JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD melibatkan sejumlah menteri dan pimpinan lembaga negara dalam Tim Kajian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Tim Kajian UU ITE terdiri dari tim pengarah dan tim pelaksana.
Selain Mahfud, tim pengarah terdiri dari Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo.
Sementara, tim pelaksana diketuai Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan HAM Kemenko Polhukam, Sugeng Purnomo.
Tim Kajian UU ITE bertugas mengkaji aturan yang selama ini dianggap mengandung pasal karet (haatzai artikelen), baik dari sisi implementasi maupun substansi.
"(Pembentukan) tim untuk membahas substansi, apa betul ada pasal karet," ujar Mahfud dalam konferensi pers, Senin (22/2/2021) siang.
Menurut Mahfud, tim mempunyai waktu sekitar dua bulan untuk mengkaji pasal-pasal yang selama ini dianggap karet.
Apabila hasil pengkajian menunjukkan kebutuhan untuk merevisi UU ITE, maka pemerintah akan mengajukannya ke DPR.
"Kalau keputusannya harus revisi kita akan sampaikan ke DPR karena UU ini ada di Prolegnas 2024 sehingga bisa dilakukan (revisi)," kata Mahfud.
Wacana revisi UU ITE pertama kali dilontarkan oleh Presiden Joko Widodo. Ia mengaku bakal meminta DPR memperbaiki UU tersebut jika implementasinya tak memberikan rasa keadilan.
Menurut Jokowi, hulu persoalan dari UU ini adalah pasal-pasal karet atau yang berpotensi diterjemahkan secara multitafsir. Jika revisi UU ITE dilakukan, Jokowi akan meminta DPR menghapus pasal-pasal tersebut.
"Terutama menghapus pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa berbeda-beda, yang mudah diinterpretasikan secara sepihak," ujar Jokowi.
Pasal multitafsir
Berdasarkan catatan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) setidaknya ada dua pasal dalam UU ITE yang dianggap multitafsir, yakni Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (2).
Pasal 27 ayat (1) melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Frasa "melanggar kesusilaan" dinilai memiliki konteks dan batasan yang tidak jelas.
Terkait Pasal 28 ayat (2), ICJR menilai pasal ini tidak dirumuskan sesuai dengan tujuan awal perumusan tindak pidana tentang propaganda kebencian.
Pasal itu memuat larangan bagi setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Pada praktiknya, pasal tersebut justru menyasar kelompok dan individu yang mengkritik institusi dan penyampaian ekspresi yang sah.
https://nasional.kompas.com/read/2021/02/22/15400501/bentuk-tim-kajian-uu-ite-mahfud-libatkan-menkominfo-hingga-kapolri