Di sana aktivitas warga beragam. Ada anak-anak Sekolah Sepak Bola (SSB) sedang belajar nendang bola. Ada bapak-bapak jogging mengitari lapangan.
Bahkan, sepagi itu sudah ada sekelompok orang bermain catur sembari menyeruput kopi tubruk di angkringan.
Ibu-ibu tentu tak ketinggalan untuk ikhtiar sehat. Di sudut lapangan mereka mengikuti instruktur untuk senam lansia.
Saat senam sih biasa saja. Namun setelah senam, inilah yang menarik. Mereka tak langsung bubar.
"Nunggu panitia," kata seorang ibu peserta senam kepada temannya. Kebetulan saya di dekatnya sehingga bisa mendengarkan percakapan mereka.
Panitia? Ternyata senam itu memang dikoordinir. Ibu-ibu mendaftar terlebih dahulu. Konon, kata seorang ibu, yang mendaftar mencapai 150-an orang. Ternyata mereka yang mendaftar memperoleh kaos plus amplop, tentu satu dus snack.
Iseng-iseng saya mengintip kerumunan ibu yang sedang menyobek amplop. "Lumayan, lima puluh ribu," katanya.
Ya lumayan, sudah dapat sehat, dapat Rp 50.000 pula. Plus kaos dan makanan ringan. Kata orang Bantul, "Bejo tenan".
Kaos itu bertulis nama dan foto seorang perempuan yang digadang-gadang maju sebagai calon presiden 2024. Ada tulisan relawan. Perempuan itu berkerudung putih dengan latar belakang warna merah.
Saya menghitung, 150 kaos plus uang Rp 50.000 per orang. Total uang saja sudah Rp 7,5 juta. Belum hitung-hitungan biaya kaos dan snack. Bisa habis Rp 20-an juta.
Belum lagi honor panitia alias relawan tadi. Lumayan juga modal untuk "memperkenalkan diri" kepada konstituen.
Sudah barang tentu perkenalan itu tidak di satu titik. Modus serupa bisa saja terjadi di titik lain. Bisa di wilayah Yogyakarta atau di luar daerah.
Pendek kata, modal memang harus gede. Entahlah dari mana asal modal itu. Tetapi jelas mahal.
Itu cerita Minggu pagi. Kamis, pukul 13.54 WIB, ada cerita lain. Saya buka twitter. Pertama kali saya tengok yang sedang trending. Tertuliskan: Sedang tren untuk topik Indonesia "Perempuan Bergaun Merah", 24,4 ribu tweet.
Penasaran, apa sih "Perempuan Bergaun Merah"? Ternyata judul film. Mengutip Kompas.com (3 November 2022), film Perempuan Bergaun Merah resmi tayang di bioskop Tanah Air pada hari Kamis (3/11/2022), dengan rating 13 tahun ke atas.
Film yang dibintangi Tatjana Saphira dan Refal Hady ini merupakan hasil kolaborasi William Chandra sebagai sutradara dan Timo Tjahjanto sebagai produser.
Sejak sahabatnya menghilang, hidup Dinda (Tatjana Saphira) berubah jadi mimpi buruk saat sosok roh jahat berwujud perempuan bergaun merah menghantuinya.
Nyawa Dinda terancam. Tak hanya dari sosok jahat itu, tapi juga dari orang-orang yang berusaha merahasiakan kejadian di malam ketika sahabatnya menghilang.
Sudah, cukup sinopsisnya secuil saja. Saya mau cerita lain, saat membuka twitter yang sedang trending itu, muncul pula gambar perempuan di kaos senam tadi.
Dia bergaun merah, berdiri paling depan, dan dikerubuti para perempuan berbaju merah. Cocok juga kalau gambar itu numpang di hastag "Perempuan Bergaun Merah".
Jeli juga creator conten. Atau mungkin orang iseng. Tetapi pesannya sampai juga ke pembuka twitter "Perempuan Bergaun Merah".
Bisa jadi itu bukan satu-satunya postingan yang digeber di media sosial. Ini pun butuh modal. Kalimat yang sama, entahlah dari mana asal modal itu.
Satu hal yang ingin saya kemukakan di sini, tak ada politik gratis di negeri ini. Semua butuh modal. Butuh duit untuk meraih kursi. Jangankan kursi RI 1, pemilihan kepala dukuh saja butuh modal kok.
Akibatnya politik itu tidak sepenuhnya mendaku kepada kepentingan masyarakat.
Saya jadi ingat kalimat filsuf Aristoteles, bahwa aktif dalam berpolitik menjadi baik sejauh tidak diperbudak proses biologis.
Apa itu "perbudakan bilogis"? Bahasa langitnya, ala para filsuf, padanan ”perbudakan biologis” adalah mazhab Cyrenaik yang menempatkan ”kesenangan tubuh lebih baik daripada kesenangan jiwa”.
Lalu, tubuh dimanjakan dengan materi sehingga menimbulkan kesan, urusan perut adalah segalanya.
Kian mudah dibaca, ketika politisi diperbudak proses biologis, aktivitas politik jadi mata pencarian. Untung rugi dan kepentingan pribadi menjadi tolok ukur.
Celaka jika politisi menempatkan politik sebagai pekerjaan. Filsuf Hannah Arendt mengingatkan, jika politik dianggap pekerjaan, urusan orang banyak akan terabaikan.
Artinya kegiatan politik bukan lagi sarana untuk meningkatkan kesejahteraan (rakyat). Bukan pula untuk mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam politik, yaitu kebebasan, kesetaraan, keadilan, dan solidaritas.
Di sinilah bisa dilihat kesenangan biologis sebagai prinsip berpolitik bagi kebanyakan politisi.
Jadi bagaimana? Kita sebagai rakyat, janganlah terlalu menuntut untuk menemukan politisi yang mengabaikan "perbudakan biologis" itu.
Manakala ada kandidat pemimpin disodorkan kepada kita, sadarlah bahwa kelak akan ada konsekuensi dari perbudakan biologis. Ada kepentingan-kepentingan rakyat yang terabaikan oleh kepentingan pribadi maupun kelompoknya.
Saya tidak akan menyatakan pilihlah politisi yang bersih dari perbudakan biologis. Agak susah ya di zaman sekarang.
Cuma yang mau ditegaskan, siapapun yang kita pilih sebagai pemimpin, tidaklah bisa lepas dari perbudakan biologis versi Aristoteles tadi. Ini yang patut dipahami agar tidak "gondok" di kemudian hari.
https://nasional.kompas.com/read/2022/11/04/06160261/perempuan-bergaun-merah