Dugaan korupsi bantuan sosial ini lantas menjadi sorotan publik karena dinilai ironis di tengah situasi masyarakat yang sedang kesulitan menghadapi pandemi Covid-19.
Kasus ini terungkap dari operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK pada Jumat (4/12/2020) hingga Sabtu (5/12/2020) dini hari. Ada enam orang yang diamankan KPK dalam OTT itu.
Namun, nama Juliari tidak masuk dalam rombongan yang terjaring oleh KPK.
Setelah melakukan pemeriksaan, KPK pun menetapkan lima orang tersangka, yakni Juliari, dua pejabat pembuat komitmen (PPK) di Kementerian Sosial Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono, serta dua pihak swasta yaitu Ardian I M dan Harry Sidabuke sebagai tersangka.
Pada Minggu (6/12/2020) dini hari, Juliari pun menyerahkan diri ke KPK dan akhirnya ditahan setelah diperiksa hingga sore hari.
Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan, kasus ini berawal dari pengadaan bansos penanganan Covid-19 berupa paket sembako senilai Rp 5,9 triliun dengan total 272 kontrak yang dilaksanakan dalam dua periode.
Juliari menunjuk Matheus dan Adi sebagai PPK dalam pelaksanaan proyek tersebut dengan cara penunjukkan langsung para rekanan.
"Diduga disepakati ditetapkan adanya fee dari tiap-tiap paket pekerjaan yang harus disetorkan para rekanan kepada Kementerian Sosial melalui MJS (Matheus)," ujar Firli, Minggu dini hari.
KPK menyebut, fee yang dipatok untuk disetorkan rekanan kepada Kementerian Sosial sebesar Rp 10.000 dari nilai Rp 300.000 per paket bantuan sosial.
Selama Mei sampai dengan November 2020, Matheus dan Adi pun membuat kontrak pekerjaan dengan beberapa supplier sebagai rekanan, di antaranya Ardian, Harry, dan PT Rajawali Parama Indonesia yang diduga milik Matheus.
Pada pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama, KPK menduga fee yang diterima mencapai Rp 12 miliar yang Rp 8,2 di antaranya diberikan kepada Juliari melalui Adi.
"Pemberian uang tersebut selanjutnya dikelola oleh EK dan SN selaku orang kepercayaan JPB untuk digunakan membayar berbagai keperluan pribadi JPB (Juliari)," kata Firli.
Sementara itu, pada periode kedua, terkumul uang fee dari Oktober 2020 sampai dengan Desember 2020 berjumlah Rp 8,8 miliar yang juga diduga akan digunakan untuk keperluan Juliari.
Atas perbuatannya itu, Juliari pun disangka Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Kourpsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Kemarahan publik
Kasus korupsi yang menjerat Juliari tersebut langsung menuai kecaman pedas dari publik.
"Kebangetan! Di saat orang-orang menderita, di situ bisa-bisanya mencuri duit bansos, Juliari!" ujar seorang warga bernama Nugi (23), warga Jakarta, saat dihubungi, Minggu (6/12/2020) pagi.
Warga lain bernama Kindi (32) menilai, kasus Juliari tersebut akan semakin menghilangkan kepercayaan publik terhadap pejabat negara.
"Jadi ya jangan pada kaget kalau nanti makin banyak yang enggak percaya sama proses lembaga negara milih pejabat negara (pemilu atau pilkada misalnya),” ujar Kindi.
Kemarahan Nugi dan Kindi menjadi contoh kecil kemaharan publik atas kasus dugaan korupsi yang menyeret Juliari.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Zaenur Rohman mengatakan, kemarahan publik di atas merupakan reaksi yang wajar.
Sebab, kasus tersebut telah menyakiti hati masyarakat yang berada dalam situasi sulit di tengah pandemi.
Data Badan Pusat Statistik yang dirilis pada Kamis (5/11/2020) menunjukkan, jumlah pengangguran akibat Covid-19 meningkat 2,56 juta orang.
