Salin Artikel

Inklusivitas bagi Pemilih Tunagrahita Jelang Pemilu 2024

Penyandang disabilitas mental (PDM) atau tunagrahita selama ini tergolong masyarakat disabilitas yang paling tersingkirkan. Upaya untuk memfasilitasi penyandang tunagrahita jelang Pemilu Serentak 2024 menjadi ukuran keseriusan negara untuk memfasilitasi seluruh warga negara, termasuk kelompok yang paling marjinal.

Belajar dari Pemilu 2019 dan Pilkada 2020

Pengurus Pusat Persatuan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PP-PDSKJI) dalam pernyataannya pada 7 April 2019 mengatakan, jumlah pemilih ODGJ (orang dengan gangguan jiwa) yang didaftar jauh lebih kecil dari prakiraan jumlah ODGJ di Indonesia. PP-PDSKJI memperkirakan, lebih dari 3.500 orang dengan disabilitas mental terdaftar dalam daftar pemilih tahun 2019. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan perkiraan jumlah ODGJ yang mencapai lebih dari 500 ribu orang sesuai Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018.

Menurut PP-PDSKJI, salah satu yang menyebabkan ketidaksesuaian data Riskesdas dan jumlah pemilih ODGJ adalah masih adanya stigma terkait gangguan jiwa.

Berdasarkan data Perhimpunan Jiwa Sehat dan Komisi Pemilihan Umum (KPU), pada Pilkada Serentak 2020 yang dilaksanakan di 270 daerah (provinsi, kabupaten, dan kota), sebaran panti-panti sosial ada di 63 daerah atau hanya 23 persen wilayah, yaitu 6 provinsi, 13 kota, dan 44 kabupaten yang memiliki panti, rumah sakit jiwa (RSJ), dan tempat rehabilitasi mental. Ada setidaknya 101 panti/RSJ/tempat rehabilitasi mental yang ada di 63 daerah yang mengadakan pilkada serentak. Sedangkan 207 daerah lainnya atau 77 persen tidak memiliki panti, RSJ dan tempat rehabilitasi mental.

Menurut Yeni Rosa Damayanti dari Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), ada sejumlah masalah terkait keberadaan fasilitas panti-panti sosial disabilitas psikososial di Indonesia, yakni kondisinya yang tertutup seperti penjara, penghuni terkurung di dalam dan tidak bisa keluar masuk fasilitas.

Damayanti menggunakan istilah disabilitas psikososial untuk tidak menyebut gangguan jiwa atau tunagrahita. Rata-rata penyandang disabilitas psikososial hidup dalam panti seperti ini selama bertahun-tahun.

Masalah lainnya terkait kondisi Covid-19. Pandemi menyebabkan sulitnya PJS untuk memantau pendaftaran, edukasi pemilih maupun pelaksanaan pemilu/pilkada bagi pemilih disabilitas mental, terutama yang berada di panti-panti sosial.

Dikatakan Yeni Rosa Damayanti, KPU dan KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) serta Bawaslu (Badan Pengawas Pemiu), harus menjadi ujung tombak pelaksanaan pemilu yang inklusif.

Sedangkan potensi masalah saat pendaftaran pemilih yaitu KPUD masih memiliki stigma terhadap penyandang disabilitas psikososial (PDP) sehinga tidak yakin PDP berhak memilih dan enggan melakukan pendaftaran karena itu dibutuhkan surat edaran KPU terkait hal ini.

Persoalan lainnya yaitu adanya kepala panti menolak memberikan izin pendaftaran. Terkait hal ini, dibutuhkan ketegasan penegakan hukum bagi pihak-pihak yang menghalang-halangi warga negara untuk memilih.

Persolan lain, saat hendak didata, penghuni panti tidak memiliki identitas kependudukan. Karena itu, KPUD mesti bekerja sama erat dengan Disdukcapil untuk memfasilitasi PDP memiliki identitas kependudukan.

Menghilangkan diskriminasi regulasi

Sebelum tahun 2016, pemilih tunagrahita tidak diperbolehkan memilih atau didaftar untuk memilih dalam pemilu. Pasal 57 ayat (3) huruf a UU Nomor  8 Tahun 2015 menyatakan, “Pemilih yang terdaftar adalah yang tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya”.

Peraturan diskriminatif itu kemudian diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk dilakukan uji materi. Adanya ketentuan dalam undang-undang pilkada itu jelas-jelas telah membuat perlakuan yang berbeda kepada setiap warga negara yang seharusnya mendapatkan perlakuan yang sama, khususnya untuk menjadi pemilih dalam pemilu.

Hal itu merupakan bentuk diskriminasi karena memperkuat stigma di masyarakat bahwa penderita gangguan jiwa tidak dapat disembuhkan dan tidak memiliki akal sehat. Adanya stigma seperti ini justru akan merugikan penyandang disabilitas mental karena berpotensi membuat mereka dijauhkan dari kehidupan sosial.

Terhadap ketentuan undang-undang yang diskriminatif tersebut, beberapa organisasi mengajukan judicial review ke MK. Untuk meyakinkan MK mereka mengajukan beberapa ahli guna menjelaskan bahwa stigma yang menyatakan bahwa orang dengan disabilitas mental tidak dapat memberikan pilihannya dalam pemilu adalah keliru.

Ahli dalam permohonan tersebut menyebutkan bahwa gangguan jiwa bersifat temporer. Jika orang tersebut mengonsumsi obat dan melakukan terapi maka hal tersebut dapat diatasi.

Permohonan uji materi itu diajukan pada 20 Oktober 2015 dengan pemohon adalah Perhimpunan Jiwa Sehat, Perludem, dan PPUA. Atas upaya judicial review tersebut, pada tanggal 27 September 2016, MK mengeluarkan Putusan Nomor 135/PUU-XIII/2015.

Dalam putusannya, Majelis Hakim MK menyebutkan Pasal 57 ayat (3) huruf a UU No. 8 Tahun 2015 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “terganggu jiwa/ingatannya” tidak dimaknai sebagai “mengalami gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan permanen yang menurut profesional bidang kesehatan jiwa telah menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih dalam pemilihan umum”.

Surat dari profesional bidang kesehatan jiwa harus menjadi dasar untuk mengecualikan pendataan pemilih. Penyandang disabilitas mental atau tunagrahita yang diberi surat dari profesional dikecualikan untuk didata sebagai pemilih lantaran dia dinyatakan tak mampu menggunakan hak pilih.

Terhadap judicial review tersebut, MK berpendapat bahwa pendaftaran calon pemilih dan hak pilih adalah dua hal yang berbeda. Pendaftaran pemilih adalah proses yang dilakukan untuk mendapatkan data mengenai warga negara untuk mendapatkan hak pilih dan untuk memastikan bahwa warga negara yang memiliki hak pilih telah dapat mempergunakan haknya pada saat pemilihan umum.

Untuk itu MK berpendapat bahwa syarat berupa terdaftar sebagai pemilih bukanlah satu-satunya syarat untuk dapat mengikuti pemilu. Syarat terdaftar dalam daftar pemilih adalah syarat alternatif atau pilihan. Jika warga negara sudah memiliki hak pilih tetapi tidak terdaftar dalam daftar pemilih, yang bersangkutan tetap dapat menggunakan hak pilihnya selama dapat menunjukkan KTP elektroniknya.

MK berpendapat bahwa: (1) hak untuk memilih dan hak untuk dipilih didaftar sebagai pemilih dalam pemilihan umum adalah hak semua warga negara Indonesia yang memenuhi syarat; (2) kegiatan pendaftaran pemilih adalah wilayah administratif yang tidak langsung berkorelasi dengan terpenuhinya hak pilih; (3) gangguan jiwa dan gangguan ingatan adalah dua kondisi yang berbeda meskipun keduanya secara kategoris beririsan; (4) tidak semua orang yang sedang mengalami gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan akan kehilangan kemampuan untuk menjadi pemilih dalam pemilihan umum; dan (5) ketiadaan pedoman/kriteria dan ketiadaan lembaga/profesi yang tepat untuk melakukan analisis kejiwaan terhadap calon pemilih, mengakibatkan ketentuan dalam Pasal 57 UU No 8 8/2015 sebagaimana diubah dalam UU No 10/2016 menimbulkan pelanggaran konstitusional.

Dari pendapat tersebut, MK memutuskan bahwa frasa “terganggu jiwa/ingatannya” harus dimaknai sebagai “mengalami gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan permanen yang menurut profesional bidang kesehatan jiwa telah menghilangkan kemampuan sesorang untuk memilih dalam pemilihan umum”.

Dengan putusan ini maka hak pilih penyandang disabalitas mental dipulihkan kembali. Konsekuensinya undang-undang dan peraturan KPU harus mengatur agar penyandang disabilitas mental namanya bisa masuk dalam DPT agar mereka bisa menggunakan hak pilihnya.

Namun, Pasal 4 ayat (2) huruf b Peraturan KPU No. 11/2018 masih mengatur bahwa salah satu syarat pemilih adalah sedang tidak terganggu jiwa dan/ingatannya. Padahal, syarat semacam sudah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK. MK menyatakan, jika terhadap penyandang disabilitas mental tidak ada surat keterangan dari ahli kejiwaan setelah sebelumnya dilakukan pemeriksaan secara personal, bahwa seorang penyandang disabilitas mental telah kehilangan kemampuan memilih di dalam pemilu, penyandang disabilitas mental tersebut mesti didaftar sebagai pemilih, sepanjang yang bersangkutan sudah memenuhi syarat sebagai pemilih (sudah 17 tahun atau sudah/pernah kawin).

Selain sudah ada putusan MK, dalam UU No. 7/2017 juga tidak ada ketentuan tentang syarat bagi warga negara yang hendak didaftar sebagai pemilih tidak sedang terganggu jiwa dan/atau ingatannya. Selain bertentantangan dengan Putusan MK dan undang-undang pemilu, syarat ini akan menjadikan proses pendaftaran pemilih menjadi diskriminatif.

Upaya untuk menghilangkan ketentuan tidak sedang terganggu jiwa dan/atau ingatan, diupayakan untuk menghadirkan ruang dan kesempatan bagi warga negara yang tidak masuk ke dalam DPT, untuk bisa masuk ke dalam daftar pemilih setelah perbaikan.

Upaya mendorong KPU untuk melakukan perubahan kebijakan yang sangat fundamental untuk melindungi hak pilih warga negara di Pemilu 2019 dan Keterwakilan perempuan di lembaga penyelenggara pemilu sudah berhasil dilakukan. Dua isu penting yang diubah adalah dihapuskannya syarat sedang tidak terganggu jiwa dan/atau ingatannya untuk bisa didaftar sebagai pemilih, dan adanya ruang DPT perbaikan pasca penetapan DPT 15 Desember 2018 oleh KPU.

Upaya advokasi itu juga berhasil meyakinkan KPU untuk mengakomodir pemilih yang belum memiliki KTP-el, serta pemilih yang memang belum masuk ke DPT tetapi sudah memenuhi syarat sebagai pemilih (sudah 17 tahun atau sudah/pernah menikah) melalui penerbitan Peraturan KPU No 37/2018 yang mengubah Peraturan KPU No 11/2018 tentang Penyusunan Daftar Pemilih di Dalam Negeri di Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum.

Perubahan ketentuan dalam peraturan KPU tersebut tampak pada Pasal 35A ayat (4) Peraturan KPU No 37/2018, yang mengatur “Perbaikan DPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan cara: (a) mencoret pemilih yang tidak memenuhi syarat sebagai pemilih; (b) melengkapi atau memperbaiki elemen daftar pemilih; dan/atau (c) menambah pemilih baru.

Namun dalam jangka panjang, tentu saja kekeliruan serupa tidak boleh terjadi lagi di dalam tahapan pelaksanaan pemilu. Jelang Pemilu 2024, mesti ada evaluasi menyeluruh terhadap peraturan tentang pendaftaran pemilih, peraturan dan pelaksanaan sistem administrasi kependudukan, dan putusan-putusan pengadilan yang telah memberikan jaminan dan batasan terhadap hak pilih warga negara, terutama hak untuk memilih bagi pemilih tunagrahita.

https://nasional.kompas.com/read/2022/05/09/18000091/inklusivitas-bagi-pemilih-tunagrahita-jelang-pemilu-2024

Terkini Lainnya

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Nasional
Soal 'Presidential Club', Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Soal "Presidential Club", Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Nasional
Tanggapi Isu 'Presidential Club', PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Tanggapi Isu "Presidential Club", PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Nasional
Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Nasional
Golkar: 'Presidential Club' Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Golkar: "Presidential Club" Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke