Peneliti ICJR Maidina Rahmawati berpendapat, pedoman tersebut merupakan salah satu upaya kejaksaan melakukan reorientasi kebijakan narkotika yang seharusnya tidak menjatuhkan pemenjaraan bagi pengguna narkotika.
"Pedoman ini mendorong optimalisasi penggunaan rehabilitasi dibandingkan penjatuhan pidana penjara," kata Maidina dalam keterangan tertulis, Senin (8/11/2021).
Namun, ada tiga catatan yang disampaikan ICJR dan LeIP.
Pertama, semestinya penghindaran pemenjaraan bagi pengguna narkotika tidak hanya rehabilitasi.
Maidina mengatakan, berdasarkan Pedoman No 18/2021, penyalahguna narkotika dapat dilakukan rehabilitasi pada tahap penuntutan.
Sesuai dengan UU Narkotika, rehabilitasi adalah kegiatan pengobatan dan pemulihan dari ketergantungan narkotika. Namun, tidak semua pengguna narkotika adalah pecandu atau mengalami ketergantungan.
"Yang perlu rehabilitasi hanyalah yang benar-benar membutuhkan rehabilitasi, maka solusi untuk pengguna narkotika tidak dengan ketergantungan adalah melakukan pengesampingan perkara (seponeering) ataupun dapat mengoptimalkan penggunaan tuntutan pidana bersyarat dengan masa percobaan, sesuai dengan Pedoman Kejaksaan 11 tahun 2021," ujar dia.
Kedua, lanjut Maidina, terdapat ketidakjelaskan mengenai produk hukum penetapan jaksa untuk rehabilitasi.
Ia menuturkan, Pedoman No 18/2021 mengatur mengatur bahwa tersangka dapat dilakukan rehabilitasi melalui proses hukum.
Maka, Kepala Kejaksaan Negeri atau Kepala Cabang Kejaksaan Negeri mengeluarkan penetapan rehabilitasi melalui proses hukum.
"Pengaturan ini menimbulkan permasalahan mengingat Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mengatur bentuk penghentian perkara melalui produk 'penetapan'. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah penetapan rehabilitasi tersebut dapat disamakan dengan penghentian penuntutan?," katanya.
Selain itu, ia juga mempertanyakan apakah penetapan oleh Kepala Kejaksaan Negeri tersebut dapat diuji lembaga praperadilan atau bentuk penetapan itu merupakan bentuk pengesampingan perkara yang dimiliki oleh Jaksa Agung (seponeering).
Maidina khawatir ketidak jelasan ini akan menimbulkan permasalahan pada tataran implementasi, terutama apabila ada pihak yang akan menguji di lembaga praperadilan.
"Selain itu, juga akan menimbulkan pertanyaan apakah dengan sudah keluarnya penetapan, maka status tersangka tidak akan lagi dapat dilakukan penuntutan atas perkara yang sama (double jeopardy). Harusnya penetapan rehabilitasi tersebut sebagai bentuk tindakan atau treatment yang dinilai berbasis kesehatan dan memperoleh kejelasan kedudukan dalam pelaksanaannya," paparnya.
Ketiga, lanjut Maidina, terdapat ketidakjelasan pengaturan mengenai syarat menjalankan rehabilitasi.
Pedoman tersebut menyatakan bahwa dalam hal tersangka tidak menjalani rehabilitasi melalui proses hukum tanpa alasan yang sah atau menjalani rehabilitasi melalui proses hukum tetapi tidak sesuai penetapan, maka penuntut umum dapat melalukan peringatan tertulis hingga upaya paksa.
Menurut Maidina, pengaturan ini juga menimbulkan pertanyaan, yaitu apa yang dimaksud dengan tidak menjalani rehabilitasi proses hukum tanpa alasan yang sah, juga apa yang dimaksud ”alasan yang sah” yang dapat mengesampingkan proses rehabilitasi.
"Ketidakjelasan ini menimbulkan permasalahan nantinya di praktik dengan tidak adanya indikator yang pasti, karena akan dimungkinkan 'pilih-pilih' perkara yang rehabnya berjalan secara sah dan apa yang tidak sah," kata dia.
Direktur Eksekutif LeIP Liza Farihah pun meminta kejaksaan melakukan revisi Pedoman No 18/2021 untuk memberikan kepastian dan keadilan hukum bagi para pencari keadilan.
Namun, jika tidak memungkinkan revisi, maka ia meminta kejaksaan membuat aturan lebih lanjut soal pengaturan yang ada dalam Pedoman No 18/2021 agar pedoman tersebut dapat diimplementasikan secara tepat.
"Setidak-tidaknya membuat pengaturan lebih lanjut akan pengaturan yang ada dalam Pedoman Kejaksaan Nomor 18 Tahun 2021 agar pedoman tersebut dapat diimplementasi secara tepat sesuai dengan niat baiknya," tuturnya.
https://nasional.kompas.com/read/2021/11/08/19540941/pedoman-jaksa-agung-tentang-rehabilitasi-pengguna-narkoba-icjr-leip-beri-3