JAKARTA, KOMPAS.com - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) berharap DPR mendukung pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal.
Hal tersebut disampaikan Kepala PPATK Dian Ediana Rae saat rapat dengar pendapat dengan Komisi III, Rabu (24/3/2021).
Namun, kedua RUU tersebut tidak masuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 yang telah ditetapkan DPR, Selasa (23/3/2021).
Dian meminta dukungan DPR untuk segera membahas RUU tersebut lantaran pembahasan di pemerintah telah rampung.
Ia juga mengingatkan soal janji Presiden Joko Widodo dalam Nawacita terkait kedua RUU itu
"Dapat kami sampaikan kembali. Kedua RUU ini telah menjadi janji Bapak Presiden pada Nawacita 2014-2019 dan kemudian Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024," ujar Dian.
Menurut Dian, Presiden Joko Widodo, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Menteri Sekretaris Negara, dan Menteri Hukum dan HAM sudah setuju.
Oleh sebab itu, Dian berpandangan, DPR dapat segera membahasnya bersama pemerintah.
Di sisi lain, Dian menilai dua RUU tersebut dapat membantu dalam mengoptimalkan pengembalian kerugian negara akibat tindak pidana korupsi, narkoba, perpajakan, kepabeanan dan cukai.
"Serta tindak pidana dengan motif ekonomi lainnya," kata Dian.
Dian menuturkan, saat ini Indonesia belum memiliki aturan hukum untuk merampas aset hasil tindak pidana.
Akibatnya, kekosongan hukum ini kerap dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan untuk menyembunyikan dan menyamarkan aset hasil tindak pidana.
Tanpa dua RUU tersebut, kata Dian, koruptor masih dapat menikmati kembali hasil tindak pidana setelah menyelesaikan masa hukuman.
"Ketiadaan efek jera bagi koruptor atau pelaku tindak pidana ekonomi lain, memberikan contoh bagi para pelaku kejahatan lainnya, menunjukkan kekayaan negara sangat mudah dicuri untuk diambil serta digunakan memperkaya diri sendiri atau golongan," kata dia.
Tunggakan legislasi
Desakan terhadap pemerintah dan DPR terkait pengesahan RUU Perampasan Aset pernah dilontarkan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW).
RUU tersebut dibutuhkan untuk merampas aset hasil kejahatan korupsi tanpa bergantung pada kehadiran para pelaku.
"RUU ini kami yakini menjadi paket penting untuk dapat merampas aset hasil kejahatan korupsi. Di masa yang akan datang, jika RUU ini sudah disahkan, penegak hukum tidak lagi bergantung dengan kehadiran para pelaku korupsi di Indonesia," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana Kurnia, Rabu (15/7/2020).
Kurnia menuturkan, dengan adanya UU Perampasan Aset, maka harta milik buron kasus korupsi yang diduga dari hasil kejahatan dapat dirampas melalui proses persidangan.
"Metode pembuktiannya pun lebih mudah, karena mengadopsi konsep pembalikan beban pembuktian," ujar Kurnia.
Ia mengatakan, RUU Perampasan Aset sudah menjadi tunggakan legislasi DPR dan Pemerintah sejak 2012.
Menurut Kurnia, hal itu menunjukkan bahwa DPR dan Pemerintah tidak pernah memikirkan penguatan legislasi di bidang pemberantasan korupsi.
"Dapat dibayangkan, legislasi penting seperti RUU Perampasan Aset ini saja selama delapan tahun tidak kunjung dibahas oleh pembentuk UU. Sedangkan revisi UU KPK, prosesnya sangat kilat, praktis kurang dari 15 hari saja," kata Kurnia.
https://nasional.kompas.com/read/2021/03/24/13475211/ruu-perampasan-aset-tak-masuk-prolegnas-prioritas-ppatk-ingatkan-soal-janji