Salin Artikel

Usai Johny G Plate "Diborgol", Saatnya Bongkar Pasang Kabinet

Empat menteri era Jokowi yang dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK, dua di antaranya berasal dari Kabinet Kerja periode 2014 - 2019 dan dua menteri lagi dari Kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024.

Sementara menteri ke lima, Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G. Plate ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi oleh Kejaksaan Agung di penghujung pemerintahan Jokowi.

Periode pertama Jokowi, politisi PKB Imam Nahrawi yang menjabat Menteri Pemuda dan Olahraga divonis tujuh tahun penjara dan denda Rp 400 juta subsider tiga bulan kurungan.

Ia bersama asisten pribadinya, Miftahul Ulum, terbukti menerima suap sebesar Rp 11,5 miliar dari mantan Sekretaris Jenderal KONI Ending Fuad Hamidy dan mantan Bendahara KONI Johnny E Awuy.

Suap tersebut dimaksudkan agar Imam dan Ulum mempercepat proses persetujuan dan pencairan bantuan dana hibah yang diajukan KONI kepada Kemenpora RI untuk tahun kegiatan 2018.

Imam juga terbukti menerima gratifikasi senilai total Rp 8.348.435.682 dari sejumlah pihak. Majelis Hakim pun menjatuhi hukuman tambahan berupa kewajiban membayar uang pengganti senilai Rp 18.154.230.882.

Vonis tersebut diperkuat hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung.

Politisi Golkar Idrus Marham yang menjadi Menteri Sosial juga “11-12” kelakuannya dengan Imam Nahrowi.

Idrus  menerima suap Rp 2,25 miliar atas kasus proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau 1.

Suap tersebut diberikan oleh pengusaha yang juga salah satu pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited, Johannes Budisutrisno Kotjo.

Idrus ketahuan “bahu-membahu” dengan politisi Golkar yang juga Wakil Ketua Komisi Energi DPR kala itu, Eni Saragih menerima suap untuk memuluskan proyek PLTU Riau-1.

Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan hukuman 3 tahun penjara, lalu diperberat menjadi 5 tahun penjara di tingkat banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

Namun, vonis Idrus disunat pada tingkat kasasi di MA menjadi 2 tahun penjara.

Dua menteri yang dibekuk KPK di periode ke dua pemerintahan Jokowi ternyata lebih meningkatkan “jarahannya” dan semakin “kalap” dibandingkan Imam dan Idrus.

Menteri Kelautan dan Perikanan dari Gerindra, Edhy Prabowo memainkan perizinan tambak atau komoditas perairan sejenis lainnya.

Dari permainan “pat-gulipat” perizinan, Edhy lewat orang-orang kepercayaannya mendapat setoran dari perusahaan swasta yang diuntungkan lewat kebijakannya.

Uang haram sebanyak Rp 19,6 miliar mengalir ke Edhy dan digunakan untuk kepentingan pribadi dan orang-orang terdekatnya.

KPK menyebut tanggal 5 November 2020 terjadi transfer dari rekening pihak yang terkait perizinan ke rekening Ainul Faqih, staf Iis Rosita Dewi istri Menteri Edhy Prabowo. Jumlahnya mencapai Rp 3,4 miliar yang diperuntukkan untuk keperluan Edhy, istrinya dan Staf Khusus Menteri Edy yang bernama Andreau Pribadi Misanta.

Sebagian dana tersebut oleh Edhy dan istri dipakai untuk belanja barang mewah seperti jam tangan merek Rolex, tas merek Tumi dan LV serta baju Old Navy di Honolulu AS pada tanggal 21 sampai dengan 23 November 2020 sekitar Rp750 juta.

Sekitar Mei 2020, KPK masih menemukan aliran uang ke Menteri Edhy sejumlah 100.000 dolar AS dari pihak-pihak yang terkait kasus perizinan dan orang-orang dekat Edhy masih menerima “saweran” sebesar Rp 436 juta di Agustus 2020.

Di Pengadilan Tipikor Jakarta, Edhy divonis 5 tahun penjara, lalu diperberat menjadi 9 tahun penjara pada tingkat banding di PT DKI Jakarta.

Namun, vonis tersebut disunat menjadi 5 tahun penjara pada tingkat kasasi di MA.

Yang lebih “edan” lagi Menteri Sosial dari PDI Perjuangan Juliari Peter Batubara. Bersama dua pejabat pembuat komitmen di Kementerian Sosial, yakni Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono serta pihak swasta, Ardian IM dan Harry Sidabuke, Juliari begitu “tega” memainkan bantuan sosial Covid-19.

Menteri Juliari bersama komplotannya mengutip fee Rp 10.000 dari alokasi senilai Rp 300.000 per paket sembako bantuan sosial.

Dari pengumpulan jumlah kutipan mencapai Rp 12 miliar di tahap pertama, Menteri Juliari mendapat setoran Rp 8,2 miliar.

Di tahap kedua, diduga Juliari juga akan mendapat upeti dari bagian fee yang telah terkumpul sebanyak Rp 8,8 miliar (Cnbcindonesia.com, 07 Desember 2020).

Ia divonis 12 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta. Putusan tersebut berkekuatan hukum tetap.

Akhirnya Permainan Plate Terkuak

Jauh sebelum status Menkominfo Johny G Plate ditingkatkan Kejaksaan Agung dari saksi menjadi tersangka serta dilakukan penahanan per Rabu (17 Mei 2023), aroma “busuk” memang tercium dari kantor Kemenkominfo.

Sahabat-sahabat saya yang mempunyai kualifikasi akademik dan pengalaman mumpuni yang mendaftar posisi Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik “terlempar” semua dari proses penjaringan tahap awal.

