Apabila implementasinya menimbulkan rasa tidak adil, Jokowi menilai UU tersebut perlu direvisi.
"Semangat awal UU ITE adalah untuk menjaga agar ruang digital Indonesia bersih, sehat, beretika, dan produktif," ujar Jokowi dalam unggahan di akun Twitter resmi @jokowi, Selasa (16/2/2021).
"Kalau implementasinya menimbulkan rasa ketidakadilan, maka UU ini perlu direvisi," tuturnya.
Menurut Jokowi, revisi UU ITE sebaiknya menyasar sejumlah pasal karet yang multitafsir.
Sebab, keberadaan pasal-pasal tersebut mudah diinterpretasikan secara sepihak.
"Belakangan ini sejumlah warga saling melapor ke polisi dengan UU ITE sebagai salah satu rujukan hukumnya," kata mantan Gubernur DKI Jakarta itu.
"Saya memerintahkan Kapolri lebih selektif dalam menyikapi dan menerima pelaporan seperti itu. Pasal-pasal yang multitafsir harus diterjemahkan secara hati-hati," ucap Kepala Negara.
Direktur Eksekutif Perkumpulan Pembela Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (SAFEnet) Damar Juniarto mengatakan, terdapat sejumlah regulasi yang dinilai dapat mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat.
SAFEnet mencatat, terdapat sejumlah regulasi yang membatasi kemerdekaan berekspresi di Indonesia, antara lain UU ITE, Permenkominfo Nomor 19 Tahun 2014 tentang Situs Internet Bermuatan Negatif, UU Penyadapan, hingga UU Penyiaran.
Koalisi masyarakat sipil juga melaporkan, dalam kurun 2016-2020 UU ITE dengan pasal karetnya telah menimbulkan conviction rate atau tingkat penguhukuman 96,8 persen (744 perkara).
Sementara itu, tingkat pemenjaraan dari aturan ini mencapai 88 persen (676 perkara).
Kemudian, Indeks Demokrasi Indonesia pada 2020 dilaporkan menurun.
Laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) mencatat, Indonesia hanya mendapat skor 5,59 untuk kebebasan sipil.
Tak sedikit pihak yang menganggap penilaian ini merupakan perolehan terendah Indonesia dalam belasan tahun terakhir ini, terutama mengenai kebebasan sipil.
https://nasional.kompas.com/read/2021/02/16/10525191/jokowi-semangat-awal-uu-ite-menjaga-ruang-digital-bersih-dan-beretika