"Untuk sidang perdana kami serikat buruh tidak melakukan aksi," ujar Said dalam konferensi pers virtual, Senin (23/11/2020).
KSPI mejadi salah satu pihak yang mengajukan gugatan uji materi UU Cipta Kerja ke MK.
Said mengatakan, buruh tak menggelar aksi karena proses persidangan baru memasuki tahap pemeriksaan berkas pemohon.
Akan tetapi, menurut dia, buruh akan menggelar aksi ketika sudah memasuki sidang berikutnya.
"Karena baru pemeriksaan berkas, sidang kedua aksi-aksi akan dimulai," kata Said.
Adapun sidang pemeriksaan berkas akan dilakukan secara virtual.
Nantinya, hakim MK akan melakukan pemeriksaan terhadap berkas yang diajukan pemohon setebal 1.787 halaman.
Total halaman itu terdiri dari 1.187 halaman UU Cipta Kerja, 69 pasal yang dipermasalahkan di UU Cipta Kerja setebal 300 halaman dan alat bukti sebanyak 300 halaman.
Perkara gugatan ini telah teregistrasi pada 12 November 2020 dengan Nomor Perkara: 101/PUU-XVIII/2020.
Selain KSPI dan KSPSI, gugatan juga dilancarkan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) hingga Federasi Serikat Pekerja farmasi dan Kesehatan Reformasi.
"Para pemohon mengajukan permohonan pengujian materill sebagian ketentuan dalam Pasal 81, Pasal 82, dan Pasal 83 Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja terhadap Undang-Undang Dasar 1945," seperti dikutip dari berkas permohonan yang diakses melalui laman www.mkri.id, Jumat (13/11/2020) malam.
Pasal 81 yang dipersoalkan pemohon yakni aturan tentang lembaga pelatihan kerja yang menghapus ketentuan pasal 13 UU Ketenagakerjaan.
Terkait pelaksana penempatan tenaga kerja antara lain mengubah ketentuan Pasal 37 UU Ketenagakerjaan, pada pokoknya telah menghilangkan persyaratan badan hukum bagi lembaga swasta yang menjadi pelaksana penempatan tenaga kerja.
Kemudian, mengenai tenaga kerja asing yang dianggap merugikan hak konstitusional para pemohon atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Berikutnya, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), salah satunya terkait penghapusan aturan perjanjian kerja kontrak dapat diadakan paling lama 2 tahun dan hanya bisa diperpanjang dua kali.
Kemudian, pemohon mempermasalahkan tentang pekerjaan alih daya (outsourcing), waktu kerja, cuti untuk pekerja, upah dan upah minimum.
Selain itu, pemutusan hubungan kerja (PHK), penghapusan sanksi pidana bagi pengusaha yang tidak memberikan uang pesangon, uang penghargaan dan uang pengganti hak kepada pekerja atau buruh yang di PHK dan tidak diikutsertakan dalam program pensiun.
Sementara itu, Pasal 82 dan Pasal 83 terkait jaminan sosial, salah satunya terkait adanya norma baru jaminan kehilangan pekerjaan yang diklaim pemerintah sebagai suitener dari UU Cipta Kerja kluster ketenagakerjaan.
Namun, ketentuan itu kemungkinan sulit diimplementasikan karena adanya potensi penerapan outsourcing dan pekerja kontrak yang masif serta adanya upah per jam.
"Sehingga mengakibatkan pekerja berpotensi tidak lagi mendapatkan jaminan sosial khususnya jaminan pensiun dan jaminan kesehatan," demikian kutipan dari berkas permohonan.
https://nasional.kompas.com/read/2020/11/23/22061971/sidang-perdana-judicial-review-uu-cipta-kerja-kspi-buruh-tak-gelar-aksi