Salin Artikel

Misteri Nasib Capres 1 Persen...

Mengejutkan tentunya, tatkala Presiden Soeharto mengundurkan diri 21 Mei 1998 dan Menteri Riset dan Teknologi saat itu, Prof Dr Ing Bacharuddin Jusuf Habibie, menggantikannya.

Begitu juga selanjutnya, 20 Oktober 1999, tampil sosok pejuang demokrasi yang sekaligus ulama, KH Abdurrahman Wahid, menjadi presiden.

Padahal ironisnya, Megawati Soekarnoputri, ketua umum PDI Perjuangan, partai yang saat itu menjadi pemenang Pemilu 1999, justru tidak berhasil menjadi presiden. MPR saat itu justru memilih KH Abdurrahman Wahid.

Baru pada periode selanjutnya, Megawati menjadi presiden setelah KH Abdurrahman Wahid dilengserkan sebelum masa jabatan resminya berakhir.

Tidak kalah dramatis, kisah kemenangan para presiden di era pemilihan presiden secara langsung. Tampilnya sosok militer, Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pemenang Pemilu Presiden 2004, misalnya, tidak kurang mengejutkan.

Dengan persiapan pemilu yang terbilang tidak panjang, Yudhoyono mampu “menumbangkan” mantan pimpinannya di kabinet, Presiden Megawati Soekarnoputri.

Sebaliknya terjadi pada Amien Rais. Sejak 1999 sosoknya sudah digadang menjadi presiden. Begitu juga, sejak September 2001, ia sudah mencanangkan tekadnya menjadi presiden.

Dengan segudang jabatan politik yang disandangnya, sebagai ketua MPR, ketua umum Partai Amanat Nasional, sosok reformator 1998 yang menumbangkan kekuasaan rejim Orde Baru, tidak menjamin Amien Rais sukses merebut kursi kepresiden.

Pemilu 2004, dari lima pasangan capres yang bertarung, ia hanya duduk di peringkat ke-empat, menguasai 14,6 persen suara.

Tidak kalah spektakuler, capaian Presiden Joko Widodo. Tiada yang mengira sebelumnya jika karir politik mantan wali kota Solo ini berlanjut dalam panggung nasional. Selang dua tahun kemenangannya menjadi Gubernur DKI (Oktober 2012), pada Pemilu 2014 ia menjadi presiden.


Padahal, sepanjang dua tahun jelang pemilu, sosoknya belum banyak dirujuk dalam hasil survei elektabilitas. Namun, sejak menjabat gubernur, popularitasnya sontak meroket. Tidak hanya populer, ia pun paling banyak dirujuk sebagai calon presiden.

Serangkaian kejutan politik dalam panggung pemilihan presiden di atas meneguhkan ketidakajekan karir politik kepresidenan di negeri ini. Sekalipun popular sebagai tokoh politik, tidak menjamin jabatan presiden diraih.

Begitu juga tidak pasti presiden berasal dari latar belakang tertentu, baik politisi, militer, birokrat, kepala daerah, hingga ulama pun pernah menduduki kursi kepresidenan.
Pada negara-negara yang panjang tradisi demokrasinya, latar belakang menjadi presiden cenderung ajek.

Amerika Serikat, misalnya, yang telah melahirkan 46 sosok presiden, senator (perwakilan daerah) dan gubernur menjadi jalur politik terbanyak. Hingga saat ini, 24 presiden berlatar senator.

Sebanyak 16 presiden berlatar gubernur. Sisanya, pengusaha, artis, hingga kaum profesional lain.

Dengan karakteristik politik yang berlangsung di negeri ini, peluang siapa pun menjadi presiden terbuka. Artinya, sekalipun saat ini muncul sosok-sosok politik yang bertengger pada barisan atas elektabilitas survei, tidak menjamin menjadi presiden.

Sebaliknya, pintu masih terbuka bagi mereka yang saat ini kurang menjadi preferensi publik.

Siapa mereka? Ya, tokoh-tokoh yang belum terdengar. Tokoh-tokoh yang dalam benak publik belum kuat tertanam sebagai "top of mind".

Jika merujuk pada hasil survei, sebutlah mereka sebagai "capres 1 persen". Tokoh masyarakat yang dipilih maksimal 1 persen dari total responden.

Berdasarkan hasil survei Litbang Kompas, terdapat puluhan nama yang mendapatkan dukungan sekitar satu persen responden.

Survei bulan April dan Oktober 2021 lalu, misalnya, selain nama-nama tokoh papan atas elektabilitas, seperti Prabowo Subianto, Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, Agus Harimurti Yudhoyono, Tri Rismaharini, terdapat 22 sosok lain yang didukung publik.

Dari sejumlah tokoh, terdapat sosok lama yang sudah malang-melintang dalam berbagai survei sebelumnya.

Mereka adalah para mantan. Mantan menteri, mantan gubernur dan kepala daerah, mantan panglima TNI. Di antaranya: Susi Pudjiastuti, Muhaimin Iskandar, TGKH Muhammad Zainul Majdi (Tuan Guru Bajang), Dedy Mulyadi, dan Gatot Nurmantyo.

Di antaranya, Menko Polkam, Mahfud MD, Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, Menteri BUMN, Erick Thohir, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim, dan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas. Terdapat pula, dan Kepala Staf Presiden, Muldoko.

Jika diperluas dengan hasik survei SMRC selain nama-nama yang sudah dirujuk di atas, masih terdapat pejabat negara seperti Menko Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan, KSAD Jenderal Andika Perkasa, Ketua MPR Bambang Soesatyo, dan Ketua DPR Puan Maharani menjadi rujukan.

Pada lapis kepala daerah, terdapat Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa dan Gubernur Sumatera Selatan, Herman Deru. Selain itu, pada barisan ulama terdapat Habib Rizieq Shihab, Ustad Yusuf Mansur, Habib Luthfi bin Yahya, hingga Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin.

Dengan menambahkan nama-nama tokoh lain yang tergolong sebagai pejabat negara, pemerintahan pusat hingga daerah (gubernur-bupati dan walikota), ataupun tokoh-tokoh masyarakat lainnya, lebih dari 100 nama yang potensial menjadi rujukan calon presiden mendatang.

Mengacu pada historis jejak kepresidenan yang tidak ajek di negeri ini, tidak tertutup memang peluang lebih dari 100 tokoh di atas. Namun pencermatan secara periodik terhadap hasil survei dapat membantu prediksi nasib capres 1 persen ini.

Dalam survei, tiga kriteria "trinitas capres" menjadi sandaran pijakan. Ketiganya, yaitu besaran keterkenalan (popularitas), keterpilihan (elektabilitas), dan penolakan (resistensi) dari masing-masing tokoh dalam jarak waktu tertentu.

Popularitas tokoh menjadi indikator penting dalam membaca seberapa jauh pengenalan publik terhadap sosok tersebut. Pengukuran berkala terhadap popularitas dengan sendirinya mendapatkan pengetahuan terhadap derajat penetrasi pengenalan pada sosok dari waktu ke waktu.

Sangat beruntung, jika sosok yang telah tenar sebelumnya, seperti pejabat publik, para pengusaha, ulama, hingga para pesohor media, telah melalui kendala popularitas. Dengan panggung yang dikuasai, popularitas mereka umumnya tinggi.

Akan tetapi, besaran popularitas tidak juga menjamin besaran derajat elektabilitasnya. Dalam berbagai contoh, popularitas tinggi tidak diikuti oleh derajat keterpilihan sebagai presiden yang tinggi pula. Megawati dan Yudhoyono, sebagai mantan presiden memiliki derajat popularitas yang sempurna.

Nyaris setiap orang mengenal dan tidak sedikit yang mengagumi. Tapi terakhir, elektabilitas kedua tokoh kini bertengger di 1 persen saja.


Tidak kalah menentukan, terkait dengan derajat penolakan publik. Indikator resistensi tokoh menjadi penting lantaran tidak semua tokoh yang popular, berelektabilitas tinggi, akan melenggang dengan aman dalam persaingan politik.

Pasalnya, tinggi dalam keterpilihan akan menjadi problematik jika diikuti pula oleh derajat resistensi yang juga tinggi terhadap sosok tersebut.

Dalam kondisi semacam ini, kehadiran tokoh tersebut cenderung memilah publik dalam kelompok yang bertentangan. Dampaknya, semakin sulit bagi mereka yang memiliki resistensi tinggi untuk memperluas ruang pengaruhnya.

Jika kriteria trinitas capres ini diterapkan secara periodik, akan terprediksikan siapa tokoh ataupun sosok yang potensial. Begitu pula sebaliknya.

Merujuk survei terbaru, tidak tampak masalah pada kriteria popularitas. Semua sosok relatif banyak dikenal. Namun masalah justru pada sisi paling krusial, derajat keterpilihan dan resistensi.

Pasalnya, kurun enam bulan terakhir, tidak ada satu pun calon presiden 1 persen yang melesat. Semua tokoh masih saja terperangkap dalam kelompok elektabilitas satu persen.
Bagi sebagian tokoh, tentu saja menjadi tanda tanya besar.

Bagaimana mungkin tetap sebesar itu dukungan publik? Bukankah ribuan baliho sosok dan citra diri sudah tersebar di setiap pelosok daerah?

Benar. Energi besar yang dikerahkan semakin mendorong popularitas. Namun maaf, survei menunjukkan tidak sampai mendongkrak elektabilitas. Bahkan, bisa jadi justru resistensi yang kali ini membengkak.

Temuan survei memang kadang menyakitkan. Bagi capres 1 persen, tidak perlu berkecil hati. Apalagi bersungut-sungut. Survei tidak final. Peluang selalu terbuka.

https://nasional.kompas.com/read/2021/11/01/17525151/misteri-nasib-capres-1-persen

Terkini Lainnya

Status Taruna STIP yang Aniaya Junior Bakal Dicopot

Status Taruna STIP yang Aniaya Junior Bakal Dicopot

Nasional
Mencegah 'Presidential Club' Rasa Koalisi Pemerintah

Mencegah "Presidential Club" Rasa Koalisi Pemerintah

Nasional
Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasional
Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Nasional
PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

Nasional
Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang 'Toxic' di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang "Toxic" di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Nasional
Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Nasional
BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena 'Heatwave' Asia

BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena "Heatwave" Asia

Nasional
Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang 'Online' dari Pinggir Jalan

Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang "Online" dari Pinggir Jalan

Nasional
Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk 'Presidential Club'...

Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk "Presidential Club"...

Nasional
Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Nasional
“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Prabowo Dinilai Bisa Bentuk 'Presidential Club', Tantangannya Ada di Megawati

Prabowo Dinilai Bisa Bentuk "Presidential Club", Tantangannya Ada di Megawati

Nasional
Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke