Menurut Jokowi, cawe-cawe perlu dilakukan untuk mengantisipasi adanya riak-riak membahayakan negara dan bangsa terkait Pemilu 2024.
"Masa riak-riak yang membahayakan, saya disuruh diam, enggak lah," kata Jokowi menjawab pertanyaan awak media dalam konferensi pers usai pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) ketiga PDI-P, di Sekolah Partai, Lenteng Agung, Jakarta, Selasa (6/6/2023).
Kepala Negara ini menilai sikap cawe-cawe perlu dilakukan.
Bahkan, menurut dia, hal ini menjadi kewajiban moral dan tanggung jawabnya sebagai presiden.
"Cawe-cawe saya sudah sampaikan, bahwa saya menjadi kewajiban moral, menjadi tanggung jawab moral saya sebagai presiden dalam masa transisi kepemimpinan nasional di 2024," tutur Kepala Negara.
Terakhir, Jokowi pun berharap apa yang dilakukannya ini dapat menjaga kepemimpinan nasional berjalan baik, tanpa ada riak-riak berbahaya.
Namun, hingga selesai konferensi pers, Jokowi tak menjelaskan maksud dari pernyataannya yang menyebut 'riak-riak berbahaya' itu.
Diberitakan sebelumnya, Presiden Jokowi mengambil sikap cawe-cawe dalam urusan politik.
Hal ini disampaikan oleh sejumlah pimpinan media nasional yang hadir dalam pertemuan di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (29/5/2023).
Pemimpin Redaksi TV One Karni Ilyas usai pertemuan mengatakan, Presiden Jokowi bersikap cawe-cawe bukan untuk kepentingan pribadi.
"Ya dia (Jokowi) bilang cawe-cawe enggak melanggar undang-undang. Enggak melanggar undang-undang dia bilang. Jadi cawe-cawe itu demi negara, bukan demi pribadi," ujarnya.
Dikritik
Sebelumnya diberitakan, ucapan Jokowi yang mengaku bakal "cawe-cawe" dalam Pemilu 2024 demi bangsa menimbulkan kritik berbagai pihak.
Salah satunya, Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) menyinggung adanya masalah serius dari kualitas politikus dalam negeri.
Sikap campur tangan kepala negara dalam urusan elektoral, di mana tak menjadi salah satu kandidatnya, dinilai menunjukkan rendahnya etika dan sikap kenegarawanan.
Dalih Jokowi bahwa campur tangannya ini untuk kepentingan "bangsa dan negara" juga dianggap tak memadai untuk membenarkan tindakannya.
"Itu sebuah alasan klise yang sering digunakan politisi," kata Direktur Puskapol UI, Hurriyah, kepada Kompas.com pada 1 Juni 2023.
Sementara itu, mnurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddique, sikap Presiden Jokowi yang menyatakan tidak akan netral dan ikut cawe-cawe menjelang Pilpres 2024 dikhawatirkan mengganggu proses demokrasi Indonesia yang dianggap masih jauh dari standar dunia.
Jimly juga menyampaikan, apa yang dilakukan Presiden Jokowi memang tidak melanggar undang-undang. Namun, kata dia, jika dilihat dari sisi etika bernegara maka hal itu dianggap bisa memicu permasalahan.
"Jadi bisa secara hukum tidak bermasalah, tapi dari segi kepantasan, etika ada problem serius," ucap Jimly dalam Program Rosi di Kompas TV, seperti dikutip pada Minggu (4/6/2023).
Pakar hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari menegaskan bahwa Presiden tidak seharusnya ikut campur atau membantu calon pilihannya dalam pemilu berikutnya, di mana sudah tak ambil bagian sebagai kandidat.
"Mantan presiden mestinya sudah berpikir menjadi negarawan yang merangkul semua kalangan. Bukan membangun keterbelahan yang lebih serius dibandingkan pemilu sebelumnya," kata Feri kepada Kompas.com, Kamis (1/6/2023).
"Bagi saya, Presiden Joko Widodo terlihat belum dewasa selama dua periode kepemimpinannya, dan malah meruntuhkan dia sebagai kandidat negarawan ke depannya sebagai seorang mantan presiden," ujarnya lagi.
https://nasional.kompas.com/read/2023/06/06/13254521/tetap-bakal-cawe-cawe-meski-dikritik-jokowi-masak-ada-riak-riak-membahayakan