Peraturan tersebut mengatur tentang hukuman kepada pelaku persetubuhan terhadap anak yang telah memiliki kekuatan hukum tetap bisa dikenakan tindakan kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi.
Dalam Pasal 9 poin a, pelaksanaan tindakan hukuman kebiri kimia tersebut dilaksanakan setelah pelaku persetubuhan dinyatakan layak untuk dikenakan tindakan kebiri kimia dalam kesimpulan hasil penilaian klinis.
Kemudian poin b menyatakan, dalam jangka waktu paling lambat tujh hari kerja sejak diterimanya kesimpulan, jaksa memerintahkan dokter untuk melakukan pelaksanaan tindakan kebiri kimia tersebut kepada pelaku persetubuhan.
Poin c menyebutkan, pelaksanaan tindakan kebiri kimia tersebut juga dilakukan segera setelah terpidana selesai menjalani pidana pokok.
Pelaksanaan tindakan kebiri kimia juga dilakukan di rumah sakit milik pemerintah atau rumah sakit daerah yang ditunjuk, yang tercantum dalam poin d.
Selanjutnya, pelaksanaan tindakan kebiri kimia juga harus dihadiri jaksa, perwakilan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan.
Hasilnya pun dituangkan dalam berita acara dan jaksa harus memberitahukan kepada korban atau keluarga korban bahwa tindakan kebiri kimia tersebut telah dilakukan dilaksanakan.
Adapun, penerbitan PP tentang kebiri kimia tersebut merupakan salah satu cara untuk mengatasi kekerasan seksual terhadap anak, memberi efek jera terhadap pelaku, dan mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak.
Peraturan tersebut juga diterbitkan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 81A ayat 4 dan Pasal 82A ayat 3 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang.
https://nasional.kompas.com/read/2021/01/04/08242921/kapan-pelaku-kekerasan-seksual-anak-bisa-dihukum-kebiri-kimia