Jatah jabatan Dirjen ternyata sudah bisa ditebak diberikan kepada sesama kader Nasdem, partai yang menaungi Johny G. Plate. Di Nasdem, Plate menduduki jabatan Sekretaris Jenderal.

Ikut “cawe-cawe-nya” adik Menteri Johnny G. Plate di Kemenkominfo bukan cerita baru. Sepak terjang Gregorius Alex Plate ikut mengawal dan mengurus proyek-proyek di lingkungan Kemenkominfo.

Dalam kasus dugaan korupsi penyediaan menara base transceiver station (BTS) 4G dan infrastruktur pendukung paket 1,2,3,4, dan 5 Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Kemenkominfo, kiprah rasua duo Plate bersaudara itu dengan “cetoh weleh-weleh” dikuliti Kejaksaan Agung.

Tujuan mulia pendirian menara BTS untuk memberikan pelayanan digital di daerah terdepan, terluar dan tertinggal begitu tega disalahgunakan oleh Menteri Plate.

Berdasarkan penyidikan Kejaksaan Agung dan perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terdapat kerugian negara sebesar Rp 8 triliun.

Bahkan jumlahnya bertambah lagi dengan Rp 32 milar lebih mengingat pembulatan jarahan jika ditarik ke atas “hanya” Rp 8 triliun saja. Edaaan! (Kompas.com, 16/05/2023).

Walau tuduhan tersebut masih harus dibuktikan lagi melalui proses persidangan nantinya, Kejaksaan Agung dengan melibatkan Pusat Penelusuran dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) harus terus mengulik kemana saja aliran rasuah Plate mengalir.

Apakah hanya sebatas untuk kepentingan memperkaya pribadi atau rasuah tersebut mengalir ke kas partai, seperti sinyalemen sebagian orang.

Keputusan Ketua Umum Nasdem Surya Paloh yang langsung mencopot jabatan Plate sebagai Sekjen Nasdem serta akan memberikan bantuan hukum untuk Plate, sudah tepat dilakukan mengingat Plate sebagai kader tidak dilupakan partainya walaupun dalam kondisi sulit dan susah sekalipun.

Nasdem pun tidak akan menyerahkan nama pengganti dari internal Nasdem sebagai kandidat pengganti Plate sebagai Menkominfo mengingat pengangkatan dan pemberhentian adalah hak preogratif Presiden Jokowi.

Bongkar pasang Kabinet

Penahanan Menteri Plate tentu saja dari kacamata hukum memang tidak terbantahkan. Keberanian Kejaksaan Agung menaikkan status Plate dari saksi menjadi tersangka tentu saja telah dilakukan dengan cermat.

Bahkan sebagian kalangan yang mengenal “kebusukan” di Kemenkominfo, mengaku heran dengan langkah lambat penyematan status tersangka oleh Kejaksaan Agung.

Sebaliknya dari kacamata politik seiring dengan relasi Jokowi dengan Surya Paloh yang tengah berada di titik nadir - di antaranya diindikasikan tidak diundangnya Surya Paloh pada pertemuan para ketua umum partai-partai koalisi pendukung Jokowi ke Istana Negara saat Lebaran kemarin – penahanan Plate tentu saja mudah dikaitkan dengan imbas ketidakmesraan itu.

Kegigihan Nasdem yang menempuh “jalan berbeda” dengan teman seiring seperjuangan di koalisi pro pemerintahan Jokowi, yakni dengan mencalonkan Anies Baswedan sebagai Capres di Pilpres 2024, sebaiknya penetapan status tersangka terhadap Plate harus disikapi lagi dengan “penarikan” total kader-kader Nasdem dari Kabinet Indonesia Maju.

Momentum penahanan Johnny G. Plate harus dijadikan keberanian Nasdem bersikap tegas dan tidak lagi “plin-plan”.

Nasdem sering mengkritik pedas langkah-langkah politik Presiden Jokowi, tetapi tetap tidak berani menarik kader-kadernya dari kabinet. Nasdem tidak boleh lagi bermain dua kaki dan mencari aman di pemerintahan Jokowi.

Usai Plate ditahan dan dicopot jabatannya dari Menkominfo, Nasdem masih menyisahkan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya.

Usai penahanan Plate dan menyisahkan posisi menteri yang kosong, Jokowi harusnya melakukan konsolidasi politik untuk memperkuat pijakannya di Pemilu 2024 selain untuk memastikan jalannya pemerintahan tidak pincang.

Jika ada partai anggota koalisinya memang sudah jelas-jelas tidak seiring sejalan, Jokowi harus berani merombak kabinetnya dengan menggantinya dari kader partai yang masih setia atau kalangan profesional.

Kemenkominfo yang selalu “ketiban” apes di setiap rezim karena menjadi sapi perahan rasuah dari para menterinya, harus diisi oleh figur yang mengerti digitalisasi penyiaran, paham dengan kompleksitas persoalan layanan internet di tanah air yang masih “amburadul” serta manajemen penataan informasi di semua lini.

Tidak itu saja, pengganti Plate hendaknya bisa mengedepankan urusan kerakyatan dibandingkan urusan kepartaian.

Sisa pemerintahan Jokowi memang akan berakhir pada Oktober 2024, dan bisa dibilang tidak lama lagi. Akan tetapi, proses reshuffle tidak boleh dikaitkan lagi dengan kekhawatiran terjadinya ketidakefektifan jalannya pemerintahan.

Sekali lagi, Jokowi sebagai Presiden harus bisa memastikan jalannya pemerintahan tetap di bawah kendalinya. Mengganti tiga menteri dari Nasdem bukan perkara susah.

https://nasional.kompas.com/read/2023/05/18/07201871/usai-johny-g-plate-diborgol-saatnya-bongkar-pasang-kabinet

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke