Presidium PENA 98 Fendy Mugni mengatakan, masih lekat dalam ingatan saat-saat pemimpin tertinggi saat itu, Presiden Soeharto mengaku tunduk oleh kekuatan rakyat.
"Pasca-kejatuhan Soeharto kemudian harapan terhadap yang diperjuangkan gerakan reformasi mulai kelihatan," ujar Fendy dalam acara yang dihadiri ratusan mahasiswa UKI itu.
Salah satu tandanya adalah gerakan untuk mendirikan partai yang mulai dibuka. Padahal, di zaman orde baru, partai dilebur hanya menjadi tiga, yaitu PDI, PPP, dan Golkar.
"Kita lihat juga ada sekian banyak juga media yang tumbuh tanpa takut diberedel ketika mengkritisi pemerintah," kata dia.
Bukti lainnya adalah setiap orang memiliki kesempatan yang sama. Tak ada lagi istilah darah biru dalam pemerintahan, baik jajaran pemerintah pusat maupun daerah.
Contoh paling lekat adalah Presiden Joko Widodo yang dinilai sebagai representasi orang biasa yang bisa jadi pemimpin negara.
"Mau contoh? Jokowi salah satu contoh, bukan siapa2 bukan darah biru tapi bisa jadi presiden. Jadi ini adalah buah dari reformasi, suka enggak suka ini realitanya," kata dia.
Namun, Fendy kembali mengingatkan bahwa apa yang diraih oleh masyarakat hari ini tentang kebebasan dan demokrasi tak datang begitu saja.
Ada nyawa, darah, keringat, dan air mata yang jatuh ke bumi pertiwi untuk mewujudkan itu semua.
"Kemudahan-kemudahan yang kita rasakan sekarang tidak dengan serta-merta kita dapatkan, hanya sekian banyak darah keringat, air mata yang tertumpahkan untuk sebuah cita-cita dan harapan serta fasilitas yang kita nikmati sekarang," kata dia.
Pada tanggal 13 Mei hingga 15 Mei 1998, terjadi kerusuhan di Jakarta yang dikenal dengan Kerusuhan Mei 1998.
Penyebab pertama yang memicu terjadinya Kerusuhan Mei 1998 adalah krisis finansial Asia yang terjadi sejak tahun 1997.
Saat itu, banyak perusahaan yang bangkrut, jutaan orang dipecat, 16 bank dilikuidasi, dan berbagai proyek besar juga dihentikan.
Krisis ekonomi yang tengah terjadi kemudian memicu rangkaian aksi unjuk rasa di sejumlah wilayah di Indonesia. Dalam unjuk rasa tersebut, ada empat korban jiwa yang tewas tertembak.
Mereka adalah mahasiswa Universitas Trisakti. Tewasnya keempat mahasiswa tersebut pun menambah kemarahan masyarakat yang saat itu sudah terbebani dengan krisis ekonomi.
Pada 12 Mei 1998 ribuan mahasiswa Universitas Trisakti kemudian menggelar aksi yang berujung pada tewasnya empat mahasiswa akibat tembakan senjata aparat.
Tewasnya 4 mahasiswa Trisakti tersebut kemudian memicu gelombang aksi lainnya pada 13 Mei 1998 yang berlangsung secara terus menerus.
Aksi tersebut menyebar dengan kerusuhan yang terjadi di kota-kota lainnya dan menyebabkan penjarahan dan pembakaran.
Seminggu setelah aksi itu tak kunjung berhenti, tepatnya 21 Mei 1998, Presiden Soeharto memutuskan untuk mengundurkan diri dan mengalihkan kekuasaan kepada Wakil Presiden saat itu BJ Habibie.
https://nasional.kompas.com/read/2023/05/13/10493541/ada-darah-keringat-dan-air-mata-yang-tumpah-untuk-cita-cita-yang-kini-kita