Salin Artikel

RKUHP, Alat Jerat Rakyat?

Selain masih banyak pasal bermasalah yang belum diubah, proses pembahasan juga terkesan dilakukan diam-diam.

Setelah mengalami penundaan, RKUHP dikabarkan akan segera disahkan. Pemerintah dan DPR bakal mengesahkan rancangan undang-undang yang sudah makan banyak korban.

Namun, rencana ini ditentang dan mendapat penolakan dari sejumlah kalangan. Karena, pemerintah dan DPR belum mengubah pasal-pasal yang dianggap bermasalah.

Kritik juga mengemuka karena pemerintah dan DPR dinilai tak terbuka. Publik tak bisa mengakses draft ‘revisi’ kitab undang undang yang mengatur soal hukum pidana ini.

Padahal, banyak pasal-pasal yang dinilai berpotensi mengangkangi demokrasi dan mengancam kebebasan berekspresi.

Sejak Soekarno hingga Jokowi

Upaya merevisi regulasi yang mengatur soal tindak pidana ini sebenarnya sudah dilakukan jauh-jauh hari sebelum era Presiden Jokowi.

Ide merevisi undang-undang peninggalan Belanda ini sudah ada sejak Orde Lama. Seminar Hukum Nasional I yang digelar pada tahun 1963 menghasilkan desakan untuk membuat KUHP Nasional yang baru.

Upaya memperbaiki KUHP juga dilakukan di era Orde Baru. Sejak 1970 pemerintah sudah mulai merancang RKUHP untuk mengganti KUHP yang berlaku saat ini.

Waktu itu, tim perancang dipimpin Prof. Sudarto dan disokong sejumlah Guru Besar Hukum Pidana di Indonesia. Namun, upaya mengganti regulasi peninggalan zaman kolonial ini tak terealisasi.

Upaya ini dilanjutkan di era Reformasi. Pada tahun 2004, tim baru penyusunan RKUHP dibentuk di bawah Prof. Dr Muladi, S.H.

Namun, RKUHP ini baru diserahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada DPR untuk dibahas pada 2012.

DPR periode 2014-2019 kemudian menyepakati draf RKUHP dalam pengambilan keputusan tingkat pertama. Namun, keputusan parlemen memicu berbagai reaksi.

Gelombang penolakan

Proses pembahasan dan rencana pengesahan RKUHP mendapat perlawanan dan penolakan. Ribuan orang dari beragam kalangan turun ke jalan guna menentang rencana pengesahan.

Hal ini terjadi karena draft revisi KUHP ini dinilai mengancam kebebasan berekspresi. Selain itu juga banyak pasal-pasal yang dinilai tidak sesuai dengan iklim demokrasi di negeri ini.

Pada September 2019, Presiden Jokowi akhirnya meminta agar DPR menunda pengesahan RKUHP. Jokowi juga memerintahkan agar pasal-pasal yang bermasalah ditinjau kembali.

DPR secara resmi kembali melanjutkan pembahasan RKUHP pada April 2020. Pembahasan terus bergulir hingga saat ini.

Namun, secara umum tidak ada perubahan substansi di dalam draf RKUHP yang sudah disetujui pada tahun 2019.

Dan, gelombang penolakan kembali terjadi. Karena, secara substansi masih banyak pasal-pasal yang dinilai bisa mengebiri demokrasi dan mengancam kebebasan berekspresi.

Salah satunya pasal yang mengatur soal pasal penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden. Juga pasal penghinaan terhadap pemerintah dan kekuasaan umum atau lembaga negara.

Pasal-pasal ini dinilai rentan digunakan untuk menyerang pihak-pihak yang berseberangan dengan kekuasaaan.

Pasal-pasal ini juga dianggap dapat membuat kebebasan berpendapat menjadi mampat. Selain pasal-pasal tersebut, masih ada belasan pasal yang dinilai perlu dikoreksi dan diperbaiki agar sesuai dengan iklim demokrasi dan memberi ruang pada kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Tertutup

Selain masih adanya sejumlah pasal bermasalah yang tak diubah, proses pembahasan RKUHP juga terkesan diam-diam.

Publik diabaikan dan tak dilibatkan. Tak hanya itu, masyarakat juga sulit untuk bisa mengakses dan mendapatkan draf revisi regulasi yang bakal segera disahkan ini.

Pemerintah memang sudah melakukan sosialiasi terkait draft RKUHP ini. Sayangnya draft itu hanya bisa diakses oleh peserta sosialiasi.

Padahal, draf ini seharusnya dapat diakses melalui Kemenkumham maupun Badan Pembinaan Hukum Nasional. Baik berupa offline maupun online lewat website yang bisa diakses masyarakat.

Berbagai kondisi ini memunculkan berbagai spekulasi. Juga curiga dan syak wasangka. Karena, sebelumnya sejumlah UU yang dinilai bermasalah juga menggunakan pola seperti ini. Sebut saja UU Minerba, UU KPK, UU IKN dan UU Cipta Kerja.

Proses pembahasan sejumlah UU ini dilakukan diam-diam, tidak transparan dan langsung diputuskan meski masih banyak penolakan.

Kita semua sepakat, KUHP warisan Belanda memang harus dikoreksi dan diperbaiki. Itu dilakukan agar regulasi yang mengatur soal tindak pidana ini bisa sesuai dengan kondisi saat ini.

Juga agar sebagai bangsa kita memiliki kitab undang-undang hukum pidana ‘karya’ sendiri. Namun, hendaknya masyarakat jangan diabaikan dan ditinggalkan.

Karena, keterlibatan masyarakat untuk memberikan saran atau masukan dalam proses penyusunan undang-undang adalah sebuah keniscayaan karena sudah diatur dan dijamin undang-undang.

Kenapa pemerintah dan DPR terkesan diam-diam dan mengabaikan berbagai kritik dan masukan?

Lalu, apakah pemerintah dan DPR akan tetap mengesahakan RKUHP meski masih banyak penolakan?

Saksikan pembahasannya dalam talkshow Satu Meja The Forum, Rabu (13/7/2022), yang disiarkan langsung di Kompas TV mulai pukul 20.30 WIB.

https://nasional.kompas.com/read/2022/07/13/11275531/rkuhp-alat-jerat-rakyat

Terkini Lainnya

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Nasional
Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Nasional
Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Nasional
Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Nasional
Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Nasional
Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Nasional
Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Nasional
KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke