Salin Artikel

Anak-anak Terduga Teroris, Siapa Peduli?

Kabar tersebut sering mengejutkan, bahwa apa yang disebut sebagai sel-sel teror terus berkeluaran beregenerasi. Yang terakhir adalah penangkapan belasan terduga teroris di Riau beberapa hari lalu.

Bagaimana kelanjutan dari operasi antiteror itu, tidak terjangkau oleh pemikiran saya. Yang sering muncul adalah justru lamunan tentang bagaimana nasib anak-anak dan keluarga para terduga teror tersebut.

Tidak tertutup kemungkinan mereka sama terperanjatnya; tidak menyadari bahwa orangtua mereka—baik ayah maupun ibu—ternyata menjadi buruan otoritas penegakan hukum.

Pertanyaan sedemikian rupa sangat beralasan, mengingat bukan sekali dua kali saja tersiar kabar betapa keluarga para terduga teroris tersebut ikut terkena getah dari operasi Densus 88.

Anak-anak itu mengalami persekusi yang menyedihkan; oleh warga sekitar, para bocah malang itu dipaksa angkat kaki dari tempat tinggal mereka.

Dan itu niscaya membuat mereka putus sekolah, kehilangan teman, dan dihantui oleh pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab tentang mengapa ayah mereka tak lagi pulang dan sekonyong-konyong mereka harus pergi dari kampung halaman mereka.

Berbeda dengan kasus-kasus kriminal lainnya, sejauh ini belum pernah saya dengar kabar tentang aksi salah tangkap dalam operasi pemberantasan terorisme.

Dengan kata lain, siapa pun yang diamankan oleh Densus 88 pasti sungguh-sungguh terlibat dalam jaringan teror.

Andai pun ada terduga teroris yang tidak pernah “naik kelas” menjadi tersangka apalagi terdakwa, namun tetap saja anak-anak mereka terlanjur terkunci seterusnya sebagai anak teroris. Ini, tentu saja, sebutan yang sama sekali tidak menyenangkan.

Lebih lagi adalah anak-anak dari orangtua yang benar-benar merupakan bagian dari jaringan teror. Mereka terstigma selama-lamanya sebagai darah daging para teroris.

Bisa jadi bahwa, akibat diasingkan sedemikian rupa oleh masyarakat, anak-anak itu justru kelak menautkan diri mereka ke dalam kelompok-kelompok yang sama kelirunya. Bisa pula mereka menjalani proses swakaderisasi teror.

Tahap yang ditempuh, pertama, mereka mengekstremkan pemikiran mereka sendiri dengan memanfaatkan berbagai referensi daring.

Tahap berikutnya, setelah isi kepala berubah ekstrem, anak-anak tersebut memutuskan untuk menjadi pelaku teror berikutnya.

Memahami adanya mekanisme sedemikian bagi berlangsungnya regenerasi teror, saya merasa perlu kembali mengingatkan negara akan pasal-pasal perlindungan khusus dalam UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak.

Berbeda dengan perlindungan anak yang bersifat umum, UU Perlindungan Anak menetapkan belasan kategori anak yang harus memperoleh perlindungan khusus.

Salah satunya adalah anak-anak yang mengalami stigmatisasi akibat labelisasi atau pun perbuatan orangtua mereka.

Anak-anak teroris dan terduga teroris, saya pandang, termasuk dalam kategori tersebut. Persekusi, tak bisa dibantah, merupakan bukti keras dari adanya stigmatisasi tersebut.

Bentuk perlindungan khusus yang diberikan kepada mereka adalah konseling, pendampingan sosial, dan rehabilitasi sosial.

Perlindungan khusus itu dikemas sebagai kewajiban sekaligus tanggung jawab yang diembankan ke—secara berurutan—pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan lembaga negara lainnya.

Sayangnya, hingga catatan ini disusun, saya tidak menemukan ada data tentang seberapa jauh perlindungan khusus itu telah diterapkan khusus bagi anak-anak teroris dan terduga teroris.

Membaca UU Perlindungan Anak secara lebih seksama, boleh jadi anak-anak yang sama juga layak masuk dalam kategori lainnya: anak korban jaringan terorisme.

Jika demikian adanya, maka anak-anak itu seharusnya memperoleh perlindungan khusus dalam bentuk edukasi tentang pendidikan dan ideologi, konseling tentang bahaya terorisme, rehabilitasi, dan pendampingan sosial.

Dari situ dapat terlihat, ragam perlindungan khusus itu memiliki kemiripan dengan jenis-jenis perlindungan khusus yang diperuntukkan bagi anak-anak korban stigma.

Perbedaanya adalah, apabila anak-anak terduga teroris juga layak dimasukkan ke dalam kategori korban jaringan terorisme, mereka diberikan materi edukatif tentang kebangsaan dan sejenisnya.

Dengan penyelenggaraan perlindungan khusus tersebut, seharusnya tidak ada lagi anak-anak terduga teroris yang diusir dan dipaksa putus sekolah.

Seiring dengan pengamanan terhadap orangtua mereka, negara seketika hadir pula merealisasikan perlindungan khusus.

Personel Bhabinkamtibmas, misalnya, dapat secepatnya menghimpun masyarakat setempat tentang operasi Densus 88 serta mengingatkan warga akan adanya perintah UU Perlindungan Anak terkait perlindungan khusus.

Kantor-kantor dinas terkait (misalnya Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak, Dinas Pendidikan, serta Dinas Sosial) juga dapat segera bekerja sesuai isi Peraturan Pemerintah 78/2021.

Dalam praktiknya di lapangan, berbagai komponen masyarakat tentunya dapat diikutsertakan.

Dua kategori perlindungan khusus di atas seyogianya juga dijadikan sebagai hal yang inheren dalam program deradikalisasi.

Anak-anak yang tetap dapat menjalani proses tumbuh kembang secara (mendekati) optimal selagi orangtua mereka menjalani proses pidana dan deradikalisasi, tentunya akan turut membuka katub kesadaran para teroris atau pun terduga teroris bahwa negara benar-benar hadir secara proporsional (tidak pukul rata) dalam menyikapi secara komprehensif masalah terorisme di Tanah Air.

Siapa pun dapat melihat bahwa perlindungan khusus bagi anak, dengan segala bentuk penerapannya di atas, adalah jauh lebih bijak daripada semata-mata memberikan “amplop” kepada keluarga terduga teroris.

Pemberian uang sedemikian rupa akan dianggap sebagai obat yang justru semakin menyakitkan hati.

Apalagi jika “amplop” itu dimaksudkan semata-mata untuk “menenangkan” pihak keluarga agar tidak memperkarakan alat negara ke hadapan hukum, hampir dapat dipastikan akan ditolak oleh pihak keluarga.

Pada akhirnya, ketentuan tentang perlindungan khusus dalam UU Perlindungan Anak memberikan garis bawah pada keyakinan saya selama ini. Bahwa, peribahasa ‘gara-gara nila setitik, rusak susu sebelanga’ harus dijauhkan dari kehidupan anak-anak.

Secara konkret, betapa pun ayah bunda tengah bermasalah dengan hukum, tidak ada dosa yang tertularkan. Anak-anak dari para orangtua itu tetap bersih dan merupakan kewajiban negara untuk menjaga dan melindungi mereka.

https://nasional.kompas.com/read/2022/09/21/06000071/anak-anak-terduga-teroris-siapa-peduli-

Terkini Lainnya

Gubernur Maluku Utara Nonaktif Diduga Cuci Uang Sampai Rp 100 Miliar Lebih

Gubernur Maluku Utara Nonaktif Diduga Cuci Uang Sampai Rp 100 Miliar Lebih

Nasional
Cycling de Jabar Segera Digelar di Rute Anyar 213 Km, Total Hadiah Capai Rp 240 Juta

Cycling de Jabar Segera Digelar di Rute Anyar 213 Km, Total Hadiah Capai Rp 240 Juta

Nasional
Hindari Konflik TNI-Polri, Sekjen Kemenhan Sarankan Kegiatan Integratif

Hindari Konflik TNI-Polri, Sekjen Kemenhan Sarankan Kegiatan Integratif

Nasional
KPK Tetapkan Gubernur Nonaktif Maluku Utara Tersangka TPPU

KPK Tetapkan Gubernur Nonaktif Maluku Utara Tersangka TPPU

Nasional
Soal Kemungkinan Duduki Jabatan di DPP PDI-P, Ganjar: Itu Urusan Ketua Umum

Soal Kemungkinan Duduki Jabatan di DPP PDI-P, Ganjar: Itu Urusan Ketua Umum

Nasional
Kapolda Jateng Disebut Maju Pilkada, Jokowi: Dikit-dikit Ditanyakan ke Saya ...

Kapolda Jateng Disebut Maju Pilkada, Jokowi: Dikit-dikit Ditanyakan ke Saya ...

Nasional
Jokowi dan Prabowo Rapat Bareng Bahas Operasi Khusus di Papua

Jokowi dan Prabowo Rapat Bareng Bahas Operasi Khusus di Papua

Nasional
Kemenhan Ungkap Anggaran Tambahan Penanganan Papua Belum Turun

Kemenhan Ungkap Anggaran Tambahan Penanganan Papua Belum Turun

Nasional
PAN Minta Demokrat Bangun Komunikasi jika Ingin Duetkan Lagi Khofifah dan Emil Dardak

PAN Minta Demokrat Bangun Komunikasi jika Ingin Duetkan Lagi Khofifah dan Emil Dardak

Nasional
Tanggapi Ide 'Presidential Club' Prabowo, Ganjar: Bagus-bagus Saja

Tanggapi Ide "Presidential Club" Prabowo, Ganjar: Bagus-bagus Saja

Nasional
6 Pengedar Narkoba Bermodus Paket Suku Cadang Dibekuk, 20.272 Ekstasi Disita

6 Pengedar Narkoba Bermodus Paket Suku Cadang Dibekuk, 20.272 Ekstasi Disita

Nasional
Budiman Sudjatmiko: Bisa Saja Kementerian di Era Prabowo Tetap 34, tetapi Ditambah Badan

Budiman Sudjatmiko: Bisa Saja Kementerian di Era Prabowo Tetap 34, tetapi Ditambah Badan

Nasional
PAN Ungkap Alasan Belum Rekomendasikan Duet Khofifah dan Emil Dardak pada Pilkada Jatim

PAN Ungkap Alasan Belum Rekomendasikan Duet Khofifah dan Emil Dardak pada Pilkada Jatim

Nasional
Prabowo Hendak Tambah Kementerian, Ganjar: Kalau Buat Aturan Sendiri Itu Langgar UU

Prabowo Hendak Tambah Kementerian, Ganjar: Kalau Buat Aturan Sendiri Itu Langgar UU

Nasional
Tingkatkan Pengamanan Objek Vital Nasional, Pertamina Sepakati Kerja Sama dengan Polri

Tingkatkan Pengamanan Objek Vital Nasional, Pertamina Sepakati Kerja Sama dengan Polri

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke