Sebab, pilkada serentak di tahun tersebut akan berbarengan dengan pemilihan presiden.
Sementara, sejumlah nama yang belakangan masuk bursa calon presiden, seperti Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menyelesaikan masa jabatannya pada 2022 dan 2023.
"Anggap Anies 2022 selesai, lalu baru dilaksanakan Pilkada Serentak 2024, itu momentumnya akan susah lagi didapat. Kalau momentum susah didapat, maka karier politik akan sulit dikejarnya," kata Hendri saat dihubungi, Jumat (29/1/2021).
Ia mengatakan, dalam politik, kekuasaan atau kemenangan merupakan tujuan akhir.
Menurut Hendri, pro dan kontra antarpartai soal revisi UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 bisa juga dilihat sebagai bagian dari upaya meraih atau mempertahankan kekuasaan itu.
Salah satu agenda revisi UU Pemilu adalah mengubah jadwal Pilkada Serentak 2024 menjadi 2022 dan 2023.
Dengan demikian, akan ada perubahan pada UU Pilkada yang menjadwalkan pemungutan suara pilkada serentak pada November 2024.
"Dalam politik, kekuasaan atau kemenangan adalah tujuan akhir. Maka ini adalah salah satu cara untuk mendapatkan kekuasaan dari petahana," ucap Hendri.
"Yang dirugikan tidak hanya Anies, ada Khofifah dan Ridwan Kamil," kata dia.
Hendri sendiri berpendapat lebih baik jadwal pilkada serentak dikembalikan menjadi 2022 dan 2023.
Hal ini bercermin dari gelaran Pemilu Serentak 2019 yang menyebabkan banyak petugas kelelahan hingga meninggal dunia.
Dengan demikian, jika pilkada tidak dilakukan berbarengan dengan pilpres, maka ada jeda bagi penyelenggara pemilu hingga tingkat bawah untuk beristirahat.
"Pada 2019 itu kan banyak petugas yang meninggal. Nah meski (2024) waktunya berbeda, tapi pilkada, pileg, dan pilpres dalam satu tahun itu tentu akan melelahkan panitianya," tuturnya.
"Pemilu 2024 untuk nasional saja," kata Hendri.
https://nasional.kompas.com/read/2021/01/29/10592341/jika-pilkada-tetap-2024-pengamat-nilai-anies-atau-ridwan-kamil-bisa