Salin Artikel

Yatim Piatu Keteladanan

Soekarno dan Hatta, misalnya, bukan figur yang selalu sepaham. Tidak seperti parlemen kita yang kerap diasosiasikan senyap perbedaan dengan pemerintah, misalnya.

Soekarno dan Hatta kerap berdebat keras. Dalam pelbagai hal. Entah itu ide hak asasi manusia. Maupun soal bagaimana relasi negara dan warga.

Namun, perbedaan dan perdebatan tidak lantas mereka bermusuhan. Saling caci maki.

Atau telisik kekurangan untuk mempermalukan di publik. Bahkan, saling tengok ketika sakit. Berkirim surat di tengah tak sejalan dalam pemerintahan.

Hari ini kita malah banyak diajarkan hal-hal yang bukan teladan buat masa depan. Politik transaksional.

Politisi yang dikarbit hanya untuk melegalisasi kepentingan. Berlimpah politisi berujung pada oknum---yang tidak sedikit---terkena kasus korupsi atau gugatan publik karena kata dan perilaku jauh dari peradaban.

Kita malah mengalami kemiskinan negarawan. Sosok yang sudah selesai dengan urusan pribadi.

Sibuk mengayomi publik dengan mata air solidaritas dan kasih sayang. Untuk mewujudkan cita-cita Pembukaan UUD 1945, adil makmur, sejahtera lahir batin.

Tak heran jika pendiri bangsa ini menuliskan lirik lagu kebangsaan Indonesia Raya dimulai dengan kata jiwa terlebih dahulu dibangun, baru fisik.

“...bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya”.

Rupanya pendiri negara kita sudah melampaui zaman. Jika yang dibangun fisik terlebih dahulu, maka korupsi proyek-proyek infrastruktur menjadi sesuatu yang lumrah.

Namun jika jiwa yang dibangun, maka timbul komitmen pada nilai untuk berpikir panjang ke depan. Tidak mau menggadaikan generasi akan datang oleh korupsi sesaat.

Pendidikan nilai

Dugaan berat terperosoknya bangsa ini dalam kerumitan tiada berakhir karena kita tidak tuntas melembagakan pendidikan nilai.

Kita biasa terhibur dengan pidato, debat kusir, dan viral media sosial yang longsor ide-ide besar soal bagaimana bangsa ini hendak dibawa.

Kita tidak terbiasa mengapresiasi nilai. Kita kehilangan sosok seperti Almarhum Mantan Kapolri Hoegeng yang mampu menolak hadiah dengan kalimat yang intinya memang tugas polisi melayani rakyat.

Mungkin, karena semua media, memuja-muja dan membiasakan glamor kekayaan, meski tidak pernah mempertanyakan dari mana kekayaan itu berasal?

Lalu sibuk merendahkan orang yang punya integritas hanya karena patokannya sekadar besaran pendapatan.

Demokrasi, dengan beragam definisi dan konsep, sebenarnya berangkat dari nilai. Kebebasan. Kesetaraan. Menghargai perbedaan. Semua itu merupakan ruh dari demokrasi.

Jika energi habis di wilayah sistem tanpa nilai, maka bisa jadi negara terperosok pada jurang positivistik. Sekadar memenuhi kaidah dan pasal-pasal.

Padahal itupun kerap hasil transaksional di parlemen yang tidak jarang jauh dari daulat publik.

Krisis nilai berdampak panjang. Di jalan tidak ada kesantunan. Budaya mengantre seperti basa basi.

Menjamur politik kekerabatan miskin kompetensi, pelanggaran hukum, kecongkakan karena jabatan dan segala lips service namun secara brutal merusak nilai tidak pernah mendapat perhatian optimal.

Kompetensi dan integritas menjadi bumbu pidato. Namun sukar ditemukan di alam nyata.

Bagi saya, pendidikan nilai yang meresap di publik adalah keteladanan. Jika kita mengatakan jangan korupsi. Maka, diberikan contoh kekayaannya transparan untuk diaudit khususnya bila ia penyelenggara jabatan publik.

Jika kita menghormati supremasi hukum, maka kiranya bijak meneladani ungkapan Nabi Muhammad SAW, andai Fatimah anaknya mencuri, beliau sendiri yang akan memotong tangannya sebagai bentuk supremasi hukum. Bukan karena sanak famili malah mendapat previlege.

Kampus

Harapan banyak sebenarnya ke kampus. Karena dari mulai masa pergerakan sampai reformasi, kampus menjadi hati nurani publik.

Namun kampus pun ternyata bukan jaminan pula. Yatim piatu keteladanan terjadi pula di kampus.

Kasus pelecehan seksual terjadi. Sikat sikut jabatan kerap terdengar di kampus. Penentuan kebijakan berbasis kedekatan bukan mustahil terjadi.

Jabatan langka dianggap amanah. Namun kesempatan mengkapitalisasi diri.

Belum lagi sempat ramai soal rangkap jabatan rektor dengan komisaris perusahaan diduga dapat menggerus basis kritisisme kampus sebagai pengawal nalar publik.

Betapa prihatin bila ada kampus—selevel UI, misalnya—sampai berkembang kekhawatiran perubahan statuta UI pun dikaitkan dengan agenda politik 2024.

Pertanyaannya, bisakah kampus dijadikan agen dan kompas politik moral bangsa? Bukan politik transaksional?

Apakah pemilihan rektor, dekan dan semua jabatan di kampus bisa dijamin tidak terdistorsi kepentingan di luar keilmuan?

Berita-berita suram di atas tentu menyedihkan. Perlu revolusi mental sampai ke akar---bukan slogan---dengan memberikan wadah bagi kompetensi dan integritas mendapatkan afirmative action dalam pengisian jabatan dan aktivitas kampus.

Maka, komitmen Mendikbud soal Kampus Merdeka perlu dimaknai pula Merdeka dari pengaruh yang dapat merusak independensi kampus.

Merdeka dari berbagai ajakan dan peluang kampus partisan. Memastikan kemerdekaan kampus untuk memproduksi gagasan berdasarkan basis keilmuan yang jujur dan otentik.

Memberikan kesejahteraan bagi pengajar kampus secara optimal sehingga fokus melakukan Tri Dharma.

Jangan sampai, ada dosen yang kesukaran menyekolahkan anaknya, misalnya. Atau dosen kebingungan publikasi ilmiah terindex scopus karena keterbatasan dukungan pendanaan.

Andai itu terjadi, maka kata Merdeka masih jauh dari realita.

Bagi saya, kampus harus diproteksi dari pengaruh buruk yang mengegoti idealisme. Sebab, kampus adalah kawah masa depan.

Masa depan Indonesia yang hendak menanamkan demokrasi, antikorupsi dan supremasi hukum, hanya bisa dilakukan jika para insan kampus pemilik masa depan merawat komitmennya untuk tidak tergoda untuk hal-hal buruk menjauhi kemuliaan idealisme bangsa.

Ini terbuka peluangnya jika kita semua mau mengabdikan dan mewakafkan diri kita pada hal-hal kepublikan yang baik.

Potensi itu ada sebab kemajuan teknologi mampu dengan kekuatan viralnya media sosial, menjadi mata dan telinga publik agar layanan publik—misalnya—berkualitas.

Hal ini sudah mulai terasa gerakan menuju lebih baik di berbagai institusi layanan publik. Tinggal bagaimana ini menjadi gerakan kesadaran kolektif. Bukan gerakan perorangan belaka.

Ruang nurani

Imajinasi pendiri bangsa ini ketika mewakafkan dirinya untuk kepentingan publik adalah akan lahirnya suatu generasi yang memiliki kecerdasan tidak sekadar intelektual, namun emosional dan spiritual.

Maka, diksi Pembukaan UUD 1945 menggunakan istilah “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Bukan kata “pintar”.

Sebab, pintar kerap sinonim dengan intelektual semata. Padahal fakta hari ini menunjukan, kita tidak kekurangan orang pintar? Namun kita kekurangan orang berintegritas.

