Salin Artikel

Grasi Merri Utami Dikabulkan Jokowi, Momentum Tinjau Ulang Hukuman Mati

JAKARTA, KOMPAS.com - 27 Februari 2023 presiden Joko Widodo resmi menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) yang mengabulkan permintaan grasi dari terpidana mati kasus narkoba Merri Utami.

Keppres Nomor 1/G/2023 itu menyebutkan Merri yang dijatuhi hukuman mati sejak 2001 mendapat keringanan hukuman lolos dari eksekusi.

Merri Utami kini tak lagi berstatus terpidana mati, berubah menjadi terpidana seumur hidup.

Kabar itu disampaikan kuasa hukum Merri Utami dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Aisyah Humaida dalam konferensi pers yang digelar Kamis (13/4/2023).

Awalnya, kabar grasi tersebut disampaikan Merri kepada melalui sambungan telepon pada 24 Maret 2023.

Mendengar kabar tersebut, Aisyah tak langsung percaya, karena grasi yang diajukan Merri sudah cukup lama, yaitu 2016 saat ia nyaris dieksekusi mati dengan surat grasi 02/PID.2016/PN.TNG.

Tim LBH Masyarakat kemudian mengirimkan surat ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) untuk melakukan konfirmasi kabar itu.

Pada Kamis (6/4/2023), Tim LBH Masyarakat akhirnya mendatangi Lapas Semarang tempat Merri ditahan untuk mengecek langsung pengabulan grasi yang dikabarkan Merri.

"Dan ternyata hukumannya sudah diubah (dari mati menjadi seumur hidup)," ujar Aisyah.

Apresiasi untuk Jokowi

Langkah Jokowi memberikan grasi kepada Merri Utami mendapat apresiasi banyak pihak. Pihak pertama yang memberikan apresiasi adalah LBH Masyarakat.

Menurut Koordinator LBH Masyarakt Afif Abdul Qoyim, grasi yang diberikan Jokowi telah sesuai dengan implementasi hak asasi manusia.

"Kami berpandangan Keppres tersebut harus diapresiasi oleh karena pidana mati tidak sejalan dengan implementasi HAM secara nasional dan internasional," tutur Afif.

Apresiasi juga datang dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).

Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengatakan, keputusan Jokowi memiliki arti penting dalam pemenuhan hak konstitusional Merri Utami.

Selain menjadi terpidana, Merri juga disebut sebagai korban perdagangan orang karena dijebak atas kejahatan narkotikanya.

"Komnas Perempuan menyambut baik dan mengapresiasi langkah grasi presiden bagi Merri Utami, terpidana hukuman mati yang juga korban perdagangan," ujar Andy, Jumat (14/4/2023).

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga memuji keputusan Jokowi memberikan grasi.

Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro mengatakan, grasi yang diberikan Jokowi sebagai langkah positif hukuman mati di Indonesia.

"Grasi yang diberikan kepada Merri Utami merupakan perkembangan positif terhadap upaya pencegahan penerapan hukuman mati di Indonesia," tutur Atnike.

Momentum tinjau ulang hukuman mati

Langkah Jokowi tersebut juga dinilai sebagai momentum untuk mengevaluasi kembali hukuman mati di Indonesia.

Khususnya kepada narapidana seperti Merri Utami yang menunggu eksekusi hingga 22 tahun lamanya.

Atnike berharap Jokowi memberikan grasi atau komutasi hukuman mati kepada terpidana mati lainnya di masa depan.

Hal senada dikatakan Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani. Ia berharap grasi yang diterima Merri bisa memberikan kesempatan untuk meninjau kembali terpidana mati lainnya, khususnya terpidana mati perempuan.

"Komnas Perempuan mendorong agar langkah grasi bagi Merri Utami ini menjadi rujukan untuk memeriksa ulang kerentanan dan kondisi perempuan terpidana mati lainnya," ucap Andy.

Data Komnas Perempuan pada 2022 lalu, terdapat 13 perempuan terpidana mati. Dengan dikabulkannya grasi Merri, sisa perempuan terpidana mati menjadi 12 orang.

Menurut Andy, grasi penting dipertimbangkan karena banyak perempuan terpidana mati adalah korban perdagangan orang.

"Merri Utami dan Merry Jane warga Filipina yang juga menjadi korban perdagangan orang yang dijebak menjadi kurir narkoba tanpa sepengetahuannya," tutur Andy.

Diduga korban perdagangan orang

Sebagai informasi, Merri Utami merupakan terpidana mati dalam kasus 1,1 kilogram heroin yang diungkap di Bandara Soekarno Hatta 2001.

Ia dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Tangerang karena kedapatan membawa heroin saat pulang dari Taiwan.

Akan tetapi, Komnas Perempuan saat itu menyebut Merri Utami sebagai korban perdagangan orang.

Sebab, Merri hanya dititipkan tas di Nepal oleh kekasihnya Jerry, melalui Muhammad dan Badru.

Saat diserahkan, Merri curiga karena tas tersebut lebih berat dari biasanya. Akan tetapi, pemberi tas menampik dengan menyebut tas yang dibawa berat karena kualitas kulit yang bagus.

Kemudian, ia membawa tas itu seorang diri ke Jakarta melalui bandara Soekarno-Hatta pada 31 Oktober 2001.

Merri Utami ditangkap di Bandara Soekarno Hatta karena membawa 1,1 kilogram heroin yang terdapat di dinding tas.

https://nasional.kompas.com/read/2023/04/15/08354521/grasi-merri-utami-dikabulkan-jokowi-momentum-tinjau-ulang-hukuman-mati

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke