Salin Artikel

Ahmad Syafii Maarif dan Pesan Tantangan untuk Indonesia: Sebuah Obituari

SEDERHANA, lugas, teladan. Tiga kata untuk menggambarkan sosok Ahmad Syafii Maarif. Itu pun terasa terlalu menyederhanakan juga.

Buya, panggilannya, meninggal pada Jumat (27/5/2022) sekitar pukul 10.15 WIB. Ia berpulang pada hari baik. 

Menjadi Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah periode 1998-2005 barulah satu jejak Syafii Maarif. Tulisan-tulisannya di rubrik opini harian Kompas sedikit banyak lebih jauh menggambarkan sosok, pemikiran, dan kepeduliannya. 

Sosok Ahmad Syafii Maarif hadir bak oase kebijaksanaan di tengah hiruk-pikuk pragmatisme politik dan kehidupan sosial. Pesan-pesannya dalam tulisan di rubrik opini ini hadir menjadi penyegar sekaligus pengingat, bahkan penantang, bagi generasi kita dan mendatang. 

Dalam rombongan tulisan-tulisan awalnya di rubrik opini harian Kompas, Buya misalnya menulis tentang penting dan perlunya membumikan ketulusan.

Tayang di harian Kompas edisi 25 April 2000, topik tersebut beliau dekati dari perspektif agama, salah satu identitas yang harus diakui adalah yang terkuat di Indonesia.

Meski saat itu ia menjadi pemimpin salah satu organisasi besar keagamaan, tulisan ini tak semata bicara soal dan dari sudut pandang agamanya sendiri. Justru, fokus besarnya adalah Indonesia sebagai bangsa dan negara, dengan semua agama dan keyakinan yang ada.

"Mengapa agama-agama perlu membicarakan ketulusan? Apakah ketulusan itu? Dapatkah hubungan antarpemeluk agama berlangsung dengan baik dan aman tanpa ketulusan? Ini adalah pertanyaan kunci," tulis Syafii Maarif sebagai pembuka tulisan tersebut.

Dalam penyampaian yang tak pernah meledak-ledak, diutarakan dengan santun, runtut, dan tetap padat muatan, pesan-pesan Syafii Maarif mengalir dan mengalun di ruang publik dengan lugas. 

Inilah mengapa, sosok Syafii Maarif yang lekat dengan Islam dan Muhammadiyah bisa masuk ke umat lintas agama, jangankan ke kalangan Nahdlatul Ulama (NU) yang dalam perbincangan tentang Islam di Indonesia sering diperhadap-hadapkan dengan organisasinya dalam laku dan ritual keagamaan keseharian.

Tantangan guru bangsa

Dalam banyak ungkapan duka dan kesaksian atas sosok Syafii Maarif, tak dimungkiri penyebutan harfiah dan searti yang bertebaran tentang almarhum adalah guru bangsa.

Namun, Fitriyan Zamzami, seorang jurnalis di media nasional, dalam unggahannya di media sosial mengaku jengkel dengan itu. Bukan jengkel ke Buya, melainkan ke para penyebut sematan guru bangsa itu.

Adalah percuma, kira-kira begini pembacaan kejengkelannya, menyebut Syafii Maarif sebagai guru bangsa tanpa si penyebut menjalankan apa yang diajarkan sang guru.

Menurut Fitriyan, fenomena ini pun terjadi pada penyebutan serupa bagi banyak sosok besar bangsa yang berpulang atau tiap kali ada momentum untuk mengingat dan mengenang para mendiang.

"Jika mereka-mereka ini (yang telah berpulang) guru bangsa, dia-dia orang (yang memberikan sematan) agaknya terlalu sering bolos sekolah," kecam Fitriyan, Sabtu (28/5/2022) dini hari.

Dalam obrolan Kompas.com dan Fitriyan untuk mengonfirmasi unggahannya, kejengkelan tersebut terasa menjadi semakin relevan ketika kita mau makin banyak membaca ulang tulisan-tulisan Syafii Maarif.

Soal ini, rubrik opini harian Kompas kembali menjadi prasasti tentang tantangan Syafii Maarif sebagai guru bangsa yang rasanya tak juga kita jalankan sebagai sebuah bangsa.

Setahun terakhir ini saja, tulisan-tulisan Syafii Maarif di halaman 6 harian Kompas semakin dan makin tajam dan dalam. 

Misal, Syafii Maarif menantang nyali kita semua untuk merekonstruksi peristiwa kelam bangsa dengan momentum puncak tragedi pada 30 September 1965.

Tantangan ini kasat mata dan telanjang disampaikannya lewat tulisan berjudul Kesaktian Pancasila dan Kecelakaan Sejarah, yang tayang di harian Kompas edisi 1 Oktober 2021.

"Saya cenderung menyetujui teori sejarawan pemikir Italia, Benedetto Croce (1886-1952), yang mengatakan, sejarah ditulis untuk orang hidup, bukan untuk orang yang sudah mati," tulis beliau mengawali tulisan tersebut.

Sangat mungkin bagi beliau, kutipan itu dirasa perlu menjadi kalimat pembuka justru karena kuat dan dalamnya kesadaran dan pemahaman bahwa bisa jadi keputusan-keputusan dan peristiwa-peristiwa yang berentet terjadi terkait tragedi itu diambil, muncul, dan terjadi dalam situasi yang sulit sekaligus rumit.

Pada hari ini, orang-orang yang terlibat dan terkait langsung dengan peristiwa tersebut sudah berpulang. Bagi Syafii Maarif, sekarang adalah waktu bagi kita sebagai bangsa menguak misteri peristiwa 1965.

Pengungkapan ini bukan untuk jadi kajian apalagi pembenaran atau sebaliknya penyangkalan, melainkan justru sebagai bekal bagi kita sebagai sebuah bangsa dan negara.

"Mengapa kita belum juga bersedia untuk membongkar peristiwa berdarah itu dengan kepala dingin? Bukan untuk memperparah luka lama, melainkan untuk berdamai dengan masa lampau, sekalipun getir, demi rekonsiliasi nasional yang mantap," tulis beliau.

Syafii Maarif tidak naif untuk menyebut pekerjaan ini mudah. Namun, ini hal yang penting dan perlu sehingga layak menjadi keharusan untuk dilakukan, demi sesuatu yang semestinya adalah penting juga bila kita masih bersepakat menjadi Indonesia.

"Pekerjaan ini jelas tidak mudah. Rintangan politik dan psikologis masih belum hilang, tetapi pasti bisa dilakukan. Bangsa ini tidak boleh dibiarkan terlalu lama berada dalam kebingungan. Semakin jauh jarak kita dari kejadian itu, semakin menjadi kabur pula lensa sejarah yang terlihat," ungkap Syafii Maarif di tulisan tersebut.

Kita—apa pun alasannya—boleh saja jengah dengan pemosisian Pancasila dalam beberapa tulisan Syafii Maarif sebagai titik fokus. Bersabarlah, baca dulu secara keseluruhan, jangan sontak terpaku pada satu kata dan asumsi kita sendiri.

Tulisan Lumpuhnya Pancasila, misalnya, sedikit banyak menjawab seberapa dalam pemikiran dan kepedulian Syafii Maarif pada bangunan besar bernama Indonesia ini, sekalipun—sekali lagi—seolah berpusar pada jargon ketika semata dilihat sekilas dari judulnya.

Yang terjadi, tulisan ini terasa menelanjangi bahkan diri kita sendiri ketika runtut dan pelan-pelan dibaca utuh.

Tanpa menyebutkan nama yang dimaksud sebagai figur contoh kasus, Syafii Maarif memotret betapa negara dan pemerintah yang mewakili bangsa sebagai pemberi mandat kerap berlaku hipokrit. Penelusuran Kompas.com mendapati figur ini adalah Sjahrir. 

Dalam kasus Sjahrir, sosok ini diakui punya peran dan kontribusi penting dalam perjalanan Republik dalam satu masa. Namun, sosok yang sama kemudian juga dicatat sejarah menjadi salah satu tahanan politik pada periode Demokrasi Terpimpin.

Sjahrir diketahui meningga dalam status itu di luar negeri saat berobat. Menjadi terasa hipokrit dan janggal sekaligus membingungkan adalah ketika kemudian orang yang sama juga ditetapkan menjadi pahlawan nasional melalui keputusan presiden tertanggal persis hari kematiannya.

Membaca naskah-naskah Ahmad Syafii Maarif di rubrik opini harian Kompas pada akhirnya akan bisa mendapati benang merah pesan-pesan yang jauh melampaui topik dan momentum yang dipakai sebagai pemantik.

Karenanya, teguran-teguran keras walau dalam kata-kata santun dan tertata dari Buya sepatutnya tak berhenti disikapi dalam rupa ungkapan-ungkapan duka dan penyematan label guru bangsa di hari-hari pertama dan momentum peringatan-peringatan kepergian almarhum kelak.

Sebagaimana tulisan beliau yang tayang di harian Kompas pada 10 November 2021, Mentereng di Luar, Remuk di Dalam, janganlah kita menjadi negara dan bangsa yang rancak di labuah.

Ungkapan dari ranah Minang ini kurang lebih berarti penampakan yang elok di luar tetapi sejatinya kondisi sesungguhnya tidaklah demikian, bahkan bisa jadi tak berpunya atau berantakan. 

Pesan yang kemudian ditekankan dan ditegaskan Syafii Maarif dalam tulisan itu adalah wasiat bagi negara dan bangsa ini untuk terus dan terus membenahi dapur kita, urusan di dalam negeri dari Sabang sampai Merauke.

Jangan lagi dan lagi sengaja melakukan pembiaran untuk ruang hadir luka baru ketika sederet luka lama pun harus diakui tak kunjung mendapat kesempatan sembuh.

Pujian dan pengakuan internasional sekalipun akan kehilangan makna ketika anak bangsa tak mendapatkan apa yang menjadi haknya sembari menjalani kewajibannya, saat negara lewat pemerintah beserta jajaran aparat dan perangkatnya tidak sungguh-sungguh menjalankan mandat dan kewajibannya juga.

Dalam tulisan Republik Sapi Perah di harian Kompas edisi 27 Februari 2021, Buya pun mengingatkan bahwa tanpa pembenahan yang mencerabut akar persoalan, Indonesia sebagai negara dan bangsa hanyalah sekumpulan pulau dan segerombolan manusia yang tergantung pada kebaikan alam sebagai penyelamat.

"... yang menyelamatkan Indonesia dari kehancuran total adalah karena alam kita yang dermawan. Lokasinya, alhamdulillah, tidak di selatan Sahara Afrika. Diperas dan diperah, bumi Nusantara ini masih saja sabar. Tetapi akan tahan sampai berapa lama?" tulis dia.

Bila kita sepakat menempatkan Ahmad Syafii Maarif sebagai suluh bangsa, mengakui bahwa ada ruang-ruang gelap yang harus kita benahi lalu bersama-sama menjadikannya terang adalah sebuah langkah mula. 

Ndherekaken tindak, Buya Ahmad Syafii Maarif. Allahummaghfirlahu warhamhu wa afihi wa'fu'anhu. Aamiin...

Naskah: KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI

Catatan:

Seluruh naskah harian Kompas yang dikutip dalam tulisan ini dapat diakses publik melalui layanan Kompas Data. 

https://nasional.kompas.com/read/2022/05/28/12484821/ahmad-syafii-maarif-dan-pesan-tantangan-untuk-indonesia-sebuah-obituari

Terkini Lainnya

Soal 'Presidential Club' Prabowo, Bamsoet Sebut Dewan Pertimbangan Agung Bisa Dihidupkan Kembali

Soal "Presidential Club" Prabowo, Bamsoet Sebut Dewan Pertimbangan Agung Bisa Dihidupkan Kembali

Nasional
KPK Periksa Dirut Nonaktif PT Taspen Antonius Kosasih

KPK Periksa Dirut Nonaktif PT Taspen Antonius Kosasih

Nasional
KPU Ungkap 13 Panitia Pemilihan di Papua Tengah yang Tahan Rekapitulasi Suara Berujung Dipecat

KPU Ungkap 13 Panitia Pemilihan di Papua Tengah yang Tahan Rekapitulasi Suara Berujung Dipecat

Nasional
Ekonomi Tumbuh 5,11 Persen, Jokowi: Negara Lain Masuk Jurang, Kita Naik

Ekonomi Tumbuh 5,11 Persen, Jokowi: Negara Lain Masuk Jurang, Kita Naik

Nasional
Eks Anak Buah SYL Beri Tip untuk Paspampres, Gratifikasi Disebut Jadi Kebiasaan

Eks Anak Buah SYL Beri Tip untuk Paspampres, Gratifikasi Disebut Jadi Kebiasaan

Nasional
TPN Resmi Dibubarkan, Hasto Tegaskan Perjuangan Tetap Dilanjutkan

TPN Resmi Dibubarkan, Hasto Tegaskan Perjuangan Tetap Dilanjutkan

Nasional
Kelakar Jokowi soal Kemungkinan Pindah Parpol Usai Tak Dianggap PDI-P

Kelakar Jokowi soal Kemungkinan Pindah Parpol Usai Tak Dianggap PDI-P

Nasional
 Gerindra Sebut Indonesia Negara Besar, Wajar Kementerian Diperbanyak

Gerindra Sebut Indonesia Negara Besar, Wajar Kementerian Diperbanyak

Nasional
Satu Pejabat Pemprov Malut Jadi Tersangka Baru Kasus Gubernur Abdul Ghani Kasuba

Satu Pejabat Pemprov Malut Jadi Tersangka Baru Kasus Gubernur Abdul Ghani Kasuba

Nasional
RI Ajukan Penyesuaian Pembayaran Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae ke Korsel, Kemenhan Jelaskan Alasannya

RI Ajukan Penyesuaian Pembayaran Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae ke Korsel, Kemenhan Jelaskan Alasannya

Nasional
 Prabowo Disebut Ingin Tambah Jumlah Kementerian, Jokowi Klaim Tak Beri Masukan

Prabowo Disebut Ingin Tambah Jumlah Kementerian, Jokowi Klaim Tak Beri Masukan

Nasional
Menag Bertolak ke Arab Saudi Cek Persiapan Ibadah Haji untuk Jemaah Indonesia

Menag Bertolak ke Arab Saudi Cek Persiapan Ibadah Haji untuk Jemaah Indonesia

Nasional
Luhut Ingatkan Prabowo Jangan Bawa Orang 'Toxic', Jokowi: Benar Dong

Luhut Ingatkan Prabowo Jangan Bawa Orang "Toxic", Jokowi: Benar Dong

Nasional
Ganjar Harap Buruknya Pilpres 2024 Tak Dikloning ke Pilkada

Ganjar Harap Buruknya Pilpres 2024 Tak Dikloning ke Pilkada

Nasional
Bea Cukai Jadi Sorotan Publik, Pengamat Intelijen: Masyarakat Harus Beri Dukungan untuk Perbaikan

Bea Cukai Jadi Sorotan Publik, Pengamat Intelijen: Masyarakat Harus Beri Dukungan untuk Perbaikan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke