Salin Artikel

Wacana Penghapusan Uang Pensiun DPR Butuh Tekanan Publik yang Kuat

JAKARTA, KOMPAS.com - Wacana penghapusan dana pensiun DPR dinilai membutuhkan tekanan kuat dari masyarakat supaya hal itu bisa terlaksana.

"Butuh tekanan publik yang kuat untuk mendorong pemerintah mengambil sikap tegas memutuskan rantai pensiun DPR ini," kata Ketua Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus, saat dihubungi Kompas.com, Jumat (2/9/2022).

Wacana penghapusan dana pensiun Dewan Perwakilan Rakyat menurut Lucius sudah disampaikan sejak lama.

Akan tetapi, dia menyayangkan sampai saat ini terlihat tidak ada tindakan serius dari Pemerintah dan DPR sendiri untuk sepakat memutuskan penghentian dana pensiun itu.

Di sisi lain, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sudah mengeluhkan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dana pensiun.

"Walaupun regulasinya merupakan ranah pemerintah, tetap saja DPR bisa ikut campur melalui kewenangan mereka di bidang pengawasan," ucap Lucius.

Di sisi lain, kata Lucius, pemerintah cenderung memberikan kebijakan yang menyenangkan DPR dan tidak pernah mengusik soal dana pensiun.

Dia memperkirakan hal itu dilakukan supaya pemerintah tidak dihambat DPR pada urusan lain yang membutuhkan persetujuan mereka.

"Jadi memang sulit mengharapkan aturan penghapusan dana pensiun DPR ini terealisasi," ucap Lucius.

Apalagi, kata Lucius, akibat pragmatisme yang melanda partai politik, politisi, DPR hingga pemerintah membuat kebijakan-kebijakan lama yang menguntungkan seperti dana pensiun tak bakal bisa dengan mudah dirubah.

"Tentu saja tekanan publik itu diperlukan pemerintah untuk menghadapi DPR yang kuasanya sangat menentukan banyak kebijakan pemerintah," ucap Lucius.

Sebelumnya, Sri Mulyani menyatakan pensiunan Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Pegawai Negeri Sipil (PNS) memberikan beban sebesar Rp 2.800 triliun terhadap keuangan negara.

Oleh sebab itu, dia ingin skema pensiunan segera diubah.

"Reformasi di bidang pensiun menjadi sangat penting," ujar Sri Mulyani saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Rabu (24/8/2022).

Saat ini skema penghitungan pensiunan PNS masih pay as you go, yakni hasil iuran 4,75 persen dari gaji PNS yang dikumpulkan di PT Taspen dan ditambah dana dari APBN.

Begitu pula dengan TNI dan Polri yang menggunakan skema sama namun dikelola oleh PT Asabri. Namun, menurut Sri Mulyani, pembayaran pensiunan seluruhnya mengandalkan APBN.

Kondisi tersebut dinilai membebani APBN dalam jangka panjang sebab dana pensiun akan dibayarkan secara terus-menerus, bahkan ketika pegawai sudah meninggal, yakni untuk pasangan dan anak hingga usia tertentu.

"Yang terjadi sekarang, ASN, TNI, Polri memang mengumpulkan dana pensiun di Taspen dan Asabri namun untuk pensiunnya mereka enggak pernah membayarkan, tetapi yang membayarkan APBN penuh," ujarnya.

"Ini tidak kesimetrian dan memang akan menimbulkan suatu risiko dalam jangka yang sangat panjang. Apalagi nanti kalau kita lihat jumlah pensiunan yang akan sangat meningkat," ucap Sri Mulyani.

Oleh sebab itu, Sri Mulyani berharap DPR bisa mendukung reformasi skema pensiunan PNS melalui menghasilkan produk Undang-Undang (UU) sebagai landasan hukum.

"Sampai sekarang kita belum memiliki UU pensiun. Makanya kami mengharapkan ini bisa menjadi salah satu prioritas untuk reformasi di bidang pensiunan di Indonesia," ucap Sri Mulyani.

Besaran uang pensiun DPR

Pernyataan Sri Mulyani langsung menuai perdebatan dan juga membuat masyarakat menyinggung soal tunjangan pensiun DPR.

Sebab, anggota DPR mendapat uang pensiun seumur hidup dari negara meski hanya menjabat 5 tahun atau satu periode.