Karena itu, indeks korupsi bisa dibaca sebagai indeks integritas dalam arti sebaliknya.

Problemnya, perlu banyak sisi dibenahi. Namun, itu bisa dimulai dengan tradisi percakapan di ruang publik yang bebas tekanan. Yang tidak terjebak sopan santun subyektif.

Namun mendialogkan esensi dengan basis argumentasi yang jernih. Ini tidak mudah. Tapi juga tidak mustahil.

Yang pasti, harus selalu dirawat bersama, ruang publik dipenuhi aneka gagasan dan tukar tambah argumentasi rasional serta menangkal caci maki, hoax dan praktik politik identitas.

Jika itu saja dilakukan dengan berkelanjutan, bisa menjadi bagian dari upaya agar banyak sosok dan figur negarawan bermunculan sehingga tidak lagi mengalami yatim piatu keteladanan.

https://nasional.kompas.com/read/2022/02/02/07300001/yatim-piatu-keteladanan

Terkini Lainnya

Sidang Sengketa Pileg Kalteng Berlangsung Kilat, Pemohon Dianggap Tak Serius

Sidang Sengketa Pileg Kalteng Berlangsung Kilat, Pemohon Dianggap Tak Serius

Nasional
Pemerintahan Baru dan Tantangan Transformasi Intelijen Negara

Pemerintahan Baru dan Tantangan Transformasi Intelijen Negara

Nasional
Tegur Pemohon Telat Datang Sidang, Hakim Saldi: Kalau Terlambat Terus, 'Push Up'

Tegur Pemohon Telat Datang Sidang, Hakim Saldi: Kalau Terlambat Terus, "Push Up"

Nasional
KPK Sebut Keluarga SYL Sangat Mungkin Jadi Tersangka TPPU Pasif

KPK Sebut Keluarga SYL Sangat Mungkin Jadi Tersangka TPPU Pasif

Nasional
Timnas Kalah Lawan Irak, Jokowi: Capaian hingga Semifinal Layak Diapresiasi

Timnas Kalah Lawan Irak, Jokowi: Capaian hingga Semifinal Layak Diapresiasi

Nasional
Kunker ke Sumba Timur, Mensos Risma Serahkan Bansos untuk ODGJ hingga Penyandang Disabilitas

Kunker ke Sumba Timur, Mensos Risma Serahkan Bansos untuk ODGJ hingga Penyandang Disabilitas

Nasional
KPK Kembali Panggil Gus Muhdlor sebagai Tersangka Hari Ini

KPK Kembali Panggil Gus Muhdlor sebagai Tersangka Hari Ini

Nasional
Teguran Hakim MK untuk KPU yang Dianggap Tak Serius

Teguran Hakim MK untuk KPU yang Dianggap Tak Serius

Nasional
Kuda-kuda Nurul Ghufron Hadapi Sidang Etik Dewas KPK

Kuda-kuda Nurul Ghufron Hadapi Sidang Etik Dewas KPK

Nasional
Laba Bersih Antam Triwulan I-2024 Rp 210,59 MiliarĀ 

Laba Bersih Antam Triwulan I-2024 Rp 210,59 MiliarĀ 

Nasional
Jokowi yang Dianggap Tembok Besar Penghalang PDI-P dan Gerindra

Jokowi yang Dianggap Tembok Besar Penghalang PDI-P dan Gerindra

Nasional
Sebut Jokowi Kader 'Mbalelo', Politikus PDI-P: Biasanya Dikucilkan

Sebut Jokowi Kader "Mbalelo", Politikus PDI-P: Biasanya Dikucilkan

Nasional
[POPULER NASIONAL] PDI-P Harap Putusan PTUN Buat Prabowo-Gibran Tak Bisa Dilantik | Menteri 'Triumvirat' Prabowo Diprediksi Bukan dari Parpol

[POPULER NASIONAL] PDI-P Harap Putusan PTUN Buat Prabowo-Gibran Tak Bisa Dilantik | Menteri "Triumvirat" Prabowo Diprediksi Bukan dari Parpol

Nasional
Tanggal 5 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 5 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke