Padahal, menurut Manajer Media dan Kampanye Amnesty International Indonesia Nurina Savitri, UU ITE memiliki sejumlah pasal bermasalah yang kerap memakan korban sehingga perlu untuk direvisi.
“Yang pertama adalah karena di dalamnya ada pasal-pasal karet, pasal-pasal yang bermasalah. Kenapa? Karena tidak ada tolak ukur yang jelas,” kata Nurina dalam diskusi virtual “Peluncuran Kertas Kebijakan: Catatan dan Desakan Masyarakat Sipil Atas Revisi UU ITE” pada Kamis (29/4/2021).
Amnesti International Indonesia sendiri mencatat, setidaknya ada 15 kasus dan 18 korban dari UU ITE terkait kebebasan berekspresi. Data tersebut merupakan data sejak awal tahun hingga pertengahan Maret 2021.
Kemudian, terkait kasus pemidanaan terhadap netizen di tahun 2019 ke tahun 2020 meningkat. Menurut Nurina, pada tahun 2019 tercatat ada 24 pemidanaan terhadap netizen, sedangkan di tahun 2020 ada 84 kasus pemidanaan.
“Ada pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dengan Undang-Undang ITE sepanjang 2021 ini, ada 15 kasus, korbannya sudah 18,” ucapnya.
Oleh karena itu, Nurina memandang revisi UU ITE sangat penting dan harus segera dilakukan.
Melalui adanya revisi UU ITE, Nurina berharap ada perbaikan sistem hukum pidana dan siber dan keadilan atas implementasi UU ITE.
“Yang penting juga adalah ada perbaikan sistem hukum pidana dan siber yang ada di Indonesia. Intinya itu ingin ada keadilan dari revisi UU ITE itu,” ucapnya.
Menanggapi urgensi atas revisi UU ITE, sejumlah organisasi dan aktivis hukum pun membuat Koalisi Serius Revisi UU ITE serta membuat kertas kebijakan atas revisi UU tersebut.
Setidaknya, ada 24 organisasi yang tergabung dalam koalisi tersebut, di antaranya Amnesty International Indonesia, ICJR, hingga LBH Pers.
https://nasional.kompas.com/read/2021/04/29/14231621/amenesty-selama-2021-ada-18-korban-uu-ite-hingga-pertengahan-maret