Ketentuan ini diatur dalam Undang-Undang No 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara serta Bekas Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Bekas Anggota Lembaga Tinggi Negara.

Berdasarkan Surat Menteri Keuangan No S-520/MK.02/2016 dan Surat Edaran Setjen DPR RI No KU.00/9414/DPR RI/XII/2010, uang pensiun anggota DPR yakni 60 persen dari gaji pokok setiap bulan.

Rinciannya, Rp 3,02 juta untuk anggota DPR yang merangkap ketua. Angka ini 60 persen dari gaji pokok sebesar Rp 5,04 juta per bulan.

Sementara itu bagi anggota DPR yang merangkap wakil ketua, uang pensiun yang diterima sebesar Rp 2,77 juta, 60 persen dari gaji pokok sebesar Rp 4,62 juta per bulan.

Adapun untuk anggota yang tidak merangkap jabatan, uang pensiun yang diterima sebesar Rp 2,52 juta, 60 persen dari gaji pokok sebesar Rp 4,20 juta per bulan.

Uang pensiun DPR akan dihentikan bila penerima meninggal dunia atau menjadi anggota lembaga tinggi lainnya.

Namun, dalam Pasal 17 UU No 12 Tahun 1980, bila penerima pensiun meninggal dunia, untuk istri atau suami sah penerima diberikan pensiun janda/duda sebesar setengah dari uang pensiun.

Anak anggota DPR juga berhak menerima uang pensiun anak bila penerima pensiun atau penerima pensiun janda/duda meninggal dunia atau menikah lagi.

Untuk uang pensiun anak ada sejumlah syarat, yakni belum mencapai usia 25 tahun, belum mempunyai pekerjaan yang tetap dan belum menikah.

Di luar uang pensiun dan gaji pokok, anggota DPR mendapatkan banyak tunjangan hingga Rp 47,1 juta, dari tunjangan istri, tunjangan anak, tunjangan jabatan, hingga tunjangan komunikasi intensif.

Angka itu bisa lebih besar karena masih ada biaya perjalanan anggota DPR hingga anggaran pemeliharaan rumah.

(Penulis : Yoga Sukmana | Editor : Erlangga Djumena)

https://nasional.kompas.com/read/2022/09/02/17414481/wacana-penghapusan-uang-pensiun-dpr-butuh-tekanan-publik-yang-kuat

Terkini Lainnya

“Oposisi” Masyarakat Sipil

“Oposisi” Masyarakat Sipil

Nasional
Soal Pernyataan Prabowo, Pengamat: Ada Potensi 1-2 Partai Setia pada Jalur Oposisi

Soal Pernyataan Prabowo, Pengamat: Ada Potensi 1-2 Partai Setia pada Jalur Oposisi

Nasional
Pakar Nilai Ide KPU soal Caleg Terpilih Dilantik Usai Kalah Pilkada Inkonstitusional

Pakar Nilai Ide KPU soal Caleg Terpilih Dilantik Usai Kalah Pilkada Inkonstitusional

Nasional
Pakar Pertanyakan KPU, Mengapa Sebut Caleg Terpilih Tak Harus Mundur jika Maju Pilkada

Pakar Pertanyakan KPU, Mengapa Sebut Caleg Terpilih Tak Harus Mundur jika Maju Pilkada

Nasional
Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Ogah Kerja Sama, Gerindra: Upaya Rangkul Partai Lain Terus Dilakukan

Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Ogah Kerja Sama, Gerindra: Upaya Rangkul Partai Lain Terus Dilakukan

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Gerindra Pastikan Tetap Terbuka untuk Kritik

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Gerindra Pastikan Tetap Terbuka untuk Kritik

Nasional
Kabinet Prabowo: Antara Pemerintahan Kuat dan Efektif

Kabinet Prabowo: Antara Pemerintahan Kuat dan Efektif

Nasional
Gerindra Jelaskan Maksud Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Tak Mau Kerja Sama

Gerindra Jelaskan Maksud Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Tak Mau Kerja Sama

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Minta yang Tak Mau Kerja Sama Jangan Ganggu | Yusril Sebut Ide Tambah Kementerian Bukan Bagi-bagi Kekuasaan

[POPULER NASIONAL] Prabowo Minta yang Tak Mau Kerja Sama Jangan Ganggu | Yusril Sebut Ide Tambah Kementerian Bukan Bagi-bagi Kekuasaan

Nasional
Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Nasional
Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Nasional
Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Nasional
Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke