JAKARTA, KOMPAS.com - Hari ini, 77 tahun yang lalu tepatnya 10 November 1945, perang berkobar di Surabaya, Jawa Timur.
Para pemuda Surabaya habis-habisan bergerak melawan gempuran tentara Inggris yang hendak merebut kemerdekaan Indonesia.
Pasukan bambu runcing dikerahkan, menghalau tank-tank milik Sekutu. Semangat arek-arek Surabaya dibakar lewat corong-corong radio yang lantang mengumandangkan pekik merdeka dari Bung Tomo.
Sejarah mencatat, pertempuran Surabaya menjadi yang terbesar pascakemerdekaan. Inilah cikal bakal lahirnya Hari Pahlawan.
Pecah pertempuran
Cerita berawal dari kedatangan pasukan Sekutu yang tergabung dalam Allied Forces Netherland East Indies (NICA) ke Surabaya pada 25 Oktober 1945. Saat itu, Indonesia baru dua bulan merdeka dari penjajahan.
Pasukan Sekutu yang dipimpin oleh Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sother Mallaby langsung mendirikan pos-pos pertahanan.
Semula, pasukan Sekutu datang untuk mengamankan para tawanan perang dan melucuti senjata Jepang.
Namun, pada 27 Oktober 1945, mereka menyerbu penjara dan membebaskan para tawanan perwira Sekutu yang ditahan oleh Indonesia.
Pasukan Sekutu juga mendirikan pertahanan di tempat-tempat penting, seperti lapangan terbang, kantor radio, gedung internatio, dan pusat kereta api.
Mereka bahkan menyebarkan selebaran yang berisi imbauan agar masyarakat Surabaya segera menyerahkan senjata.
Namun, rakyat Surabaya menolak. Tak mau kembali jatuh ke belenggu penjajah, para pemuda bersatu merapatkan barisan untuk melawan Sekutu.
Pada 28 Oktober 1945, pasukan Indonesia yang dipimpin Bung Tomo mulai menyerang pos-pos pertahanan milik Sekutu.
Tiga hari kemudian tepatnya 31 Oktober 1945, Brigadir Mallaby tewas di tangan para pejuang Indonesia.
Peristiwa ini sontak menyulut kemarahan Sekutu. Mereka mengultimatum rakyat untuk segera menyerah, atau jika tidak, Surabaya akan dihancurkan.
Bukannya tumbang, semangat rakyat justru kian berkobar. Pemuda Indonesia bersenjatakan bambu runcing bergerak menyerang tank-tank Sherman milik Sekutu.
Pertempuran berlangsung ganas dan kejam selama tiga minggu, dan puncaknya terjadi pada 10 November 1945.
Pekik Bung Tomo
Sosok Sutomo atau yang lebih dikenal sebagai Bung Tomo berperan besar dalam pertempuran 10 November 1945.
Melalui siaran radio, pemuda asal Surabaya itu tampil sebagai pimpinan yang mengobarkan semangat perlawanan, mengajak seluruh rakyat bersatu dan merebut tempat-tempat penting yang diduduki Sekutu.
Siaran Bung Tomo melanglang ke berbagai radio di Surabaya. Menurut buku Indonesia dalam Arus Sejarah Edisi ke-6, siaran Bung Tomo selalu dibuka dengan "Allahu Akbar! Allahu Akbar!".
Seruan itu berhasil menggerakan hati warga, terutama masyarakat santri di Surabaya.
Dengan gaya bicara yang berapi-api, Bung Tomo juga kerap memekik orasi "merdeka atau mati!" yang menyulut jiwa juang para pemuda Surabaya bertempur di medan laga.
Saat itu, Bung Tomo bahkan mengikrarkan janji bahwa dirinya tak akan menikah sebelum Belanda terusir dari Indonesia.
Gencarnya siaran Bung Tomo juga membuat orang berbondong-bondong datang ke Surabaya untuk ikut berperang. Rakyat dari sekitar Surabaya, bahkan luar Jawa, termasuk dari Sulawesi Utara, turut angkat senjata mempertahankan kemerdekaan.
Kobaran semangat inilah yang pada akhirnya berhasil menyatukan rakyat, mengusir Sekutu dan mempertahankan kedaulatan negara di tanah Surabaya.
Hari ini, Surabaya dikenal sebagai Kota Pahlawan. Tak hanya itu, 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan.
https://nasional.kompas.com/read/2022/11/10/10521131/hari-pahlawan-pertempuran-di-surabaya-dan-pekik-merdeka-bung-tomo