JAKARTA, KOMPAS.com - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dinilai tidak asal menyimpulkan dengan menyebut terdapat indikasi tindak pidana di balik kekayaan tak wajar mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Rafael Alun Trisambodo.
"Indikasi itu ya seperti yang pernah dilaporkan di LHA (laporan hasil analisis) PPATK ya berarti ada," kata mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein, dalam program Ni Luh di Kompas TV, seperti dikutip pada Kamis (9/3/2023).
Indikasi tindak pidana di balik transaksi janggal rekening dan kekayaan tak wajar Rafael Alun disampaikan oleh Kepala PPATK Ivan Yustiavandana beberapa waktu lalu.
Menurut Ivan, salah satu kejanggalan dari transaksi dan kekayaan Rafael adalah keberadaan kuasa atau nominee untuk membuka akun rekening.
Yunus mengatakan, berdasarkan pengalamannya dalam mengusut indikasi aliran dana dari tindak pidana, PPATK umumnya mendalami profil para penyelenggaran negara.
"Karena dia high risk profile. Kedua kalau jumlahnya besar. Kok gede amat gitu," ujar Yunus.
Langkah yang ketiga, kata Yunus, PPATK melakukan penelusuran yang terkait dengan kasus yang sedang berjalan.
"Kita juga pakai LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) sebenarnya menganalisis itu," ucap Yunus.
PPATK, kata Yunus, akan mengaitkan profil pemasukan dan kepemilikan harta kekayaan sang pejabat apakah sesuai atau terdapat kejanggalan karena tidak seimbang.
"Dikaitkan dengan income kok besar sekali dia punya misalnya. Fakta-fakta tadi kalau mengindikasikan memenuhi unsur-unsur pidana tindak pidana korupsi ya, gratifikasi atau suap atau yang lain, nah itu kita minta penyidik untuk mendalami. Jadi kita PPATK mengindikasikan saja dugaan terjadinya pidana oleh yang bersangkutan," papar Yunus.
Kinerja Direktorat Jenderal Pajak menjadi sorotan setelah mantan pejabat Ditjen Pajak Rafael Alun Trisambodo diduga mempunyai jumlah kekayaan tak wajar.
Harta tak wajar Rafael terkuak setelah putranya, Mario Dandy Satrio (20), menganiaya D (17) yang merupakan anak pengurus GP Ansor.
Sementara Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga telah memblokir puluhan rekening Rafael dan keluarga dengan transaksi senilai Rp 500 miliar.
Rekening yang diblokir ini terdiri dari rekening pribadi Rafael, keluarga termasuk putranya Mario Dandy Satrio dan perusahaan atau badan hukum, serta konsultan pajak yang diduga terkait dengan Rafael.
PPATK sebelumnya menyatakan sudah menemukan indikasi transaksi mencurigakan Rafael sejak 2003 karena tidak sesuai profil dan menggunakan nominee atau kuasa.
PPATK juga mendapat informasi dari masyarakat mengenai konsultan pajak terkait Rafael melarikan diri ke luar negeri.
Diduga ada dua orang mantan pegawai Ditjen Pajak yang bekerja pada konsultan tersebut. KPK pun sudah mengantongi dua nama orang itu.
Adapun KPK sudah memutuskan membuka penyelidikan dugaan tindak pidana terkait harta kekayaan Rafael. Dalam proses ini, KPK akan mencari bukti permulaan dugaan tindak pidana korupsi.
Di sisi lain, Kementerian Keuangan memutuskan memecat Rafael setelah melakukan audit. Menteri Keuangan Sri Mulyani pun dilaporkan menyetujui pemecatan Rafael.
Sri Mulyani bahkan membubarkan klub pengendara motor pegawai Ditjen Pajak, Belasting Rijder, sebagai dampak dari kasus Rafael.
Dampak dari kasus Rafael juga merembet ke Bea Cukai. Eko Darmanto yang sebelumnya merupakan Kepala Kantor Bea dan Cukai Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dicopot dari jabatannya karena memamerkan gaya hidup mewah melalui media sosial dan diduga mempunyai harta kekayaan tidak wajar.
Eko pun dimintai klarifikasi oleh KPK terkait data harta kekayaannya.
https://nasional.kompas.com/read/2023/03/09/15410991/ppatk-dinilai-tak-asal-sebut-harta-rafael-alun-terindikasi-pidana