Berdasarkan laporannya, SAFEnet memprediksi adanya ancaman yang kian mencekam terkait kekerasan digital, terutama kepada suara-suara kritis terhadap kekuasaan maupun perempuan.
Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto dalam peluncuran laporan secara virtual mengungkapkan, ada 60 aduan kasus Kekerasan Berbasis Gender Siber (KBGS) yang masuk sepanjang 2019.
"Sepanjang 2019 SAFEnet menerima 60 aduan kasus KBGS, di mana 44 kasus kami terima dari rujukan Komnas Perempuan sebagai mitra kami," kata Damar dalam diskusi virtual yang diselenggarakan, Jumat (13/11/2020).
Selain itu, lanjut dia, ada 16 aduan lainnya masuk melalui kanal-kanal komunikasi SAFEnet, termasuk yang diarahkan oleh mitra atau komunitas lain untuk membuat pengaduan di SAFEnet.
SAFEnet juga mencatat, dari jumlah tersebut, sebanyak 53 korban yang mengadu adalah perempuan dan 7 lainnya tidak menyebut gendernya.
Sementara itu, bentuk KBGS paling banyak yang dilaporkan adalah penyebaran konten intim tanpa persetujuan dengan total 45 kasus, pelanggaran privasi sebanyak 7 kasus, pembuatan akun peniru atau impersonasi sebanyak 2 kasus, pamer alat kelamin di ruang digital tanpa persetujuan sebanyak 3 kasus.
Selain itu, ada juga bentuk lain seperti mempermalukan korban di ruang digital publik atau pelanggaran privasi korban di luar dari penjelasan tersebut.
Motivasi politik
Berdasarkan laporan SAFEnet, pada awalnya kasus-kasus KBGS lebih banyak terjadi karena motivasi balas dendam oleh pasangan atau mantan pasangan serta relasi timpang antara laki-laki dan perempuan.
Namun, sejak tahun lalu mulai terjadi KBGS dengan motivasi politik. Contohnya, jelas Damar, seorang aktivis perempuan menjadi korban melalui penyebaran foto telanjang dengan fitnah perselingkuhan bersama mitra kerjanya yang juga aktivis.
Penyebaran materi itu adalah upaya mendelegitimasi kerja-kerja mereka dalam menolak revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Tindakan ini adalah berbasis motif politik dengan tujuan untuk mendelegitimasi mereka yang menolak revisi UU KPK. Hal yang sama juga terjadi pada sejumlah mahasiswa yang akun WhatsApp-nya diretas dan kemudian digunakan untuk menyebarkan informasi bahwa mereka siap untuk membunuh dan meledakkan diri di Gedung KPK," urai dia.
Menurutnya, hal ini menjadi penanda bagaimana kian hari internet telah menjadi alat bagi kekuasaan untuk membungkam suara-suara kritis warga melalui beragam cara.
SAFEnet menilai, jika semua pelanggaran hak-hak digital oleh negara itu dibiarkan, maka kebebasan internet yang pernah digadang-gadang sebagai sebuah kemajuan di Indonesia hanya menunggu waktu kembali masuk "kuburan".
https://nasional.kompas.com/read/2020/11/13/22483981/safenet-terima-60-aduan-kasus-kekerasan-digital-berbasis-gender-sepanjang