Salin Artikel

Problematika Penegakan Sanksi Etik bagi Pimpinan KPK

Orang pertama, Ketua KPK Firli Bahuri. Dia dinyatakan bersalah dalam kasus penggunaan helikopter mewah untuk perjalanan dari Palembang ke Baturaja Sumatera Selatan.

Firli terbukti melanggar Pasal 4 ayat 1 huruf n dan Pasal 8 ayat 1 huruf f Peraturan Dewan Pengawas Nomor 02 tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK. Sanksi Dewas KPK adalah kategori ringan berupa teguran tertulis dua.

Orang kedua, Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar dalam kasus berhubungan dengan pihak berperkara, yaitu Wali Kota nonaktif Tanjungbalai M Syahrial. Lili terbukti melanggar Pasal 4 ayat (2) huruf a Perdewas 02/2020.

Dia dijatuhi sanksi kategori berat berupa pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama 12 bulan.

Pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku bagi insan KPK bukan masalah biasa-biasa saja. Kode etik dan pedoman perilaku merupakan standar sikap dan gaya hidup sebagai penegak hukum.

Melanggar kode etik dan pedoman perilaku sama halnya mendegradasi kualitas diri sendiri. Pimpinan KPK ibaratnya simbol dan representasi sosok dan kelembagaan yang dianggap berintegritas tinggi.

Tiap saat mereka wajib mempraktikan, mempromosikan dan mendorong diterapkan sikap dan perilaku yang bersih dan bebas dari KKN bagi siapapun terutama di sektor publik.

Ironisnya, tindakan mereka malah tindakan yang “koruptif” dan koersif terhadap nilai-nilai antikorupsi.

Atas pelanggaran itu, seharusnya Dewas KPK menjatuhkan sanksi yang berat. Faktanya, dua kasus di atas tidak menunjukan hal itu.

Bahkan, rasanya tidak berpengaruh apapun terhadap perbaikan perilaku baik Firli maupun Lili.

Dalam putusan Dewas KPK yang dibacakan pada September 2020 lalu, disebutkan Firli tidak menyadari perbuatan yang dilakukannya melanggar kode etik.

Selama 6 bulan sejak putusan, Firli dilarang mengulangi perbuatannya. Jika mengulangi, akan langsung mendapatkan sanksi yang lebih berat berupa sanksi kategori sedang.

Apa yang terjadi kemudian cukup mencengangkan. Muncul keresahan publik yang menerima pesan SMS blast hanya mengatasnamakan dirinya.

Dia juga tampil sendiri dalam berbagai baliho dan billboard, bahkan bertuliskan Firli Bahuri untuk Indonesia.

Banyak pihak mengkritik karena dianggap merupakan pencitraan dan kampanye politik terselubung.

Tentu saja, Firli menyangkal dan menyatakan tidak tahu menahu soal itu. Meskipun belakangan ia malah menggunakan “Salam FBI, Firli Bahuri untuk Indonesia” menjawab spanduk Pilpres-nya.

Kurang lebih setahun berlalu dari berakhirnya masa larangan mengulangi pelanggaran, Firli membuat kontroversi yang luar biasa dengan memberikan penghargaan kepada istrinya, Ardina Safitri, yang menciptakan himne dan mars KPK.

Tindakan itu melanggar beberapa peraturan, antara lain: (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Ambil contoh, Pasal 42 ayat (1) menyebutkan bahwa Pejabat Pemerintahan yang berpotensi memiliki Konflik Kepentingan dilarang menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan.

Pasal 45 huruf b menyebutkan Konflik Kepentingan terjadi apabila dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan dilatarbelakangi hubungan dengan kerabat dan keluarga; (2) Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Benturan Kepentingan di Komisi Pemberantasan Korupsi.

Pasal 5 ayat (1) Perkom melarang setiap insan KPK menerbitkan kebijakan, keputusan, dan/atau melakukan tindakan yang dilatarbelakangi adanya benturan kepentingan.

Pasal 5 ayat (2) huruf d menjelaskan bahwa larangan dalam ayat (1) terjadi dalam hal insan KPK: memiliki hubungan sedarah dan/atau semenda sampai dengan derajat ketiga dengan pihak yang berkaitan atau terkena dampak kebijakan, keputusan/tindakan yang diterbitkan atau dilakukan dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya.

Sudah sangat jelas bahwa pemberian penghargaan Firli kepada istrinya merupakan nyata konflik kepentingan yang sangat nyata (factual conflict of interest).

Dalam kasus Lili, Dewas KPK menyatakan bahwa hal yang memberatkan dia karena tidak menunjukkan penyesalan atas perbuatannya.

Hal yang meringankannya, dia dinilai mengakui perbuatannya dan belum pernah dijatuhi sanksi etik.

Mengeryitkan! Sekelas Pimpinan KPK melakukan pelanggaran tanpa rasa sesal. Lili juga mengulangi perbuatannya.

Pelanggaran terbaru terkait dugaan menerima fasilitas akomodasi hotel hingga tiket menonton ajang balap MotoGP Mandalika 18-20 Maret 2022 dari Pertamina.

Kesamaan Firli dan Lili dalam putusan Dewas di mana disebutkan keduanya tidak memahami perbuatan mereka merupakan pelanggaran atas kode etik dan pedoman perilaku insan KPK. Hal ini patut menjadi keprihatinan.

Itu menunjukan rendahnya integritas dan minimnya pengetahuan atas kaidah atau peraturan kode etik dan pedoman perilaku.

