

Oleh karena itu, Presiden Jokowi mengambil kebijakan dan langkah-langkah pemenuhan hak korban pelanggaran HAM berat masa lalu melalui Keppres Nomor 17 Tahun 2022 tentang pembentukan tim penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu atau biasa disebut tim PPHAM.

“Itu lah sebabnya daripada berdiam diri dan menunggu selesainya kerumitan-kerumitan,” kata Mahfud.

Melalui jalur non-yudisial itu, pemerintah juga akan membangun "living park" di Rumoh Geudong.

“Nanti ini kan dibuat living park. Itu kan memang kita tetap mengingat, karena ada benda-benda yang ditaruh di situ,” kata Jokowi.

Presiden mengatakan, living park dibangun agar masyarakat memiliki sebuah perspektif yang positif.

“Bukan negatif ketika dibangun living park itu,” ujar Jokowi.

Rencananya, living park atau taman hidup itu akan mulai dibangun pada September 2023. Masyarakat juga meminta masjid dibangun dalam taman tersebut.

“Didesain pun kan juga bertanya ke masyarakat keinginannya seperti apa, ‘Pak kami pengin dibangunkan masjid’, Oke,” kata Jokowi.

“Ada masjid di taman itu, jadi ini tidak langsung bangun apa, bangun apa, sesuai dengan kehendak masyarakat nanti bisa,” ujarnya melanjutkan.

Setelah itu, pemerintah berencana membangun memorial di tempat lain, seperti lokasi Simpang KKA dan Jambu Keupok.

“Nanti satu-satu dulu,” kata Jokowi.

Ia mengatakan, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat jalur yudisial terus diusahakan dan bisa diselesaikan sesuai dengan UU Nomor 26 Tahun 2000.

“Yaitu dibahas oleh Komnas HAM dan Kejagung, serta sesuai dengan ketentuan Pasal 43, dimintakan nanti keputusannya kepada DPR sehingga nanti bisa diperdebatkan di DPR tentang kelayakannya,” kata Mahfud.

Mahfud mengatakan, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat jalur non-yudisial merupakan penyelesaian dari sisi korban.

“Kami tidak bicara pelaku, karena pelaku itu adalah urusan yudisial,” kata Mahfud.

“Sekali lagi saya tegaskan tidak meniadakan penyelesaian lewat yudisal, semua pelanggaran HAM berat tetap bisa diproses lewat jalur hukum atau Pengadilan HAM ad hoc,” ujar Mahfud lagi.

Presiden Jokowi juga mengatakan, penyelesaian pelanggaran HAM berat lewat jalur yudisial dan non-yudisial bisa berjalan bersamaan.

“Saya kira dua-duanya bisa berjalan, tetapi kita ingin yang non-yudisial, yang bisa kira-kira langsung kita selesaikan,” kata Jokowi.

Jokowi mengatakan, penyelesaian pelanggaran HAM berat lewat jalur yudisial bisa dilakukan apabila bukti-buktinya kuat.

“Komnas HAM menyampaikan ke Kejaksaan Agung, kemudian juga ada persetujuan dari DPR, nanti bisa berjalan,” ujar Jokowi.

Sementara itu, Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid mengingatkan agar pemerintah tidak melupakan komitmen penyelesaian secara yudisial untuk kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia.

Usman menegaskan bahwa penyelesaian jalur non-yudisial tersebut bukan menghilangkan kewajiban negara untuk memenuhi hak korban atas kebenaran kasus yang mereka alami.

"Jangan sampai negara hanya mengedepankan penyelesaian non-yudisial, namun melalaikan komitmen untuk mengungkap kebenaran dan menghukum pelaku. Akuntabiltas para pelaku merupakan bagian penting dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat," ujar Usman Hamid.

https://nasional.kompas.com/read/2023/06/28/13022991/pemerintah-mulai-selesaikan-kasus-pelanggaran-ham-berat-secara-non-yudisial

Terkini Lainnya

PDI-P Bakal Jemput Bola Kader untuk Maju di Pilkada Sumut

PDI-P Bakal Jemput Bola Kader untuk Maju di Pilkada Sumut

Nasional
Jadi Perempuan Pertama Berpangkat Mayjen TNI AD, Dian Andriani Harap Kowad Lain Menyusul

Jadi Perempuan Pertama Berpangkat Mayjen TNI AD, Dian Andriani Harap Kowad Lain Menyusul

Nasional
Jokowi Bakal Tinjau Lokasi Banjir Lahar di Sumbar Pekan Depan

Jokowi Bakal Tinjau Lokasi Banjir Lahar di Sumbar Pekan Depan

Nasional
Nurul Ghufron Tak Hadir karena Belum Tuntas Siapkan Pembelaan, Dewas KPK Tunda Sidang Etik

Nurul Ghufron Tak Hadir karena Belum Tuntas Siapkan Pembelaan, Dewas KPK Tunda Sidang Etik

Nasional
PDI-P Tuding Jokowi Cawe-cawe Pilkada dengan Bansos Beras, Ngabalin: Segera Lah Move on

PDI-P Tuding Jokowi Cawe-cawe Pilkada dengan Bansos Beras, Ngabalin: Segera Lah Move on

Nasional
Soal Revisi UU Kementerian Negara, Ngabalin: Mudah-mudahan Cepat, Itu Arah Haluan Prabowo-Gibran

Soal Revisi UU Kementerian Negara, Ngabalin: Mudah-mudahan Cepat, Itu Arah Haluan Prabowo-Gibran

Nasional
Risma Relokasi 2 Posko Pengungsian Banjir Lahar Dingin di Sumbar yang Berada di Zona Merah

Risma Relokasi 2 Posko Pengungsian Banjir Lahar Dingin di Sumbar yang Berada di Zona Merah

Nasional
Ahok Masuk Bursa Bacagub Sumut, PDI-P: Prosesnya Masih Panjang

Ahok Masuk Bursa Bacagub Sumut, PDI-P: Prosesnya Masih Panjang

Nasional
Bantah PDI-P soal Jokowi Menyibukkan Diri, Ali Ngabalin: Jadwal Padat, Jangan Gitu Cara Ngomongnya...

Bantah PDI-P soal Jokowi Menyibukkan Diri, Ali Ngabalin: Jadwal Padat, Jangan Gitu Cara Ngomongnya...

Nasional
Pimpin Langsung ‘Tactical Floor Game’ WWF di Bali, Luhut: Pastikan Prajurit dan Komandan Lapangan Paham yang Dilakukan

Pimpin Langsung ‘Tactical Floor Game’ WWF di Bali, Luhut: Pastikan Prajurit dan Komandan Lapangan Paham yang Dilakukan

Nasional
Setara Institute: RUU Penyiaran Berpotensi Perburuk Kebebasan Berekspresi melalui Pemasungan Pers

Setara Institute: RUU Penyiaran Berpotensi Perburuk Kebebasan Berekspresi melalui Pemasungan Pers

Nasional
Masuk Daftar Cagub DKI dari PDI-P, Risma: Belum Tahu, Wong Masih di Kantong...

Masuk Daftar Cagub DKI dari PDI-P, Risma: Belum Tahu, Wong Masih di Kantong...

Nasional
KPK Geledah Lagi Rumah di Makassar Terkait TPPU SYL

KPK Geledah Lagi Rumah di Makassar Terkait TPPU SYL

Nasional
Puan Minta DPR dan IPU Fokus Sukseskan Pertemuan Parlemen pada Forum Air Dunia Ke-10

Puan Minta DPR dan IPU Fokus Sukseskan Pertemuan Parlemen pada Forum Air Dunia Ke-10

Nasional
Yusril: Serahkan kepada Presiden untuk Bentuk Kabinet Tanpa Dibatasi Jumlah Kementeriannya

Yusril: Serahkan kepada Presiden untuk Bentuk Kabinet Tanpa Dibatasi Jumlah Kementeriannya

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke