"Kami tidak mempersiapkan 2022, sama sekali tidak. Kami mempersiapkan untuk 2024," kata Djarot dalam acara "Aiman" yang disiarkan Kompas TV, Senin (1/2/2021) malam.
Hal tersebut ia utarakan untuk menanggapi adanya spekulasi mengenai pencalonan Menteri Sosial Tri Rismaharini guna menantang Gubernur DKI Jakarta saat ini, Anies Baswedan dalam Pilkada 2022.
Menurut Djarot, PDI-P juga tidak akan mempersiapkan Risma atau calon lain, untuk Pilkada 2022 atau 2023 di beberapa daerah lain, seperti Jawa Timur, Jawa Barat, dan Sumatera Utara.
"Tidak akan (Risma atau calon lain) disiapkan untuk 2022, termasuk di beberapa daerah lain seperti Jawa Timur, Jawa Barat bahkan di Sumatera Utara," ujar mantan Wagub DKI ini.
PDI-P, lanjutnya, lebih memilih untuk memikirkan keselamatan bangsa Indonesia yang tengah dilanda pandemi Covid-19.
Salah satu cara yang dinilai Djarot mampu menyelamatkan bangsa adalah tetap menyelenggarakan pilkada pada 2024 yang digelar bersamaan dengan Pemilihan Presiden dan Pemilihan Legislatif.
Meski demikian, muncul spekulasi bahwa beban lebih berat justru akan timbul apabila pemilu dilakukan serentak pada 2024.
Namun, Djarot berpandangan bahwa Pilkada 2024 tetap dijalankan dalam bulan yang berbeda dengan Pilpres maupun Pileg.
"Bebannya akan terlalu tinggi kalau memang itu dilaksanakan dalam satu waktu, atau satu bulan. Ini kan masih jauh, apalagi kita masih harus mengevaluasi sistem Pemilu kita," ucapnya.
Di sisi lain, Djarot justru berharap sistem Pemilu ke depan harus sudah dirancang dengan teknologi elektronik. Dalam hal ini, Djarot mengusulkan sistem Pemilu dapat diubah dengan cara e-voting.
Namun, sistem e-voting tersebut dinilainya perlu dibarengi dengan sistem manual atau menggabungkan keduanya.
"Kalaupun itu susah, minimal kita bisa kembangkan e-counting. Penghitungan dengan elektronik. Yang susah kan waktu itu penghitungannya," tuturnya.
Pada akhir pembicaraan, Djarot kembali menegaskan bahwa PDI-P tidak setuju jika pilkada dilaksanakan pada 2022 dan 2023.
Menurut Djarot, pelaksanaan pilkada sebaiknya tetap mengikuti Undang-Undang Pemilu yang ada.
"Pada 2016 sudah ditetapkan UU ini, dan UU ini kan belum dilaksanakan. Masa belum dilaksanakan tapi sudah dievaluasi, kan lucu," ujar dia.
Djarot pun menuding bahwa pihak yang ingin normalisasi pilkada, yaitu tetap pada 2022 dan 2023, memiliki ambisi politik tersendiri.
"Maka dari itu teman-teman yang punya energi, ambisi berlebih-lebihan secara kelompok atau individual tolonglah diturunkan. Diturunkan supaya kita fokus bersama-sama memerangi pandemi Covid-19 dan memulihkan ekonomi rakyat. PDI-P tetap fokus 2024 kita laksanakan dulu," kata dia.
Sebelumnya, Djarot juga telah berkomentar dalam keterangan tertulis, Kamis (28/1/2021).
Djarot mengatakan, persoalan pilkada serentak selama ini cenderung lebih pada aspek pelaksanaan, bukan substansi peraturan perundangan-undangan. Untuk itu, ia meminta, pilkada serentak tetap dilakukan pada 2024.
"Hal ini sesuai dengan desain konsolidasi pemerintahan pusat dan daerah," kata Djarot.
Djarot juga menegaskan, sikap partai tersebut tidak ada kaitannya dengan upaya untuk menghambat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan kepala daerah lainnya.
Salah satu Pilkada yang akan digelar pada 2022 adalah Pilkada DKI Jakarta. Sementara, dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 disebutkan Pilkada serentak ditetapkan pada November 2024.
Sehingga, jabatan kepala daerah yang berakhir pada 2022 dan 2023 akan diisi pejabat sementara, termasuk posisi Anies Baswedan.
"Jelas tidak benar (menghambat panggung politik Anies Baswedan). Tidak terkait dengan pak Anies Baswedan juga gubernur-gubernur yang lain seperti Jabar, Jatim, Jateng dan seterusnya, UU-nya juga diputuskan di tahun 2016 atau sebelum Pilgub DKI," ujar Djarot.
https://nasional.kompas.com/read/2021/02/02/09483941/bantah-calonkan-risma-di-pilkada-dki-pdi-p-tak-persiapkan-pilkada-2022-dan