Akan tetapi, apakah mungkin mereka tidak tahu sama sekali tentang ada ketentuan yang melarang perbuatan mereka?

Firli sudah puluhan tahun menjadi aparat penegak hukum dengan berstatus perwira tinggi termasuk di KPK.

Lili malang melintang di dunia praktik hukum, terakhir Wakil Ketua LPSK. Sulit untuk menalar ketidaktahuan mereka soal adanya aturan ini. Sebab, praksis saat ini larangan itu bahkan ada di berbagai profesi dan lembaga.

Penulis meyakini mereka bukan sama sekali tidak tahu, tetapi bagi mereka “mungkin” kode etik dan pedoman perilaku hanya rambu-rambu yang tidak mengikat dan memaksa. Sehingga, ketidaktahuan hanya alasan yang dibuat-buat.

Perubahan

Menurut Penulis, salah satu sumber masalah penegakan kode etik dan pedoman perilaku yang lemah di KPK dari Perdewas 02/2020.

Pasal 9 Perdewas menyatakan jenis pelanggaran terdiri atas: (a) pelanggaran ringan; (b) pelanggaran sedang; (c) pelanggaran berat.

Pelanggaran ringan adalah pelanggaran yang dampak atau kerugian terhadap Kedeputian dan/atau Sekretariat Jenderal.

Pelanggaran sedang adalah pelanggaran yang dampak atau kerugian terhadap Komisi. Pelanggaran berat adalah pelanggaran yang dampak atau kerugian terhadap negara.

Dalam pasal 10, jenis sanksi terdiri atas: a. Sanksi Ringan (teguran lisan dengan masa berlaku hukuman 1 bulan, teguran tertulis I berlaku 3 bulan, teguran tertulis II berlaku 6 bulan); b. Sanksi Sedang (pemotongan gaji gaji pokok sebesar 10% selama 6 bulan, pemotongan gaji pokok sebesar 15% selama 6 bulan, dan pemotongan gaji pokok sebesar 20% selama 6 bulan; dan c.

Sanksi Berat bagi Pimpinan (a. pemotongan gaji pokok sebesar 40% selama 12 bulan; b. diminta untuk mengajukan pengunduran diri sebagai Dewan Pengawas dan Pimpinan).

Rumusan norma terkait klasifikasi pelanggaran dan jenis sanksi dalam beleid di atas tidak akan mungkin memberikan efek jera kepada pelanggaran Pimpinan KPK.

Terbukti ketika Lili dijatuhi hukuman pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama 12 bulan, jumlah kekayaannya tetap terus bertambah.

Berbeda dengan Pasal 10 ayat (5) huruf c, pegawai yang melakukan sanksi berat diberhentikan dengan tidak hormat.

Lebih luas jika membandingkan dengan pengaturan pada lembaga lain, pelanggaran etik dan pedoman perilaku bisa menyebabkan pemberhentian tidak hormat. Ketentuan ini luput pengaturannya di Perdewas KPK.

Implikasinya, betapapun pelanggaran serius yang dilakukan Pimpinan KPK sulit untuk menghukum dengan sanksi yang berat seperti pemberhentian tidak dengan hormat kelak.

Ketentuan "diminta mengundurkan diri" itu lemah. Karena pada dasarnya, penegakannya kembali pada kesadaran diri yang bersangkutan. Sifat normanya tidak memaksa.

Hal ini berpotensi menjadi masalah suatu saat. Bagaimana jika Pimpinan KPK yang dijatuhi vonis tidak ingin mengundurkan diri? Sementara, mekanisme tertulis untuk menindaklanjuti sanksi tidak diatur.

Problematika ini dapat diperbaiki. Dewas KPK perlu melakukan revisi Perdewas 02/2020 untuk memperkuat penegakan kode etik dan pedoman perilaku di KPK.

Adapun catatan Penulis, yakni: Pertama, perbaikan kategori pelanggaran dan sanksinya. Yang perlu diubah sanksi terberat bagi Pimpinan yang melanggar adalah diberhentikan tidak dengan hormat.

Betapa anehnya, ketentuan yang terberat justru terhadap pegawai, sedangkan Pimpinan tidak.

Termasuk seharusnya ada pemberatan bagi Pimpinan KPK yang terbukti mengulangi pelanggaran.

Kedua, mengadopsi dan menyelaraskan makna Pasal 29 dan Pasal 32 30/2002 jo UU 19/2019. Kedua pasal ini mengatur syarat menjadi Pimpinan KPK dan syarat berhenti atau diberhentikan.

Sehingga, ambil contoh, pembohongan publik yang dilakukan Lili dalam konferensi pers pada April 2021 bisa dijatuhi sanksi oleh Dewas. Karena sudah tidak jujur, tidak berintegritas, dan melakukan perbuatan tercela.

Ketiga, penambahan jenis sanksi terberat adalah diberhentikan dengan tidak hormat. Titik komprominya bisa dengan mengatur mekanisme rekomendasi dari Dewas KPK kepada Presiden untuk pemberhentian itu.

https://nasional.kompas.com/read/2022/06/06/06300001/problematika-penegakan-sanksi-etik-bagi-pimpinan-kpk

Terkini Lainnya

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Nasional
Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Nasional
Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Nasional
Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Nasional
Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Nasional
Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Nasional
KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

Nasional
TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

Nasional
Sejarah BIN yang Hari Ini Genap Berusia 78 Tahun

Sejarah BIN yang Hari Ini Genap Berusia 78 Tahun

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke