Mereka saat ini sedang terancam oleh kemungkinan tindakan diskriminatif dan kekerasan, menyusul Masjid Miftahul Huda milik mereka dipermasalahkan lagi oleh kelompok intoleran dan Pemerintah Kabupaten Sintang.
Ketua Komite Hukum Jemaah Ahmadiyah Indonesia Fitria Sumarni menyebut bahwa situasi di sana “sangat mencekam”, berdasarkan laporan dari tokoh komunitas Muslim Ahmadiyah Sintang.
“Sebelumnya beliau menerima ancaman lewat WhatsApp, ancamannya pun bahkan sampai pada tahap pembunuhan. Bahkan kami mendapatkan laporan, malam hari ada upaya orang masuk,” kata Fitria dalam jumpa pers, Jumat (14/1/2022).
“Saya kira ini perlu betul-betul ketegasan dari Polri sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap keamanan masyarakat untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap komunitas Muslim Ahmadiyah di sana,” lanjutnya.
Direktur Riset SETARA Institute, Halili Hasan, memperingatkan negara di tingkat pusat agar memberi perhatian serius pada kasus ini.
Kementerian dan lembaga diharapkan sanggup mencegah melalui kewenangan masing-masing, supaya pelanggaran hak-hak berkeyakinan komunitas Muslim Ahmadiyah Sintang tidak terjadi.
Apalagi, jika pelanggaran itu sampai bermuara pada kekerasan, sebagaimana terjadi pada 3 September 2021 lalu ketika Masjid Miftahul Huda dirusak massa intoleran.
“Peringatan seperti ini penting, karena ketika dulu ancaman terhadap Masjid Miftahul Huda di tingkat lokal—proses penyegelan, ancaman, ada ujaran kebencian—kita bilang waktu itu, ini harus dicegah oleh negara. (Ternyata) negara gagal melakukan tindakan yang memadai, sehingga kekerasan terjadi pada 3 September 2021. Kelompok intoleran merusak masjid, membakar bangunan,” ungkap Halili.
“Harusnya negara tidak boleh kalah. Faktanya negara kalah. Kalau pembongkaran ini tidak bisa dicegah negara, saya kira lengkap absensi (ketidakhadiran) negara. Polisi sebagai bagian dari Forkopimda gagal melakukan pencegahan kalau sampai pembongkaran itu (masjid) dilakukan,” lanjutnya.
Ancaman kekerasan kembali terjadi
Setidaknya ada dua hal ancaman keamanan bagi komunitas Muslim Ahmadiyah Sintang dalam waktu dekat.
Pertama, Pemkab Sintang mengancam akan membongkar Masjid Miftahul Huda jika mereka tak membongkarnya sendiri hingga 21 Januari 2022.
Ancaman itu termuat dalam surat peringatan ketiga (SP 3) yang dilayangkan Pemkab Sintang pada 7 Januari 2022.
Kedua, Masjid Miftahul Huda pernah dirusak oleh massa mengatasnamakan Aliansi Umat Islam pada 3 September 2021.
Sebanyak 21 terdakwa dari kasus itu hanya divonis penjara 4 bulan 15 hari dipotong masa tahanan, yang berarti mereka akan bebas pada 22 Januari 2022, sehari usai tenggat SP 3.
“Dalam surat-suratnya, mulai dari SP 1, SP 2, SP 3, Bupati mem-framing Masjid Mifathul Huda sebagai bangunan tanpa izin yang difungsikan sebagai tempat ibadah. Itu framing bupati. Padahal jelas itu masjid dan sudah ada sejak tahun 2007,” kata Fitria.
“Selama 13 tahun Masjid Miftahul Huda digunakan, komunitas di sana bisa menggunakannya dengan aman, nyaman, dan hidup harmonis berdampingan dengan warga sekitar, tidak ada penolakan,” lanjutnya.
Fitria menduga, Bupati Sintang Jarot Winarno tunduk sengaja membuat “framing” bahwa Masjid Miftahul Huda bukan merupakan rumah ibadah agar bisa menghindar dari pedoman mengatasi perselisihan rumah ibadah yang diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Tahun 2006.
Dalam beleid tersebut, perselisihan rumah ibadah harus diselesaikan secara musyawarah alih-alih pembongkaran.
Di samping itu, pemerintah daerah justru wajib memfasilitasi penerbitan izin mendirikan bangunan (IMB) bagi rumah-rumah ibadah yang belum mendapatkannya, seperti Masjid Miftahul Huda dan seluruh rumah ibadah di wilayah tersebut.
Langkah Pemkab Sintang ini dinilai inkonstitusional, karena dalam konstitusi, setiap warga negara berhak menganut keyakinan dan menjalankan ibadah sesuai keyakinannya.
“Mengapa kemudian Bupati kekeh ingin membongkar, kita ingat bahwa aliansi yang merusak Masjid Miftahul Huda (pada 3 September 2021) memberi ultimatum kepada aparat untuk merobohkan Masjid Miftahul Huda. Ini bukti ketundukan Bupati pada kelompok intoleran,” ujar Fitria.
“Perlu juga kiranya diketahui oleh rekan-rekan sekalian bahwa di Desa Balai Harapan, tidak ada satu pun rumah ibadah yang mempunyai IMB. Ini (SP 3 kepada komunitas Ahmadiyah) merupakan sikap diskriminatif dari Bupati,” imbuhnya.
https://nasional.kompas.com/read/2022/01/14/15545541/ahmadiyah-sintang-diancam-dibunuh-hingga-tempat-ibadah-dibongkar-pemerintah