Peneliti LP3ES, Wijayanto menilai bahwa hal ini bukan hanya terjadi di Indonesia menjelang Pemilu 2024, melainkan juga di tingkat global.
Wijayanto mengatakan, ketidakseriusan itu tercermin dari dua hal.
"Pertama, saya melihat adanya keengganan platform digital untuk duduk bersama dengan masyarakat sipil. Dalam beberapa seminar, platform digital menolak untuk hadir," ujar Wijayanto kepada Kompas.com di sela diskusi virtual yang digelar Universitas Paramadina, Kamis (2/3/2023).
Ia mengungkapkan, dalam konferensi internasional bertajuk "Internet for Trust" yang diselenggarakan UNESCO di Paris, Perancis, pada 21-23 Februari 2023, platform-platform digital seperti Meta, TikTok, dan Twitter tidak mengirim delegasi.
Padahal, sebagai perusahaan multinasional yang memiliki pengaruh lebih kuat dari negara, mereka seharusnya memiliki tanggung jawab lebih untuk ikut berperan.
"Padahal, kalau kita mau platform digital bersih dari hoaks, mereka harus mau diajak bicara. Tapi mereka tidak datang," ujar Wijayanto.
Masalah kedua, dalam ragam kesempatan seminar berkaitan dengan moderasi konten, platform-platform digital ini disebut hanya mengirim humas dan penasihat kebijakan, atau posisi serupa.
Hal ini dianggap tak membereskan persoalan. Sebab, sirkulasi konten di media sosial, termasuk yang mengandung ujaran kebencian dan hoaks, justru berkenaan dengan algoritma platform tersebut dan hal itu merupakan urusan engineer platform yang bersangkutan.
"Kita butuh bicara dengan para engineer dari media sosial itu. Masalahnya ada di engineer yang tidak peka pada konteks sosial. Mereka tidak mengerti apa itu hate speech, apa itu hoaks, apa itu discourse analysis, semiotika, dan lain sebagainya," kata Wijayanto.
"Selalu dikatakan ada algoritma dan lain-lain. Tetapi, bagaimana algoritma itu disusun dan cara kerjanya, logikanya seperti apa, kita tidak tahu, tidak transparan. Jadi, masalah untuk moderasi digital kurangnya kemauan platform untuk bicara dan terbuka," ujarnya lagi.
Terbaru, Bawaslu RI duduk bareng dengan perwakilan TikTok Indonesia, yaitu Public Policy & Goverment Relation Manager Faris Mufid.
Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat, dan Humas Bawaslu RI, Lolly Suhenty, berharap rencana kerja sama ini dapat menciptakan fitur khusus Pemilu 2024 pada platform media sosial asal China tersebut, yakni tautan khusus informasi pemilu dan kanal pelaporan khusus pemilu.
“PR kita bersama ialah bagaimana percakapan yang ada di dunia digital mampu kita maksimalkan, percakapan positif bukan yang negatif, maka karena itu kita butuh kerja sama kita semua,” kata Lolly dikutip situs resmi Bawaslu RI, Minggu (12/2/2023).
Lolly beranggapan bahwa jelang tahun politik, ruang-ruang publik termasuk media sosial termasuk TikTok perlu dijejali dengan informasi kepemiluan.
Kanal pelaporan khusus pemilu dinilai penting untuk mendapatkan prioritas dalam menurunkan konten-konten yang dinyatakan melanggar ketentuan.
"Termasuk percepatan kalau diduga ada konten yang kemudian menghasut atau menimbulkan kekerasan,” ujarnya.
Ini menjadi masalah laten yang belum terpecahkan, yaitu persoalan batas definisi yang sumir antara ujaran kebencian dengan kebebasan berbicara. Hal ini diakui Lolly jauh hari sebelumnya.
"Misalnya sikap pribadi untuk berpolitik. Dalam pandangan Bawaslu, itu (pernyataan sikap pribadi itu) bermuatan menghasut atau mengadu domba. Itu kan tidak boleh, jelas dalam aturan undang-undang. Tetapi, platform memandang ini adalah kebebasan berbicara, kebebasan berekspresi," kata Lolly memberi contoh, pada Selasa (14/6/2022).
https://nasional.kompas.com/read/2023/03/02/14270021/lp3es-nilai-platform-digital-tak-serius-antisipasi-hoaks-dan-ujaran