Data yang sama menunjukkan secara keseluruhan ada 29,12 juta penduduk usia kerja yang pekerjaannya terdampak pandemi.
"Korupsi bansos ini sangat jahat karena secara tidak langsung memotong bantuan yang dibutuhkan orang miskin yang sedang terdampak pandemi Covid-19. Masyarakat merasa sakit hati atas pengkhianatan amanat berupa korupsi bansos di kala pandemi seperti sekarang ini," kata Zaenur, Minggu.
Peringatan
Risiko terjadinya korupsi di tengah pandemi Covid-19 sebetulnya telah menjadi sorotan sejak jauh-jauh hari.
Presiden Joko Widodo sempat meminta aparat penegak hukum untuk menindak oknum-oknum nakal yang memanfaatkan pandemi Covid-19 untuk memperkaya diri.
Jokowi mengungkapkan hal itu saat menyampaikan sambutan secara virtual pada peresmian pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Pengawasan Intern Pemerintah Tahun 2020, Senin (15/6/2020).
Jokowi mengatakan, upaya pencegahan terhadap niat jahat harus diutamakan, seiring dengan diwujudkannya tata kelola yang baik dalam penggunaan anggaran penanganan Covid-19.
"Tetapi kalau ada yang masih membandel, kalau ada niat untuk korupsi, ada mens rea, maka silakan bapak/ibu, digigit dengan keras. Uang negara harus diselamatkan, kepercayaan rakyat harus terus kita jaga," kata Jokowi.
Firli juga berulang kali mengingatkan bahwa korupsi yang dilakukan di tengah bencana dapat dijatuhi hukuman mati.
"Pada saat ini negara kita sedang dilanda pandemi Covid-19. Kami ingatkan, KPK akan tegas dan akan terus berkomitmen memberantas korupsi," kata Firli melalui tayangan video dalam sebuah diskusi daring, Senin (27/7/2020).
"Ingat, tindak pidana korupsi yang dilakukan di dalam suasana bencana ancaman hukumannya adalah pidana mati," kata dia.
Tak digubris
Akan tetapi, peringatan-peringatan keras itu sepertinya tidak menyurutkan niat segelintir orang untuk tetap melakukan korupsi, setidaknya hal itu tercermin dari kasus yang menjerat Juliari.
Firli mengatakan, KPK akan mendalami penerapan Pasal 2 Ayat (2) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memungkinkan adanya hukuman mati.
Kendati demikian, kata Firli, KPK masih fokus menangani kasus suap yang menjerat Juliari dan kawan-kawan.
"Perlu diingat yang kami sampaikan hari ini adalah salah satu klaster dari tindak pidana korupsi, yaitu penerimaan hadiah atau janji oleh penyelenggara negara atau untuk menggerakkan seseorang agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu, itu yang kita gelar hari ini," ucap Firli, Minggu (6/12/2020), dikutip dari Antara.
Zaenur menuturkan, KPK mesti fokus pada dua hal dalam penanganan kasus ini, yakni menelusuri lebih jauh aliran dana yang diduga dikorupsi serta menerapkan pasal pencucian uang kepada para tersangka.
"Untuk memastikan uang yang diperoleh dari suap atau gratifikasi dana bansos ini mengalir ke mana saja. Dengan pasal pencucian itu upaya untuk menarik semua harta hasil kejahatan juga bisa dilakukan secara maksimal," ujar Zaenur.
Sementara itu, Presiden Jokowi juga menegaskan, tidak akan melindungi pejabat yang melakukan korupsi.
Ia pun menyerahkan proses hukum kepada KPK yang ia yakini akan bekerja secara transparan dan profesional.
“Saya tidak akan melindungi yang terlibat korupsi!” kata Jokowi dengan nada tegas lewat kanal YouTube Sekretariat Presiden, Minggu (6/12/2020).
https://nasional.kompas.com/read/2020/12/07/10035041/bansos-covid-19-dikorupsi-ironi-di-tengah-pandemi