JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Benny Riyanto memberikan dua catatan atas Rancangan Peraturan Presiden tentang Tugas TNI Dalam Mengatasi Aksi Terorisme.
Pertama, soal kurangnya penjelasan Bab II Penangkalan yang ada di Rancangan Perpres tersebut. Khususnya, kata dia, Pasal 3 yang belum menjelaskan kegiatan apa yang harus dilakukan TNI dalam mengatasi aksi terorisme.
"Karena sebenarnya di sini yang saya lihat, yang jelas breakdown materi muatannya itu hanya bagian penindakan. Untuk yang penangkalan, sepertinya masih membutuhkan beberapa materi muatan yang perlu breakdown lagi terkait dengan tugas intelijen TNI yang menentukan," kata Benny dalam diskusi virtual Sekolah Tinggi Hukum Militer, Rabu (11/11/2020).
Catatan kedua yang diberikan adalah mengenai era pembangunan teknologi industri 4.0. Ia mempertanyakan sekaligus mengusulkan agar dalam Rancangan Perpres perlu terakomodasi model-model kejahatan terorisme yang berbasis teknologi informasi.
Selain itu, menurut dia, perlu juga dicantumkan potensi-potensi yang bisa dijalankan TNI dalam memberantas terorisme.
"Ada dua hal yang mungkin saya usulkan di dalam materi muatan. Jadi yang pertama mengenai breakdown tugas intelijen TNI dan kedua adalah terkait dengan akomodasi teknologi informasi atas aksi terorisme agar supaya menjadi bagian tugas TNI," tuturnya.
Lebih dari itu, ia menambahkan bahwa pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme tetap harus memperhatikan beberapa hal.
Pertama, peran dan keterlibatan TNI tetap dalam kerangka supremasi sipil dan demokrasi, sehingga tidak mengganggu tugas pokok TNI yaitu menegakkan kedaulatan negara, serta mempertahankan keutuhan wilayah NKRI.
"Selain itu, TNI juga tetap fokus kepada fungsi profesional yang mempunyai tugas utama sebagai alat pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer dan bersenjata," ucapnya.
Kemudian pada poin ketiga, ia menggarisbawahi bahwa atas dasar kebijakan dan keputusan politik negara yang dirumuskan lebih jelas prosedur dan substansinya.
Oleh karena itu, menurut dia perlu adanya evaluasi dalam Rancangan Perpres ini sebelum dilahirkan menjadi Perpres.
"Seyogyanya Raperpres ini perlu dievaluasi lagi, perlu kah ada penambahan-penambahan, hal-hal yang krusial yang nantinya menjadi tugas TNI di dalam pemberantasan terorisme itu sendiri," jelasnya.
Selanjutnya, pengaturan keterlibatan TNI dalam penanggulangan terorisme berdasarkan penilaian terhadap intensitas ancaman yang dilakukan oleh kewenangan atau otoritas sipil.
Berikutnya, jaminan penggunaan kekuatan militer dalam penanggulangan terorisme sebagai solusi terakhir atau last resort, bersifat sementara atau ad-hoc dan dilakukan secara proporsional.
Terakhir, tutur Benny, dalam penanggulangan terorisme tidak mengabaikan hak asasi manusia (HAM).
https://nasional.kompas.com/read/2020/11/11/13483071/beri-catatan-kepala-bphn-perlu-dijelaskan-batasan-wewenang-tni-dalam