Salin Artikel

Pencabutan PPKM Dinilai Tidak Tepat, Pemerintah Disebut Hanya Pertimbangkan Faktor Ekonomi-Politik

JAKARTA, KOMPAS.com - Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman menilai, langkah pemerintah mencabut Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) tidak tepat. Sebab, Indonesia sampai saat ini masih mencatatkan kasus Covid-19.

Dia menilai, pencabutan kebijakan pengendalian Covid-19 ini lebih mempertimbangkan faktor politik dan ekonomi. 

"Keputusan pencabutan PPKM ini sangat sulit dihindari, lebih bernuansa politis dan ekonomi," kata Dicky kepada Kompas.com, Jumat (30/12/2022).

"Kalau saya melihat, mencabut PPKM dalam konteks saat ini lebih banyak minusnya daripada plusnya," tuturnya.

Memang, kata Dicky, kasus Covid-19 di Indonesia belakangan tampak mengalami penurunan. Namun, itu tak lepas dari minimnya angka pengetesan.

Dia mengingatkan, sejumlah negara seperti China baru-baru ini mengalami lonjakan kasus Covid-19. Varian baru virus corona terus bermutasi menembus antibodi tubuh, baik yang dihasilkan oleh vaksin maupun secara alami dari penularan virus.

Bukan tidak mungkin peningkatan serupa juga terjadi di Tanah Air. Apalagi, Indonesia telah mengonfirmasi masuknya subvarian corona BF.7.

"Yang saat ini beredar adalah subvarian-subvarian yang sangat efektif menginfeksi, bisa menginfeksi ulang, bisa menembus barikade proteksi," ujarnya.

Selain itu, lanjut Dicky, saat ini dunia tengah dalam masa libur panjang Natal dan tahun baru, sehingga mobilitas penduduk diprediksi naik.

Data mencatat, umumnya, kasus Covid-19 mengalami kenaikan setelah masa libur panjang, seperti Natal dan tahun baru atau Lebaran. Oleh karenanya, alangkah lebih baik jika pencabutan PPKM ini ditunda.

"Artinya lebih baik (pencabutan PPKM) dilakukan setelah Nataru (Natal dan tahun baru)," ujar Dicky.

Sebenarnya, lanjut Dicky, sah-sah saja jika pemerintah mengutamakan faktor ekonomi untuk menghapus PPKM. Namun, setelah ini, harus ada langkah lain untuk mencegah penyebaran virus.

Masyarakat harus tetap menerapkan protokol kesehatan secara ketat, mulai dari memakai masker, rajin mencuci tangan, menjaga jarak, dan menjauhi kerumunan.

"Kesadaran kemandirian ini kan menjadi pertanyaan berikut dan tentunya harus ada rambu-rambu menjaga itu, karena bagaimanapun situasinya kan masih pandemi," tutur Dicky.

Adapun PPKM dicabut mulai Jumat (30/12/2022). Keputusan pencabutan kebijakan pengendalian Covid-19 itu akan dituangkan dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 50 dan 51 Tahun 2022.

"Lewat pertimbangan-pertimbangan yang berdasarkan angka-angka yang ada maka pada hari ini pemerintah memutuskan untuk mencabut PPKM," kata Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Jumat (30/12/2022).

Jokowi beralasan, situasi pandemi Covid-19 di Indonesia sudah melandai, berkaca dari kasus harian Covid-19 pada 27 Desember 2022 yang hanya 1,7 kasus per 1 juta penduduk.

Ia menyebutkan, positivity rate mingguan juga sudah berada di angka 3,3 persen. Kemudian, angka keterisian tempat tidur di rumah sakit atau bed occupancy rate tercatat 4,79 persen, sedangkan angka kematian 2,39 persen.

Angka tersebut, kata Jokowi, berada di bawah standar Badan Kesehatan Dunia sehingga pemerintah memutuskan untuk menghentikan PPKM.

"Jadi tidak ada lagi pembatasan kerumunan dan pergerakan masyarakat," ujarnya.

Kendati demikian, pemerintah tetap meminta masyarakat memakai masker ketika berada di kerumunan atau di dalam ruangan. Selain itu, vaksinasi Covid-19 juga akan tetap digalakkan.

Pemerintah menyebut, PPKM dapat kembali diberlakukan jika kasus Covid-19 di Tanah Air melonjak lagi.

https://nasional.kompas.com/read/2022/12/30/19014781/pencabutan-ppkm-dinilai-tidak-tepat-pemerintah-disebut-hanya-pertimbangkan

Terkini Lainnya

PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

Nasional
Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang 'Toxic' di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang "Toxic" di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Nasional
Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Nasional
BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena 'Heatwave' Asia

BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena "Heatwave" Asia

Nasional
Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang 'Online' dari Pinggir Jalan

Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang "Online" dari Pinggir Jalan

Nasional
Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk 'Presidential Club'...

Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk "Presidential Club"...

Nasional
Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Nasional
“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Prabowo Dinilai Bisa Bentuk 'Presidential Club', Tantangannya Ada di Megawati

Prabowo Dinilai Bisa Bentuk "Presidential Club", Tantangannya Ada di Megawati

Nasional
Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Nasional
Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk 'Presidential Club' | PDI-P Sebut Jokowi Kader 'Mbalelo'

[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk "Presidential Club" | PDI-P Sebut Jokowi Kader "Mbalelo"

Nasional
Kualitas Menteri Syahrul...

Kualitas Menteri Syahrul...

Nasional
Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke