JAKARTA, KOMPAS.com - Jajak pendapat Litbang Kompas menemukan sebagian besar masyarakat atau sekitar 60,5 persen beranggapan bahwa UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tidak mewakili aspirasi masyarakat.
Sementara itu, 30,5 persen mengakui sudah mewakili aspirasi, dan 8,9 persen tidak tahu.
"Sebanyak 60,5 persen responden menyatakan, UU Cipta Kerja belum mewakili aspirasi masyarakat. Bahkan, tak sampai sepertiga responden yang mengaku sudah terwakili dengan pasal-pasal yang terkandung dalam aturan tersebut," kata Peneliti Litbang Kompas, Rangga Eka Sakti, dikutip dari Harian Kompas, Senin (16/1/2023).
Rangga menuturkan, masih minimnya peran publik ini terlihat dari lahirnya Perppu. Sebab, lahirnya Perppu berasal dari UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Minimnya transparansi, kata Rangga, juga menjadi salah satu catatan yang disampaikan MK dalam putusannya nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait Cipta Kerja. Kala itu, MK mengharuskan materi perubahan UU bisa dengan mudah diakses publik.
Diketahui, pemerintah menerbitkan Perppu sebagai jaminan kepastian hukum setelah UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
"Apalagi jauh sebelum UU Cipta Kerja disahkan, reaksi publik cenderung menolak dengan munculnya demonstrasi, terutama dari kalangan buruh dan pekerja," tuturnya
Lebih untungkan investor
Sejalan dengan itu, mayoritas responden atau 25,3 persen menilai bahwa UU Cipta Kerja hanya menguntungkan para pelaku usaha atau pebisnis.
Kemudian, 18,1 persen publik menilai UU ini hanya menguntungkan pemerintah, 16,6 persen menyebut UU hanya menguntungkan pekerja/karyawan swasta, 16,6 persen menguntungkan investor/pemilik modal, 12,4 persen menguntungkan buruh, serta 2,5 persen menguntungkan petani dan nelayan.
"Tidak banyak dari responden yang merasa Perppu Cipta Kerja ini menguntungkan para pekerja. Hanya sekitar 16,6 persen responden yang merasa kehadiran Perppu dapat memberikan perlindungan dan kesejahteraan pekerja," ucap Rangga.
Hal inilah yang kemudian menjadi alasan penolakan yang paling besar. Sebanyak 48,2 persen responden menolak UU Cipta Kerja dengan alasan tidak berpihak pada karyawan dan pekerja.
Lalu, 18,9 persen menolak karena membuat pelaku usaha atau perusahaan makin mudah melakukan PHK, 16,6 persen menganggap UU bisa digunakan untuk menekan karyawan, 10,8 persen menolak karena pernah mengalami dampak dari UU Cipta Kerja, dan 5,5 persen menolak karena tidak ada batas maksimum dari karyawan kontrak.
Kekhawatiran ini, kata Rangga, bukan tanpa dasar. Terbitnya Perppu Cipta Kerja pun belum menyelesaikan persoalan terkait dengan pekerja yang menjadi ganjalan pada UU Cipta Kerja.
"Beberapa hal seperti soal ketidakpastian hukum terkait sistem kerja kontrak dan praktik outsourcing masih tak tersentuh Perppu tersebut," jelas Rangga.
https://nasional.kompas.com/read/2023/01/16/09100131/survei-litbang-kompas-605-persen-publik-menilai-uu-cipta-kerja-tak-wakili