Meskipun RUU tersebut diusulkan oleh DPR, dia menyebut hingga saat ini parlemen belum menentukan sikap tegas atas hal itu.
"PPP tidak sepakat adanya revisi UU Pemilu. Meskipun ini usulan dari DPR, toh sampai saat ini DPR belum bersikap," ujar Baidhowi dalam diskusi daring bertajuk "Perlukah Ubah UU Pemilu Sekarang?", Sabtu (30/1/2021).
Baidhowi menilai, tidak seharusnya UU Pemilu selalu diubah menjelang Pemilu. Sebab setidaknya perlu dua kali pelaksanaan pemilu sebelum melakukan evaluasi dan merevisi UU Pemilu.
Hal itu terpikirkan saat revisi UU Pemilu pada 2017.
"Sehingga tidak seharusnya setiap pemilu (UU) diubah. Jadi penerapan untuk dua kali pemilu itu biasa saja. Setidaknya setelah dua kali pemilu (UU) bisa dievaluasi," tutur Baidhowi.
"Kami ingin UU Pemilu (UU 7 Tahun 2017) untuk dua kali pemilu sehingga nanti jika ada perubahan pada 2024," lanjutnya.
Artinya, UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 tetap digunakan sebagai dasar hukum pelaksanaan Pemilu 2024 mendatang.
Sementara itu, terkait putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 tentang rekonstruksi keserentakan pemilu, Baidhowi berpendapat, tidak menjadi soal sepanjang tidak keluar dari lima poin varian keserentakan pemilu.
"Sepanjang tidak keluar dari lima varian, ya tidak menjadi masalah," tambahnya.
DPR saat ini sedang menggodok RUU Pemilu. RUU ini masuk dalam daftar 33 RUU Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2021.
Komisi II DPR mengusulkan revisi UU Pemilu ini ke Badan Legislasi (Baleg) pada Senin (16/11/2020), dengan alasan bahwa terjadi tumpang tindih pasal dalam UU Pemilu dan UU Pilkada.
Oleh karenanya, Komisi II memutuskan agar pelaksanaan Pemilu dan Pilkada diatur dalam satu undang-undang.
"Ini kami juga dasari perubahan dalam keputusan MK, baik tentang UU Pemilu dan ada enam putusan MK tentang UU Pilkada," kata Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia dalam paparannya dalam rapat Baleg secara virtual, Senin (16/11/2020).
https://nasional.kompas.com/read/2021/01/30/18301231/tolak-uu-pemilu-diubah-ppp-ingin-revisi-dilakukan-setelah-2024