Salin Artikel

Luka di Kedung Ombo dan Tiada Maaf bagi Soeharto...

JAKARTA, KOMPAS.com - Persoalan yang terjadi di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, soal penolakan warga atas penambangan batu andesit untuk Bendungan Bener membangkitkan ingatan akan kejadian yang serupa dalam proyek Waduk Kedung Ombo di masa Orde Baru.

Kenangan buruk itu masih melekat ketika Presiden Kedua Republik Indonesia H. Muhammad Soeharto tutup usia pada 27 Januari 2008 silam.

Di mata sebagian besar penduduk Indonesia, kiprah mendiang Soeharto sebagai presiden sangat melukai perasaan mereka.

Maka dari itu, meski menghormati meninggalnya mantan Presiden Soeharto, sejumlah warga Desa Kemusu, Kecamatan Kemusu, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, belum memaafkannya. Warga masih teringat penggusuran dan ganti rugi lahan yang tak sesuai dengan kerugian yang mereka derita.

"Namun, kami belum dapat memaafkan Pak Harto. Pembangunan Waduk Kedung Ombo di zaman pemerintahannya membuat kami kehilangan tanah dan harga diri," kata Tokoh masyarakat Desa Kemusu, Hasim (73).

Warga Kemusu masih teringat pada perlakuan aparat keamanan yang berkeliling ke rumah warga dan memaksa mereka untuk pindah.

Waduk Kedung Ombo digunakan untuk pembangkit tenaga listrik dan mengairi sekitar 70 hektar sawah. Waduk itu dialiri pada 14 Januari 1989 dan menenggelamkan 37 desa di tujuh kecamatan pada tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Grobogan, Sragen, dan Boyolali. Sebanyak 5.268 keluarga yang kehilangan rumah dan tanah terpaksa bertransmigrasi atau direlokasi ke daerah yang lebih tinggi.

Warga Kemusu yang masih bertahan di daerah genangan atau sabuk hijau Waduk Kedung Ombo berjumlah sekitar 79 keluarga.

Sebagian waduk yang mendangkal kini berubah menjadi lahan yang ditanami pohon jati, pisang, jagung, dan padi. Di tempat itu, bekas permukiman warga dulu masih terlihat, seperti sumur, fondasi, dan tembok rumah yang tidak utuh lagi.


Jangan membangkang

Dalam pidato peresmian Waduk Kedung Ombo pada 18 Mei 1991, Presiden Soeharto mengingatkan supaya penduduk yang belum mau pindah supaya tidak menjadi penghalang atau menjadi kelompok yang membangkang.

"Saya yakin mereka itu dengan sendirinya akan bisa melaksanakan. Karena kalau mempertahankan, akan sengsara terus. Hari depannya tak ada. Mempertahankan berarti memperpanjang kesengsaraan, karena tidak ada prospek untuk memperbaiki hidup di kemudian hari, baik untuk dirinya maupun untuk anak cucunya," kata Soeharto.

Soeharto saat itu mengakui ada sebagian masyarakat yang tidak rela menerima ganti rugi yang sudah ditetapkan. Dalam kaitan ini Kepala Negara menegaskan bahwa tuntutan mereka itu "Sama sekali tidak mungkin dapat dikabulkan".

Menurut Presiden Soeharto jika tuntutan itu dikabulkan, maka penduduk yang sudah menerima ganti rugi juga menuntut agar ganti rugi ditambah. Pemerintah menurut dia tidak punya dana lagi.

"Kalau kita paksakan untuk membayar tentunya juga uang rakyat. Ini sama saja akan memperkecil kemampuan dalam pelaksanaan pembangunan," ujar Soeharto.

"Karena itu, walaupun dengan gigihnya mereka yang belum mau dan minta ganti rugi tambahan, terang itu tidak mungkin," tambah Soeharto.

Soeharto menilai, jika masih ada rakyat yang belum mau pindah dan terus menerus mempertahankan pendirian, hal itu hanya akan memperpanjang kesengsaraan. Dia juga menilai penduduk yang demikian itu sebagai mbeguguk ngutho waton (berkepala batu Red).

"Kalau mereka segera memutuskan sekarang, niat ingsun pindah sesuai dengan teman-temannya di tempat yang baru, mereka akan dapat memperbaiki kehidupannya," ucap Soeharto.


Sudah jenuh menunggu

Permasalahan korban proyek Waduk Kedung Ombo yang sangat kompleks dan belum usai hingga Soeharto wafat.

Ada saja kelompok warga yang mengajukan ganti rugi dan merasa belum puas. Semua ini memang tak bisa dimungkiri karena mereka pun membutuhkan sarana yang layak untuk hidup.

Salah satu contohnya adalah Karmin (45). Warga Dusun Sarean, Desa Genengsari, Kecamatan Kemusu, Kabupaten Boyolali itu seharusnya menerima ganti rugi dari pemerintah terhadap tanahnya yang terdampak dalam pembangunan waduk itu pada 1995. Namun, ternyata uang ganti rugi itu dibawa lari oleh perangkat desa bernama Suprapto dan Sumiyani.

Sejak itu Karmin tetap berharap bisa mendapat ganti rugi lahan itu.

"Saya hanya kecewa belum mendapat ganti rugi, tetapi mau apalagi semuanya saya serahkan kepada pemerintah," kata Karmin yang juga menjadi koordinator warga Genengsari.

Pendapat yang sama juga diungkapkan Sentot (40) yang kini menempati rumah temannya, Pardi. Ia bersama lima orang anaknya tinggal di rumah tersebut setelah ganti rugi tanah yang diharapkannya tak kunjung datang.

