Ia mencontohkan penjualan tiket kereta api. Sebelum ada commuter line, warga Jakarta yang ingin menggunakan kereta api harus membeli karcis berupa selembar kertas kecil untuk bisa bepergian.
“Nah, sekarang dengan teknologi, hanya bermodalkan kartu dan palang besi yang dipasang di depan pintu, masuk ke dalam kereta harus tap kartu (menempelkan kartu ke mesin),” kata Malik dalam seminar antikorupsi, Selasa (10/11/2020).
“Orang enggak bisa masuk lagi kalau tidak punya kartu atau saldonya kurang,” kata Malik.
Hal tersebut, menurut Malik, juga meminimalkan tindak kejahatan yang kerap terjadi, misalnya pencopetan. Sebab, tidak lagi sembarang orang bisa masuk ke dalam kereta.
Oleh karena itu, Malik berharap, semua institusi, khususnya lembaga negara dapat menerapkan teknologi guna mencegah praktik korupsi.
Salah satu contoh yang penting, menurut dia, yakni pengelolaan anggaran. Dengan teknologi, institusi dapat mengelola anggarannya secara transparan dengan metode e-budgeting.
“Artinya apa? Penegakan hukum bisa dibantu teknologi, sekarang sudah ada e-budgeting dan sebagainya itu juga alat-alat itu sebenarnya membantu menegakkan moral,” ucap dia.
Penerapan teknologi itulah, menurut Malik, perlu ditiru khususnya oleh lembaga negara, agar penerapan good governance atau suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab di sistem pemerintahan dapat berjalan maksimal.
Sebab, ia menilai, penerapan good governance di Indonesia belum berjalan dengan baik.
Hal itu, menurut dia, karena banyak koruptor yang ditangkap dan diadili justru berasal dari kalangan pejabat negara.
“Kenapa ini tidak jalan, kenapa itu tidak berfungsi? kalau dari pemberantasan korupsi menurut saya karena tulang punggung dari good governance itu justru pelaku terbesar korupsi yakni pemerintah dan swasta (pasar),” ujar Malik.
Selain akibat peraturan yang tidak ketat, Malik menilai, alasan mendasar praktik korupsi di Indonesia yakni minimnya moralitas dari dalam diri.
Menurut dia, cukup banyak aparatur sipil negara (ASN) yang belum terbuka terkait harta kekayaan yang dimiliki.
Meskipun tidak diwajibkan, menurut Malik, seharusnya semua orang yang lulus menjadi ASN perlu melaporkan harta kekayaannya.
“ASN saya lihat masih lemah, orang-orang yang melaporkan harta kekayaan itu hanya yang eselon atas, pejabat negara saja, mestinya, begitu lulus masuk jadi PNS, semua itu langsung melaporkan harta kekayaan,” ucap Malik.
“Kenapa mesti begitu? di lembaga itu, korupsi kecil-kecil, memang kecil, tapi kalau diakumulasi seluruh Indonesia itu bisa miliaran, dan itu kalau pertahun bisa jadi triliunan, besar sekali,” ucap dia.
Lebih lanjut, Malik mengatakan, berdasarkan kasus-kasus dari praktik korupsi di Indonesia, kerap ditemukan persoalan mark up atau peningkatan harga dalam hal pembelian barang atau pengadaan barang dan jasa.
Hal itu, menurut dia, menjadi sesuatu hal yang biasa di kalangan aparatur sipil negara.
Padahal, ASN dalam lembaga pemerintah sudah diinjeksi nilai-nilai antikorupsi dalam mekanisme good governance.
“Di situ ada transparansi, ada akuntabilitas, ada rule of law, ini semua nilai-nilai antikorupsi ini pesan-pesan moral semua sebetulnya,” kata Malik.
“Ini enggak jalan, persoalan itu kalau ditelusuri, itu orang (pelaku praktik korupsi) belum selesai dengan persoalan moralitas, itu akan selalu menggoncang keyakinan orang, kejujuran orang,” tutur dia.
https://nasional.kompas.com/read/2020/11/11/13385461/peneliti-lp3es-teknologi-sedianya-digunakan-untuk-bantu-cegah-korupsi