Ketua Komite Hukum Jemaah Ahmadiyah Indonesia, Fitria Sumarni mengungkapkan, ancaman itu termuat dalam surat peringatan (SP) ketiga yang dilayangkan Pemkab Sintang bagi komunitas Muslim Ahmadiyah Sintang tertanggal 7 Januari 2022.
Dalam surat tersebut, Pemkot Sintang mengancam akan merobohkan bangunan itu apabila jemaah Ahmadiyah tidak membongkarnya sendiri dalam 14 hari alias hingga 21 Januari 2022.
“Dalam surat-suratnya, mulai dari SP 1, SP 2, SP 3, bupati mem-framing Masjid Mifathul Huda sebagai bangunan tanpa izin yang difungsikan sebagai tempat ibadah. Itu framing bupati. Padahal jelas itu masjid dan sudah ada sejak tahun 2007,” kata Fitria dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (14/1/2022).
Ia menjelaskan, Masjid Miftahul Huda yang dibangun dari kayu kemudian mengalami kerusakan karena usia, sehingga pada 2020 dibangun kembali.
“Selama 13 tahun Masjid Miftahul Huda digunakan, komunitas di sana bisa menggunakannya dengan aman, nyaman, dan hidup harmonis berdampingan dengan warga sekitar, tidak ada penolakan,” lanjut dia.
Fitria menduga, Bupati Sintang Jarot Winarno sengaja membuat framing bahwa Masjid Miftahul Huda bukan merupakan rumah ibadah agar bisa menghindar dari pedoman mengatasi perselisihan rumah ibadah yang diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Tahun 2006.
Dalam beleid tersebut, perselisihan rumah ibadah harus diselesaikan secara musyawarah alih-alih pembongkaran.
Di samping itu, pemerintah daerah justru wajib memfasilitasi penerbitan izin mendirikan bangunan (IMB) bagi rumah-rumah ibadah yang belum mendapatkannya, seperti Masjid Miftahul Huda dan seluruh rumah ibadah di wilayah tersebut.
Langkah Pemkab Sintang ini dinilai inkonstitusional, karena dalam konstitusi, setiap warga negara berhak menganut keyakinan dan menjalankan ibadah sesuai keyakinannya.
“Mengapa kemudian Bupati kekeh ingin membongkar. Kami ingat bahwa aliansi yang merusak Masjid Miftahul Huda (pada 3 September 2021) memberi ultimatum kepada aparat untuk merobohkan Masjid Miftahul Huda. Ini bukti ketundukan Bupati pada kelompok intoleran,” ujar Fitria.
“Perlu juga kiranya diketahui oleh rekan-rekan sekalian bahwa di Desa Balai Harapan, tidak ada satu pun rumah ibadah yang mempunyai IMB. Ini (SP 3 kepada komunitas Ahmadiyah) merupakan sikap diskriminatif dari Bupati,” imbuhnya.
Perusakan Masjid Miftahul Huda terjadi pada 3 September 2021. Ada 22 terdakwa yang diproses ke meja hijau. Para terdakwa dijatuhi vonis penjara 4 bulan 15 hari oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pontianak pada 6 Januari 2022, dipangkas masa penahanan mereka.
Itu artinya, para terdakwa dijadwalkan bebas pada 22 Januari 2022, sehari setelah tenggat ultimatum Pemkab Sintang untuk komunitas Ahmadiyah membongkar masjidnya.
Vonis yang jauh dari rasa keadilan dan efek jera ini dikhawatirkan bakal memicu berulangnya kekerasan terhadap komunitas Ahmadiyah Sintang, ketika para terdakwa telah dinyatakan bebas dan tenggat ultimatum dari Pemkab Sintang terlewat.
Tim Advokasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan terdiri dari berbagai lembaga, mulai dari Setara Institute, Serikat Jurnalis untuk Keberagaman, KontraS, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Imparsial, Human Rights Watch, dan lain-lain.
https://nasional.kompas.com/read/2022/01/14/13090961/pemkab-sintang-dikecam-karena-ancam-bongkar-masjid-jemaah-ahmadiyah