"Akhir-akhir ini, yang punya rumah sudah minta saya pergi karena akan dipakai dan dijadikan ladang yang lebih menghasilkan. Kalau saya tetap di situ, kan tidak ada hasil," kata Sentot yang mengaku tidak pernah membayar kepada si pemilik rumah.

Ia juga yakin sekali pemerintah dapat membantu untuk mendapatkan ganti rugi. Warga pun tidak mau didampingi oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan ingin berjuang sendiri melalui jalur yang menurut mereka benar.

"Semua perjuangan ini murni datang dari warga karena kami tidak mau dipengaruhi orang-orang yang tidak jelas arahnya," kata Karmin yang mengaku akan bersabar menunggu proses penyelesaian ganti rugi.

Pada 2006, dua kelompok masyarakat yang masing-masing dipimpin Sukiran (66 orang) dan Bejo Maryatin (76 orang) mengajukan permohonan relokasi kepada Pemerintah Kabupaten Boyolali dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.

Kelompok Sukiran meminta agar direlokasi di daerah pinggiran Waduk Kedung Ombo. Sebelumnya, beberapa orang dari kelompok Sarwo yang tinggal di Kampung Kemusu telah pindah ke lokasi permukiman baru yang disiapkan pemerintah, yakni di Blok D bekas kawasan hutan Perhutani di Kemusu.

Mereka adalah penduduk yang menghuni wilayah sabuk hijau waduk. Masalah relokasi itu juga pelik karena di antara para penduduk yang mengajukan permohonan ternyata ada yang tidak punya lahan.

Kemudian pada Juni 2007, sebanyak 21 kepala keluarga di Genengsari yang dikoordinir oleh Senthot Joko Purnomo menyurati Mardiyanto yang saat itu Gubernur Jawa Tengah dan Bupati Boyolali meminta mereka segera direlokasi. Sebab, mereka sudah menerima sertifikat tanah sejak Januari tetapi tak kunjung dipindah ke lahan baru.

Berita ini sudah terbit di surat kabar KOMPAS edisi 19 Mei 1991, 9 April 2002, 21 Februari 2006, 14 Juni 2007, dan 29 Januari 2008 dengan judul: "Presiden Resmikan Waduk Kedungombo: Yang Belum Mau Pindah Jangan Sampai Jadi Kelompok Mbalelo", "Kami Sudah Jenuh Menunggu...", "Kedung ombo: Ditindaklanjuti, Permohonan Warga Direlokasi", "Kedung Ombo: Relokasi Tak Jelas, Warga Menyurati Gubernur", dan "Warga Belum Memaafkan".

https://nasional.kompas.com/read/2022/02/15/08180081/luka-di-kedung-ombo-dan-tiada-maaf-bagi-soeharto

Terkini Lainnya

Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Nasional
SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

Nasional
Saksi Mengaku Pernah Ditagih Uang Pembelian Senjata oleh Ajudan SYL

Saksi Mengaku Pernah Ditagih Uang Pembelian Senjata oleh Ajudan SYL

Nasional
Polri Sita Aset Senilai Rp 432,2 Miliar Milik Gembong Narkoba Fredy Pratama

Polri Sita Aset Senilai Rp 432,2 Miliar Milik Gembong Narkoba Fredy Pratama

Nasional
Pesawat Super Hercules Kelima Pesanan Indonesia Dijadwalkan Tiba di Indonesia 17 Mei 2024

Pesawat Super Hercules Kelima Pesanan Indonesia Dijadwalkan Tiba di Indonesia 17 Mei 2024

Nasional
Daftar Sementara Negara Peserta Super Garuda Shield 2024, dari Amerika hingga Belanda

Daftar Sementara Negara Peserta Super Garuda Shield 2024, dari Amerika hingga Belanda

Nasional
Profil Haerul Amri, Legislator Fraksi Nasdem yang Meninggal Ketika Kunker di Palembang

Profil Haerul Amri, Legislator Fraksi Nasdem yang Meninggal Ketika Kunker di Palembang

Nasional
Demokrat Minta Golkar, Gerindra, PAN Sepakati Usung Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim 2024

Demokrat Minta Golkar, Gerindra, PAN Sepakati Usung Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim 2024

Nasional
SYL Beli Lukisan Sujiwo Tejo Rp 200 Juta Pakai Uang Hasil Memeras Anak Buah

SYL Beli Lukisan Sujiwo Tejo Rp 200 Juta Pakai Uang Hasil Memeras Anak Buah

Nasional
Anggota Komisi X DPR Haerul Amri Meninggal Saat Kunjungan Kerja

Anggota Komisi X DPR Haerul Amri Meninggal Saat Kunjungan Kerja

Nasional
Polri Desak Kepolisian Thailand Serahkan Fredy Pratama ke Indonesia Jika Tertangkap

Polri Desak Kepolisian Thailand Serahkan Fredy Pratama ke Indonesia Jika Tertangkap

Nasional
Jokowi Sebut 3 Hal yang Ditakuti Dunia, Wamenkeu Beri Penjelasan

Jokowi Sebut 3 Hal yang Ditakuti Dunia, Wamenkeu Beri Penjelasan

Nasional
Soal 'Presidential Club', Djarot PDI-P: Pak Prabowo Kurang Pede

Soal "Presidential Club", Djarot PDI-P: Pak Prabowo Kurang Pede

Nasional
Polri Serahkan Kasus TPPU Istri Fredy Pratama ke Kepolisian Thailand

Polri Serahkan Kasus TPPU Istri Fredy Pratama ke Kepolisian Thailand

Nasional
Evaluasi Arus Mudik, Jokowi Setuju Kereta Api Jarak Jauh Ditambah

Evaluasi Arus Mudik, Jokowi Setuju Kereta Api Jarak Jauh Ditambah

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke